Pagi sudah datang. Hari kedua untuk Ranukumbolo.
Saya terbangun dengan dada sesak. Tulang-tulang saya sepertinya marah karena beban lima belas kilo kemarin. Saya tak pernah merasakan sakit di dada yang cukup menyiksa seperti pagi itu. Hawa dingin yang masih saja tak mau pergi menambah remuk tulang dan persendian. Saya berusaha bangun meski tulang belakang saya sepertinya juga marah besar.
Saya melihat Ayos dan Ruli masih terlelap disamping saya, Maya dan Winda pun begitu di kamar mereka. Pukul tujuh pagi kami semua benar-benar bangun kemudian sibuk mengatur kembali ransel-ransel kami. Beberapa potong roti, Energen dan kopi tak lupa kami santap agar memiliki cukup tenaga untuk kembali menyusuri sepuluh kilometer. Kali ini kami tak ingin menghabiskan energi berlebih seperti hari pertama dengan ransel-ransel super berat. Maya bergegas mencari potter yang akan membantu membawakan ransel terberat sampai di Ranukumbolo. Hawa dingin sudah mulai mereda saat sinar mentari meninggi. Pagi itu langit semakin cerah.
Pukul delapan kami kembali semangat. Hari kedua kami lewati dengan awal yang mudah. Jalan setapak yang memiliki arah yang jelas menuntun kami menuju setiap pos di depan. Ternyata kemarin kami memang melewati jalur yang salah. Pantas saja tak ada satupun jalan setapak yang menandakan kami berada di jalur yang benar. Pagi itu formasi kami masih sama, Ayos dan Winda memimpin di depan, saya di barisan ketiga sedang Maya dan Ruli di barisan selanjutnya. Perjalanan menuju pos pertama memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam dengan jarak sekitar empat kilo. Saya, Maya dan Ruli cukup kewalahan menyusuri tanjakan dan landaian naik turun yang menguras energi. Ayos dan Winda sudah berada di depan. Saya berusaha mengejar dengan mengatur kecepatan langkah kaki dan nafas hingga sampai di pos pertama. Disana kami bertemu beberapa pejalan lain yang menikmati makan siang mereka masing-masing, beberapa diantaranya memasak mie instan dalam satu wadah. Kami menghabiskan sekitar setengah jam hanya untuk meluruskan kaki sembari mengeluarkan beberapa snack dan air mineral dari ransel. Kami butuh energi untuk bisa sampai di pos kedua yang jaraknya pun lumayan.
Setelah istirahat sejenak, kami memulai perjalanan kembali menuju pos kedua dengan formasi yang sama, saya di belakang Ayos dan Winda. Ruli dan Maya bersama saya. Jalan yang kami tempuh memang lebih pendek dibanding dari pos satu ke pos dua namun medannya mulai memiliki tanjakan yang lumayan menguras tenaga. Pukul sebelas, kami tiba di pos kedua. Kami masih perlu meregangkan kaki sebentar. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan pejalan-pejalan lain dengan alur berlawanan, tanda mereka telah berhasil menikmati Ranukumbolo. Perjalanan dari pos dua ke pos tiga memaksa saya seringkali berhenti dari langkah-langkah pendek. Maya dan Ruli pun begitu. Kami kelelahan.
