To (Kem) Bali

bali2016-1


.

…then, let the memory of it sticks forever…

Raise your hand if you’re on the same page with me; we all need sharp camera to make memories. I mean, we are living in an era where capturing a moment is as easy as eating cheese cake. Please stand in the same line with me if you are having a crush with a little handsome guy called an iPhone7. Okay let me make this clearer, who doesn’t want the new iPhone and it’s JET BLACK?

I was almost, yes ALMOST, made a decision to spend my saving money for next year trip last Sunday. When I went to a store after I had a Chinese food for lunch that I believed it cooked with MSG, I saw the new iPhone was displayed and for minutes my mind was wondering how the camera would capture the beauty of Hallstatt. If you don’t have a clue what kind of dessert it is, it’s not dessert buddy, Hallstatt is a very charming village in the heart of Europe. Imagine you’re standing, ensuring you are not dreaming, because you lost words and can’t help yourself capturing the beauty of The Salzkammergut with a very-very clear camera from the new iPhone. I bet you will compete with me standing there and I’ll get 10K more pictures than you.

Ok let me continue the story. One minute later, I patted my chest as a reward cause I SAID TO MYSELF: HELL YEAH I’m still walking on the right track till today. I mean, I don’t mind buying a thousand dollars plus for an iPhone IF I’m kind of person who has no clue what should I spend my stacks of gold bars for. Then, I could easily decide to buy two, one for me and one for you. It could be three, another one for your friend, buddy. I said I won’t take a bigger iPhone here but I won’t mind for 7+ this day. I apologize if my preamble for this post is too-long and about the new iPhone. Okay I’ll be serious right now, on this post what I want to share is the memories from my family trip to Bali. And what I love from the memories here is the fact that I spent four days with my mother and my siblings, -minus my dad- and we really had such a good time together. We spent five days in Bali, two nights in Seminyak (sure I picked boutique hotel!) and two nights in Ubud.

.


bali2016-2

bali2016-3

bali2016-4

bali2016-5

bali2016-6

bali2016-7

bali2016-8

Print

bali2016-9

bali2016-10

bali2016-11

bali2016-12

bali2016-13

bali2016-14

bali2016-15

bali2016-16

bali2016-17

baliwords2bali2016-18

bali2016-19

bali2016-20

bali2016-21

bali2016-22

bali2016-23

Print

bali2016-24

bali2016-25

bali2016-26

bali2016-27

Print

Bawang Tersayang

Ada tiga hal yang pasti akan saya ingat jika bicara tentang mie instan.

Pertama, sebelum pindah dan bekerja di Afrika, saya pernah stop makan mie instan selama tiga hingga empat tahunan. Saat itu, saya sedang giat-giatnya belajar tentang kandungan warna pada buah-buahan, nutrisi apa saja yang terkandung dalam sekantong snack (saya bisa menghabiskan sepuluh menit sendiri membaca bahan-bahan yang terkandung dalam sekantung snack sebelum membelinya), dan hal-hal random yang berkaitan dengan makanan dan kesehatan. Selama empat tahun itu, saya disiplin mengkonsumsi makanan yang dikukus, direbus, menghindari minyak sebisanya, memilih buah berwarna gelap, tanpa tergoda untuk menyentuh apa itu mie instan.

Kedua, sebelum stop makan mie instan selama empat tahun itu, saya memiliki mie instan favorit yang sering saya nikmati dengan ibu, Indomie rasa Coto Makasar. Saya masih ingat betul nikmatnya semangkuk panas mie instan berkuah dengan irisan cabe dan bawang goreng. Menikmatinya dengan ibu, terlebih saat hujan turun selepas maghrib adalah salah satu quality time paling sederhana yang sering saya lakukan dulu. Tentu tidak setiap minggu, hanya jika sedang ingin.

Ketiga, iya, sejak ke Afrika dan sadar akan bekerja di industri seperti ini, mie instan kerap menjadi salah satu alternatif paling praktis untuk mengisi perut. Tentu perlu proses yang tidak mudah untuk kembali berkenalan dengan mie instan setelah empat tahun lamanya. Saya pun tidak akan pernah lupa hari pertama bekerja di sini, flatmate saya menghidangkan mie instan berkuah sesaat sebelum kami ke kantor. Can’t you believe it? Seorang Azis yang dulu picky sekali harus makan mie instan di pagi hari? Sarapan mie instan lo ini :|

Semua orang tahu mie instan bukan makanan sehat, minim nutrisi dan bisa berdampak buruk jika dikonsumsi berlebihan. Maka dari itu, saya tidak akan ngoceh tentang kandungan mie instan di postingan ini ;P. Instead, saya hanya ingin berbagi sedikit cerita tentang bawang goreng.