***
Kali ini kami bertiga benar-benar tertinggal dari Ayos dan Winda yang sudah lebih dulu mengawali start dari pos kedua. Jarak dari pos dua ke pos tiga sebenarnya tidak terlalu jauh, namun tanjakan yang mulai meninggi kemudian melandai kembali benar-benar tidak mudah. Namun itu belum seberapa hingga saya menemui tanjakan yang lebih menantang menuju pos keempat. Di pos ketiga, saya benar-benar lapar hingga tak kuasa merampas meises coklat dan selai kacang si Maya untuk dioleskan diatas roti tawar yang kami bawa. Sembari menikmati makanan, tentu kami mulai mengabadikan perjalanan ini dengan kenarsisan masing-masing. Di pos tiga saya ingat satu hal, si Ruli dengan entengnya melempar kamera saya (kurang ajar!!!). Awalnya kami bertiga bergurau dengan teknik menyombongkan diri ala si Ruli (sigh!). Maya dan saya mulai menyombongkan diri dengan membandingkan komputer tablet milik kita berdua dengan milik Ruli. Saya tak tahu kenapa saat itu Ruli kemudian berubah perasa dan melempar kamera saya. Mungkin, karena milik si Ruli bukan si buah itu! :D. Maya pun tertawa namun mulai khawatir saya dan Ruli akan bertengkar. Tapi Ruli benar-benar barbar! :D
***
Kabut mulai menebal siang itu dan kami masih harus berjuang menaklukan medan yang lebih terjal di depan. Perjalanan dari pos tiga ke pos empat benar-benar bagian tersulit. Medannya menanjak tinggi kemudian melandai cukup curam persis seperti yang sering dilontarkan pejalan lain yang berpapasan dengan kami. Perjalanan menuju pos empat yang terjal membuat saya agak khawatir dengan stamina Maya. Tapi saya akui ia begitu menikmati perjalanan ini. Semangat kami kembali membara saat mulai melihat danau dan tenda-tenda perkemahan dari ketinggian pertanda kami hampir sampai di Ranukumbolo. Kami bertiga menghabiskan waktu istirahat singkat di pos keempat sembari menikmati kabut yang masih cukup tebal. Meninggalkan pos keempat kemudian turun melalui jalan setapak yang cukup landai adalah salah satu hal terbaik yang kami lalui dari perjalanan ini. Kami sampai di tenda perkemahan yang telah didirikan oleh Ayos dan Winda setelah menghabiskan sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari pos empat.
Ayos dan Winda sudah merebahkan badan masing-masing di dalam tenda begitu pula dengan kami bertiga. Kaki-kaki kami tak sabar untuk bernafas dan meminta untuk diluruskan. Kami tiba sore itu dengan perasaaan lega dan mempersiapkan diri melawan dinginnya malam di Ranukumbolo.
***
Hari mulai gelap dan kami mulai mencari cara menikmati malam. Kami memasak meski tak sekeren rencana saya. Sebelumnya saya berpikir akan memasak makanan yang begitu nikmat disantap malam itu. Namun suhu sekitar -5 derajat celsius melumpuhkan niat saya. Malam itu benar-benar dingin hingga saya harus menebalkan kaki dengan dua tumpuk kamos kaki seperti yang dilakukan Maya, Winda dan Ruli. Sepertinya Ayos lah yang paling tahan dingin. Malam itu kami memasak krim sup instan. Itu ide si Winda yang sepertinya malam itu mulai tak tahan lapar. Krim sup dengan tambahan potongan sosis dan keju cheddar rupanya cukup berhasil mengenyangkan kami berempat. Ruli sudah terlalu capai hingga tak bernafsu menyantap sup gurih itu.
Sebelumnya, kami berlima mulai narsis didalam tenda. Kami mengabadikan kebersamaan kami dengan gaya tren tahun ini, ‘unyu-unyu’ :P. Di dalam tenda, kami benar-benar menikmati senda gurau yang berhasil membuat kami benar-benar ngakak. Topik yang diangkat tentang si Zaenal, teman Ayos dan Ruli yang menjadi trending topic selama perjalanan.
Saya benar-benar menikmati malam itu terlebih saat saya bergabung dengan Ayos yang sibuk menangkap momen dengan kameranya. Malam itu benar-benar indah dengan beribu bintang memenuhi langit yang amat tenang. Cahaya api unggun yang diciptakan beberapa pejalan lain menambah keindahannya. Saya tak mau ketinggalan untuk mengabadikan langit. Dengan bantuan Ayos saya berhasil menangkap bintang-bintang itu. Merebahkan diri sebentar untuk menikmati langit yang sungguh luar biasa indah tak mungkin saya lewatkan meski badan tak kuasa menahan dingin.
Kami mengakhiri malam yang tenang dengan tidur lelap di tenda dan bersiap menyambut matahari esok pagi.


















Masih ada esok hari, hari ketiga di Ranukumbolo sebelum kami pulang ke rumah :).
Next.