***

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kembali dari Indonesia berarti harus ada tempat untuk kecap, bumbu pecel, saus sambal, terasi, agar-agar, jeli, dan beberapa bumbu instan yang saya memang belum bisa masak macam rawon, soto, dan yang susah-susah itu di koper. Yang terakhir paling sedikit saya bawa kemarin. Bumbu pecel racikan ibu saya selalu memiliki ruangnya sendiri sejak lima tahun lalu, tapi bawang goreng? baru tahun ini saya merasa penting alias wajib bawa. Saya rekues khusus pada ibu untuk membekali saya dengan bawang merah dan putih yang digoreng. Alasannya, saya sering rindu makan telur dadar dengan lumuran kecap yang dicampur irisan cabe, perasan jeruk nipis dan bawang goreng. Sederhana dan nikmatnya luar biasa. Sesekali, menikmati jasmine rice bersama telur dadar dengan racikan kecap plus perasan jeruk nipis, cabe, dan bawang goreng menjadi salah satu andalan jika saya malas masak. Tentu lebih nikmat dan mungkin lebih sehat dibanding mie instan :P.

BawangTersayang1

BawangTersayang2

Foto di atas diambil di suatu siang di hari Minggu. Saya sengaja meracik Indomie yang terkenal sekali di sini dengan saus sambal, minyak zaitun (jika tak punya, saya ganti dengan minyak sayur) plus tentu saja, kecap. Menambahkan saus sambal plus kecap membuat Indomienya lebih Indonesia :P, apalagi jika ditabur bawang goreng. Karena Indomie di sini lebih salty dibanding yang ada di Indonesia, saya selalu memakai separuh bumbu bubuknya plis itu MSG Jis, iya MSG yang dulu kau benci ;|. Oh satu lagi, FYI saya masih membatasi waktu mengkonsumsi mie instan. Satu bungkus tidak lebih dari satu hingga dua minggu. Setelah minim satu atau dua minggu barulah saya boleh menikmatinya lagi. And I always rinse mie instannya dengan air panas terpisah hingga genangan air rebusannya jernih lagi. Untuk hal-hal begitu, saya akui saya ribet sekali.

***

Seperti tulisan tentang pecel, saya merasakan ada cinta ibu yang turut terkandung dalam bawang goreng yang beliau buat. Cinta yang membuat nikmatnya berkali-kali lipat. Oh ya, kenapa saya memberi judul tulisan ini ‘Bawang Tersayang’, karena believe it or not, saya menyimpannya di lemari es hingga hampir dua bulan setengah setelah saya kembali ke sini. Dan menambahkannya pada masakan yang saya masak pun sedikit demi sedikit. Eman yo. Bahkan, sampai hari ini, bawang gorengnya masih sisa sedikit dan tersimpan rapat di dalam tupperware di lemari es . Tidak seperti bumbu pecel yang sudah lama habis karena saya nikmati sebagai pecel atau batagor ala-ala. Mungkin saya sayang jika bawang gorengnya habis. Mungkin pula, saya ingin cinta dan rindu ibu saya selalu hadir di mana saja :).

Memang tidak semua makanan cocok ditaburi bawang goreng. Tapi makanan sesederhana ini, ini, apalagi ini, membayangkannya saja perut saya langsung keroncongan. Terutama ikan bandeng goreng kering dicocol kecap pedas dengan remasan bawang goreng yang melimpah. Duh, pengen pulaaaang!.

Tiga Hari Itu (bagian II)

TigaHariItu2-1

{Bagian I}

Bahkan hingga detik ini, saya masih bisa merasakan damainya Sabtu itu. Pagi, dan mentari sedang hangat-hangatnya.

***

Saya sengaja memperlambat laju motor agar bisa menikmati setiap momen sepanjang jalan pulang. Meskipun rindu pada Ayos, Winda dan Ruli belum tuntas penuh, tapi saya harus bangun pada kenyataan bahwa menghabiskan semalam dengan mereka itu berkah luar biasa.

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Ayos dan Winda, saya tak henti melirik jarum jam di pergelangan tangan untuk memastikan saya on-time. Saya harus cepat-cepat sampai di rumah untuk kemudian istirahat sejenak. Kakak saya menghidangkan sebungkus nasi campur untuk sarapan. Nasi buatan orang Arab yang dulu sering kami beli untuk sekedar memanjakan lidah di akhir pekan. Nampaknya, ia selalu ingin menghidangkan makanan-makanan enak selagi adiknya di Indonesia.

Saya tidak punya banyak waktu untuk sekedar istirahat. Satu jam lagi janji untuk bertemu dengan sahabat baik yang sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri, mbak Ika, harus ditepati. Sempat saya ragu pertemuan dengannya tidak akan terjadi. Sejak ia pindah dari Surabaya ke kota yang lebih kecil dan tenang, apalagi ia seorang Ibu yang sedang menikmati masa tumbuh kedua anaknya, menjadi alasan keraguan saya. Sabtu itu menjadi hari terakhir saya di Surabaya yang artinya, it was our final day to meet or not at all. Bertemu dengan orang-orang penting yang acap kali saya rindukan pada hari-hari terakhir di Indonesia sungguh sebuah kebodohan besar. Kebodohan yang selalu terulang tiap tahun. Namun saya tak mau menyesalinya karena memang tahun ini saya banyak menghabiskan hari-hari di sana untuk sesuatu (let me keep it for a secret now, I promise I’ll share it on the right time here. Sometimes, someday).

Saya kembali mengendari motor ke salah satu town square di mana kami akan bertemu. Sungguh, Sabtu pagi yang sejuk membuat saya lagi-lagi menyesal kenapa tidak menikmati momen sesederhana itu dari awal. Tinggal ambil motor, kendarai pelan-pelan, nikmati sinar mentari pagi yang hangat dan angin yang sejuk, di akhir pekan (Zis, jangan terus berandai-andai, it was passed :|). Sesampainya di sana, saya mendapati mbak Ika dan suaminya, mas Dw, di kedai es krim legendaris. Mereka duduk berdua dengan jaket kulit yang entah disengaja atau tidak, nampak serasi dan manis. Saya masih seantusias dulu setiap kali bertemu dengan mereka berdua, terutama mbak Ika. Salah satu orang baik yang selalu mendukung saya meraih mimpi-mimpi apapun. Rindu pada mereka saya tumpahkan melalui pelukan dan rasa syukur karena akhirnya, pertemuan hari itu menggenapkan pertemuan yang selalu kita rayakan setiap tahun.

I couldn’t ask more saat berkesempatan menghabiskan siang yang damai dengan orang-orang baik. Siang itu kami bertiga akhirnya memiliki kesempatan semeja dengan mas Andhi. Tak perlu waktu lama untuk mbak Ika bisa akrab dengan mas Andhi. Begitupun dengan mas Dwi. Kami menghabiskan dua jam penuh keakraban sebelum akhirnya kedatangan orang baik lagi. Mbak Susan, Joan plus pak Tono, experienced florist yang bekerja di sini bersama saya. Kebetulan, saat itu beliau sedang cuti sebulan. Saya sungguh bersyukur karena hari itu bisa bertemu dengan mbak Susan lagi, sahabat mas Andhi yang berjasa membuka jalan saya pindah ke Afrika. Saya ingat, saat kepulangan kedua, saya hanya bisa mengantarkan oleh-oleh berupa baju ala Afrika untuk mbak Susan ke rumah orang tuanya. Rasanya seperti mimpi bisa duduk satu meja dengan mbak Ika, mas Dwi, mas Andhi dan mbak Susan di Indonesia.

Pertemuan dengan Joan pun membuat saya bahagia. Meskipun tidak seseru tahun-tahun sebelumnya saat saya dan Joan bisa bercanda semeja dengan Yuriko, Edwin, Rifda, Tomo, pun mbak Ika, tapi saya bersyukur. Kenapa? Sederhana saja. Saya sangat menghargai bagaimana Joan rela datang saat ia tahu, siang itu adalah satu-satunya kesempatan untuk bertemu saya dan mbak Ika sebelum ia menikah.

Setelah semua berkumpul, kami memutuskan untuk makan siang bersama. Meskipun makan siang kami cukup singkat, namun sungguh, it was a bless for me. Saya selalu menganggap setiap pertemuan yang tercipta setelah masing-masing dari kami terpisah waktu dan kesibukan pribadi adalah berkah yang luar biasa. Meski kadang, bukan jarak dan waktu yang membuat pertemuan nampak sulit. Justru kesibukan-kesibukan yang bisa disela yang membuat momen merayakan persahabatan nampak seperti ilmu kalkulus, no?. So, if you have an opportunity to see your best friends, spend your time with them cause you know, it shows that you are a person who understand that spending a moment with them is a bless :).

3HariItu5

3HariItu6

3HariItu7

Saya sungguh suka foto di atas ini :).

***

Setelah menghabiskan siang dengan mbak Ika, mas Dwi, mas Andhi, mbak Susan dan Joan dengan cerita dan tawa, akhirnya saya harus kembali ke rumah. Berat rasanya mengakhiri momen siang itu namun saya tak memiliki pilihan lain untuk merelakan rindu-rindu yang masih tersisa untuk mereka dengan salam dan pelukan perpisahan. I really wish I had more time, I really did.

Saya pun pulang untuk menciptakan momen berharga lainnya. Kali ini dengan orang-orang terpenting, keluarga. Saya memiliki niatan untuk makan malam sekeluarga sejak kepulangan pertama tiga tahun lalu, tapi baru terjadi tahun lalu. I know it sounds ridiculous cause I had spent so many events with my best friends but once with my family. Tapi lagi-lagi, saya tidak perlu menghardik diri sendiri karena itu. Saya hanya pantas bersyukur karena akhirnya, saya berkesempatan mewujudkan momen penting dan bermakna sesederhana makan malam.

Keluarga saya bukan tipe keluarga yang sering keluar rumah hanya untuk makan malam. We are very, very conservative. Mungkin itu salah satu sebab makan malam bersama was such a big deal. Sedari siang, saat saya bercengkrama dengan mbak Ika dan mas Dwi, saya memesan meja di salah satu restoran yang paling nyaman untuk keluarga. Memiliki menu beragam dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah agar kami memiliki waktu yang cukup untuk menikmati makanan plus ambiance-nya.

Saat tiba di rumah, saya mendapati momen yang sedikit membuat saya sedih. There was a little quarrel antara ibu dan bapak. Well, memang tak jarang ibu dan bapak bertengkar hanya karena masalah sepele, tapi kenapa harus sore itu, sigh. Ibu saya berwatak keras, jika beliau sudah bilang tidak, ya tidak. Bahkan iming-iming macam “Ini malam terakhir saya di rumah lo, Bu” tidak cukup mempan. Bahkan kakak-kakak saya yang ikut membujuk ibu untuk mengganti pakaiannya untuk kemudian bersiap-siap tidak juga berhasil. Sedih? jelas. Malam terakhir yang seharusnya bisa saya nikmati secara lengkap satu keluarga, malah minus ibu. Tapi mau tak mau saya harus menghormati keputusan beliau. Kadang saya berusaha menganggap kejadian-kejadian seperti itu bagai bumbu-bumbu romantis antara suami dan istri yang biasa terjadi dalam sebuah keluarga. Well, maybe. Pada akhirnya, kami semua tetap berangkat, d’ show must go on. Dengan dandanan sederhana tapi rapi, saya mulai mendapati wajah-wajah bahagia yang mampu mengikis sedikit demi sedikit perasaan sedih lantaran esok sore, saya tidak akan melihat mereka lagi. But then, I had to remember that God blessed me with a very beautiful family, and I have to thank for it.

Tiba di restoran, kami langsung menuju meja dan duduk di kursi masing-masing. Tak lama, kami mulai memesan makanan yang ingin kami santap. Macam-macam. Momen malam itu sungguh lekat di ingatan saya hingga kini, bagaimana lucunya bapak menahan rasa pedas dari nasi goreng kambing yang beliau pilih. Keponakan yang gembira dengan steak panas berlumur butter dan saus, kakak terakhir yang duduk di samping saya yang terus-menerus meledek bapak dengan nasi goreng pedasnya, pun Sohib yang nampak tidak cukup menguasai standart dining manner, lol :P. Oh ya, malam itu Sohib hadir di acara makan malam kami. Ia tidak hanya hadir sebagai sahabat saya sedari kecil, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Tadinya saya berandai jika saja Sohib bisa hadir dengan umiknya, paling tidak ibu saya tidak terlalu kikuk jika ada teman seumurannya. It was what I hoped before. Keceriaan, kehangatan, kebersamaan yang tercipta dari acara makan malam itu menyadarkan saya satu hal. Mungkin anda sering mendapati saya menyebut kutipan Ronan Keating di blog ini, tapi lirik ini benar adanya. Hindarilah keadaan saat anda tidak memiliki kesempatan kedua untuk menunjukkan perasaan pada orang-orang tersayang. So tell that someone that you love, just what you’re thinking of, if tomorrow never comes :).

Malam itu saya sungguh bersyukur akan kesempatan menciptakan momen sederhana yang bisa jadi, salah satu malam paling berharga tahun lalu.

3HariItu8

Satu lagi, abadikanlah setiap momen yang berharga dengan foto, cause “What I like about photographs is that they capture a moment that’s gone forever, impossible to reproduce”, Karl Lagerfeld.

-bersambung-

Lagos, 10 : 29 pm.

A Thing Called Opportunity

LoveForMyParents

Saya sempat memiliki kekhawatiran kecil jika saja tulisan ini nampak seperti wujud kecil dari riya’. Tapi sungguh, saya telah meyakinkan hati untuk membagi ini agar kita percaya, bahwasanya ada banyak kesempatan dalam hidup untuk berbahagia pun membahagiakan.

***

Saya belajar selagi tumbuh. Bahwa ternyata dalam hidup, kita tidak bisa mendapatkan banyak hal besar secara bersamaan. Ada yang namanya prioritas. Ada pilihan-pilihan akan suatu hal besar yang patut untuk diwujudkan lebih dulu. Jika saja anda pernah membaca sepotong kisah akan keinginan saya memiliki kamera profesional, yang hingga saat ini belum bisa saya wujudkan, itu karena saya memilih untuk mewujudkan satu mimpi besar yang lebih bermakna.

Impian besar itu telah lama ada di antara impian-impian besar lainnya yang saya pupuk tiga tahun lalu sebelum hijrah ke Afrika. Memutuskan untuk memulai hidup di tanah asing berkilo-kilo meter jauhnya sungguh bukan keputusan kecil. Keputusan yang membutuhkan tekad besar untuk mau bekerja keras agar impian-impian yang tadi saya pupuk, tumbuh, dan terus tumbuh hingga akhirnya bisa saya banggakan saat mereka terpetik. Dan alhamdulillah, salah satu impian besar itu terpetik tahun ini.

Menghadiahkan Ibu dan Bapak untuk berdiri di depan Ka’bah kemudian berdoa di depannya adalah kebanggaan yang tidak bisa saya pungkiri. Bangga bukan hanya karena saya bisa memberangkatkan mereka berdua, tapi bangga karena impian tiga tahun lalu itu akhirnya terwujud. Bangga karena saya bisa menghadiahkannya selagi mereka ada. Meski hanya sekedar umroh, bukan naik haji, tapi bagi saya rasa bangganya sama besar. 

Saya memiliki logika sederhana, umroh pun haji adalah ibadah. Dan saya pikir dengan sistem haji di Indonesia yang cukup rumit dan lama, umroh bisa menjadi jalan yang lebih ringkas untuk beribadah ke sana. Toh, saya yakin dengan berdoa di depan Ka’bah saat umroh, berdoa agar bisa kembali ke sana dalam rangka haji, Allah pasti akan mengabulkan suatu hari nanti (amin). Sesederhana itu. Dan lagi, bagi saya, yang terpenting adalah bisa mewujudkannya selagi mereka ada.

Setiap kali melihat foto Ibu dan Bapak saat Di sana, saya selalu merasakan goosebump. Saya belum mampu membayangkan bagaimana magisnya suara adzan di Masjidil Haram dan bagaimana hati ini akan tersentuh pada megahnya Ka’bah. Pada gema super indah nan tentram akan puja-puji pada Sang Khalik saat semua muslim, dari suku, bangsa, dan latar belakang yang berbeda bersatu di sana, bersenandung menyebut nama-Nya. Setiap kali mendengarkan cerita Ibu pada indahnya Ka’bah, cerita yang sering beliau ulang, saya tak bisa menyembunyikan secuil senyum di wajah saya. Senyum yang ada karena pada akhirnya beliau berkesempatan merasakan mimpi di kehidupan nyata. Berdua, bersama Bapak.

Saya pun masih ingat betul pada suatu malam selepas maghrib, duduk bersila dengan perasaan yang luar biasa abstrak untuk memutuskan apakah saya harus pergi atau tidak. Perasaan abstrak itu campuran rasa bahagia akan kesempatan besar di depan mata dan rasa sedih meninggalkan orang-orang tercinta. Perasaan abstrak yang berakhir pada keputusan besar untuk pindah ke Afrika. Tak ada yang tahu betapa seringnya saya menangis tengah malam di hari-hari pertama saya di sini. Berusaha menangkis perasaan-perasaan bingung pada apa yang akan saya capai dan pada usaha untuk bertahan. Tapi sekarang, saya mulai tersenyum pada banyak kenyataan bahwa impian-impian tiga tahun lalu itu bisa terwujud satu-persatu. Dan tangisan-tangisan tengah malam itu mengajarkan saya untuk percaya satu hal, bahwa hal besar yang kerap kita impikan, bisa terwujud di waktu yang tepat hanya dengan kemauan dan kerja keras. Mungkin saya akan menulis mimpi besar lainnya, bisa beribadah ke sana bertiga bersama Ibu dan Bapak, selagi mereka ada (amin :)).

***

Saat anda lelah dengan problematika hidup yang kadang amat rumit dan tak adang ujungnya, coba sejenak hargai pencapaian-pencapaian kecil pun besar yang pernah anda capai. Mungkin saja, ada sekelumit syukur yang terlewatkan. Bersyukurlah karena kita masih bekerja, bersyukurlah karena masih memiliki kedua orang tua yang masih sehat hingga bisa mendengarkan gelar tawa mereka, bersyukurlah karena Tuhan Maha Baik. Ada banyak cara menunjukkan bakti pada kedua orang tua kita dari hal sesederhana doa, agar Tuhan senantiasa menjaga mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka. Sebagaimana Ibu dan Bapak kita yang senantiasa mendoakan kita diam-diam di setiap malam mereka terjaga :).

Reminiscence of Food

Mungkin anda bisa dengan mudah menebak mengapa saya menyukai postingan makanan. Hampir separuh dari konten blog ini berisi ketertarikan saya pada makanan. Nilai dan kebersamaan yang diciptakan dari makanan, lebih tepatnya.

Tadi selepas Maghrib, bersama Ibu, Bapak dan kakak-kakak saya, kami mencari makan malam. Duduk bersama mereka di kedai sederhana lengkap dengan ambiance jalanan dekat rumah yang ‘Indonesia’ sekali, membuat saya tersenyum dalam hati. Tersenyum karena nilai kebersamaan dari makan malam tadi sungguh tak ternilai. Terlebih karena kami jarang sekali keluar bersama sekedar berburu cita rasa lain diluar masakan rumahan. Saya sengaja tak membawa iPhone dan kamera. Saya benar-benar ingin menikmati kebersamaan kami lebih dalam. Menikmati makanannya, suasananya, tanpa sibuk dengan keduanya. Tanpa mengindahkan karsinogen yang menempel di daging tusuk yang dibakar, meja makan yang tidak fancy, minyak yang mengambang bebas diatas daging kambing berkuah santan, dan atap kedai seadanya. Ah, saya benar-benar menikmati nilai dari makan malam tadi meski saya tak mengabadikan momen dan makanannya. Sedikit sayang, tapi tak apa.

Semoga anda berkenan dengan beberapa kudapan yang sengaja saya buru tadi pagi menjelang siang. Saya akan mencoba mencari kesempatan mengabadikan street food untuk blog ini selama saya di Indonesia. Tidak hanya makanan-makanan cantik milik Bakerzin ini :)

Bakerzin1

Bakerzin2

Bakerzin3

Bakerzin4

Besok, semoga saja, akan tercipta nilai dan kenangan lain dari acara makan-makan dengan sahabat-sahabat dekat. Saya tak sabar bertemu dengan mereka, berbagi cerita bersama makanan-makanan yang tidak hanya instagram-able tapi rasanya juga mampu meninggalkan kesan. Saya tak sabar menciptakan kenangan lain dari serunya makan-makan :)).

The End of Quick Jaunt

O M G, it’s already nine of March and I just had one post for this blog? Had no idea why I’m bloody lazy lately. Yikes. Hopefully this could be a good start to post another. Hopefully :)

This post is an end of this and this.

In our last day I’ve told my sister that I really wanted to visit Potato Head in the afternoon. Before that, we decided to check-out from hotel at 9am and went straight to Beachwalk again. To be honest it was my idea :P yup just because I wanted to get some pieces of Topman there (No, just because Topman hasn’t opened yet in my own city :( and a little secret of me : I love Topman!!). After I got some pieces home, we sat down in Nanny’s Pavilion for too-early-snacks, sweet for my sister and I chose sour and crispy fried calamary. Oh, the waffle my sister chose was such a guilty pleasure. Here some iPhone snaps from our too-early-snack-time.

NannyBeachwalk1

NannyBeachwalk2

NannyBeachwalk3

NannyBeachwalk4

If you still remember that I and my sister wanted to have lunch at ‘Warung Itali’ on day 3 and failed, finally we went there again in our last day. I tried their lasagna, with stir-fried mushroom and slices of baked potato. It wasn’t bad for an affordable Italian food though yet I wish we had longer time to spend to try their heavenly pastas. Just an iPhone picture from Warung Itali (my sister didn’t order anything, just a bottle of Sprite! can’t you imagine :P).

WarungItaliBali

After Warung Itali we went straight to Potato Head Beach Club, one of the happening-cool-beach-club in Bali right now. It was one of main place I wanted to enjoy in Bali after Rock Bar. I don’t want you to call me a cool kid (haha) by spent time there, don’t get me wrong. I just wanted to see the architecture of Potato Head, plenty old vintage windows arranged beautifully as the landmark, designed by Andra Matin and the vibes of the beach club itself. We really should take lunch than just some sweets, it was because we had flight to go home by 4pm so we didn’t spend too long at Potato Head. We just ordered sweets apart of fries, chocolate milkshake and orange juice, it was chocolate mousse called ‘Valrhona chocolate mousse with sea salt caramel and chocolate chilli ice cream’ (ugh long name, it was for me) and an exotic mango…something something (in fact, I couldn’t remember the name what was my sister ordered :P). There was vanilla ice cream with mango cream and lychee foams (??? O gosh I had bad description, pardon me :P). Conclusion : The sweets were yummy indeed, price talked by itself. Coming there by 1pm in the afternoon wasn’t bad to enjoy the vibes, wish I had more days in Bali I wanted to enjoy a sunset and an evening there. Really. Oh they have different classes of order though, If you really want to enjoy the vibe in the front space where you can enjoy the swimming pool and the beautiful beach, you have to order minimum $60 if I’m not wrong :). Some snaps from Potato Head.

PotatoHead1

PotatoHead2

PotatoHead5

PotatoHead3

PotatoHead12

PotatoHead6

PotatoHead10

PotatoHead9

PotatoHead8

PotatoHead4

PotatoHeadBali11

This sentence probably sounds cheesy yet I couldn’t even believe that the picture above has been reblogged many times on my Tumblr.

Pecel, Cinta, dan Ibu

Kadangkala lucu juga bisa merasakan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang mampu membuat saya tersenyum sendiri. Tak perlu mendapatkan sesuatu yang menyilaukan mata, cukup makanan enak yang saya pun tak bisa menjelaskan seenak apa. Saking enaknya.

Saya akan mencoba mengingat bagaimana hati dan pikiran tak selaras saat pada salah satu bumbu favorit saya, Pecel.

Tujuh belas hari yang lalu rasa malas memasukkan bungkusan bumbu ini ke dalam koper yang-sudah-teramat-sesak menghinggap di otak saya. Tak ada lagi ruang di antara tumpukan yang rata-rata baju, sepatu dan buku, pikir saya. Rasa malas seperti itu apalagi jika bukan akibat packing dadakan yang seharusnya tidak saya ulangi tahun ini. Pagi itu, pukul enam pagi, saya masih berseliweran di ruang tengah yang bertambah sesak karena volume koper yang semakin gemuk. Bumbu-bumbu instan yang selalu punya ruang tentu saja sudah duduk manis di dalam sana. Tapi Pecel? Saya masih bimbang. Pikiran saya sedikit menolak. Alasannya karena selain akan merepotkan saat harus mengangkat koper melewati screening di bandara domestik, biaya kelebihan per-kilo pastinya akan membuat dompet saya sedikit demi sedikit mengempis.

Untung hati berkata lain. Kira-kira begini katanya “bawa saja, karena kamu tak akan tahu kapan rasa rindu itu muncul”.

Ibu saya dengan pelan memasukkan bumbu yang ia olah ke dalam plastik gula. Beliau setengah memaksa saya untuk tetap membawanya. Sesekali saya merapikan kembali posisi baju dan sepatu agar saya yakin ada ruang disana. Saya melirik bagaimana tangan Ibu saya luwes sekali memasukkan bumbu ke dalam plastik gula yang semakin penuh. Dari rekaan saya, kira-kira, satu kilo lebih sudah berhasil masuk. Tapi tunggu, dengan koper yang masih terbuka dan nampak semua tertumpuk lebih rapi, akhirnya saya meminta beliau untuk menguranginya. “Berat Bu, lagian kadang ia hanya akan mendekam di dalam kulkas beberapa minggu” saya berujar lagi. Ibu menguranginya kembali hingga kira-kira tersisa setengah kilo, cukup lah. Ya, karena setahun lalu, saya membawa bumbu yang sama. Bisa dihitung jari saya berhasil menikmatinya. Sisanya, bumbu yang sudah encer dengan seduhan air panas mengeras di dalam kulkas. Mengeras diantara perasaan sayang untuk dihabiskan dan malas mengencerkannya lagi.

Suara hati dua minggu lalu itu ternyata lebih tepat dari alasan yang berasal dari pikiran saya.

Bumbu semacam Pecel selalu berhasil menjadi obat mujarab ketika saya, yang masih memiliki sepuluh bulan kedepan, tiba-tiba rindu beliau. Dua hari yang lalu, sedari siang, saya sudah membayangkan mengolah bumbu Pecel dengan beberapa potongan empal daging dan sayuran yang saya punya di kulkas. Saya hanya punya kangkung, sawi dan wortel. Oh ya, ada sisa brokoli dan jamur dari eksperimen-ala-ala-Italia-super-cepat yang saya lakukan hari Minggu kemarin (akan saya posting nanti! :)). Selepas pukul enam sore, saya bergegas pulang. Untung minggu ini pekerjaan saya belum cukup padat, jadi saya masih punya waktu memasak. Sampai di rumah secepat kilat saya mengganti baju dan langsung ke dapur.

Saya memulai dari empal. Daging sapi yang dibeli sopir saya mudah sekali diiris tebal (saya ‘nitip’ sopir untuk mampir ke supermarket dekat kantor pukul lima agar menghemat waktu, jadi saat jam kantor berakhir, saya tinggal ‘cus’ langsung ke rumah :P). Setelah diiris saya mencucinya lagi sebelum mereka masuk ke penggorengan yang sudah ada tumisan bumbu instan. Bumbu yang saya pakai bumbu ayam goreng, tinggal ditambah ketumbar (saya menambah banyak sekali ketumbar tumbuk) membuat rasa empalnya pun tak kalah nikmat. Memasak dengan bumbu instan sebenarnya jalan keluar yang tidak cukup baik, bukannya saya malas, tapi karena ada beberapa bahan makanan yang tidak bisa didapat disini yang membuat saya layu ; bertekuk lutut pada bumbu jadi. Bagi saya yang penting jangan sering-sering (!!!), makanan yang bisa saya masak dengan bumbu alami tetap menjadi primadona.

Setelah empal saya masak, saya menyiapkan sayuran-sayuran tadi untuk direndam sebentar di dalam air panas. Oh ya, ada pula jagung manis kalengan. Sayurannya tidak matching? Kedengaran aneh untuk sebuah Pecel kan? Saya tak peduli. Toh rasa bumbu Pecel Ibu saya ini kuat sekali, campuran sayuran apapun tak akan bisa mematahkan rasanya. Racikan kacang tanah yang disangrai kemudian ditumbuk dengan rempah-rempahnya seperti punya rahasia.

Sayuran selesai, seduhan air panas di mangkok persegi bercampur sempurna dengan bumbu Pecel. Tiga kali saya menambahkan sedikit air mineral kedalamnya agar keencerannya sempurna. Semuanya sudah siap!. Selepas Isya’ sembari menunggu flatmate saya pulang meeting, saya menikmati Pecel itu sendiri sebelum akhirnya porsi saya sisa separuh, ia datang dan reflek “Aw, It’s heaven!”.  Makan malam kami dua hari yang lalu sungguh spesial.

Oh Tuhan, beberapa kali saya bersyukur saat rasa bumbunya bercampur dengan sayuran pun empalnya. Nikmat sekali di lidah. Sungguh (!). Apalagi bumbu Pecel-nya mendapat dukungan dari salah satu sayuran inti yang harus ada di Pecel : Kangkung (!!!). Kangkung disini cukup langka, hanya bisa saya dapat di Lekki, satu-satunya pasar tradisional seantero Lagos yang menjual sawi dan kangkung. Sesekali saya teringat wajah Ibu saya saat mengoles bumbu di atas empal yang sebelumnya digoreng dengan minyak secukupnya. Hingga akhirnya sisa-sisa bumbunya saya tuntaskan dengan beberapa jilatan di jari-jari saya. Ya! Saya menikmatinya dengan tangan, bukan sendok dan garpu.

Memang tak ada yang menandingi nikmatnya makanan Indonesia yang-memang-sudah-nikmat di negeri orang. Luar biasa bahagianya bisa menikmati hasil racikan Ibu sendiri yang super-duper-yummy. Saya menyimpan sisa bumbu Pecel-nya di dalam kulkas, sedikit sayang untuk sekedar menjadikannya cemilan :). Ah, sungguh, saya ingin memeluk beliau saat ini karena saya semakin sadar Ibu saya briliant. Karena tak mungkin memeluknya dari sini, mungkin foto yang saya ambil dengan iPhone ini mewakili perasaan saya padanya :).

Pecel

Pecel2

Pecel3

Pecel4

Pecel5

P.S. Foto-foto ini hasil jepretan kemarin pagi, saat saya dengan semangat ingin mengulangi kenikmatan bumbu Pecel untuk sarapan, tanpa nasi. Hanya sayuran-sayuran yang sama. Memasak sayuran-sayuran itu membuat saya harus bangun sedikit lebih awal. Tak enak kan jika sayurannya tak segar? :). Oh, foto terakhir, saya ambil tadi pagi, karena kemarin saya lupa dan baru sadar tak akan lengkap jika tidak menyertakan bentuk fisik bumbu Pecel-nya sendiri sebelum diseduh. Saya terpaksa menggunakan kemeja hitam yang belum disetrika sebagai background, hehe, saya kehabisan props, toh hasilnya tidak buruk bukan?. Bagaimana, apa saya berhasil membuat anda menelan ludah kali ini dengan Pecel racikan Ibu saya? :). -Azis-

Ternyata Sama

IMG_1906 copy

Saya kira saya tidak akan seperti ini. Saya kira saya sudah berbeda. Bisa kuat saat berhadapan dengan namanya perpisahan sementara.

Kemarin saat saya masih menyiapkan diri untuk kembali meninggalkan rumah, perasaan kecil yang pernah saya rasa setahun yang lalu muncul kembali. Setengah malas, setengah tak rela, dan berat. Setengah tak sadar kok saya sudah harus pergi lagi. Perasaan tadi diperparah Ibu saya. Ibu menangis saat saya menjabat tangan kemudian menciumnya. Beliau menangis sambil memeluk anak bungsunya ini. Dilain sisi saya terenyuh. Di lain sisi saya ingin menghentikan momen seperti itu karena saya benar-benar tidak menyukainya.

Tahun ini Ibu saya berbeda. Dua tahun yang lalu saat saya pergi meninggalkan rumah pertama kalinya untuk memulai hidup baru di Afrika, beliau tak menangis sedikit pun. Tahun kedua sama. Tak ada momen seperti kemarin. Parahnya tangisan beliau menular ke kakak-kakak perempuan saya. Sungguh, saya benci momen seperti itu. Hampir saja mata saya melelehkan air mata, hampir. Air mata saya sudah di ujung, sudah hampir tumpah. Ibu berujar masih merindukan saya. Beliau bermimpi saya bisa memiliki waktu yang lebih panjang di rumah. Beliau masih ingin saya di rumah. Hati saya sebenarnya berkata sama. Saya masih rindu rumah, rindu kota dimana saya dilahirkan dan dibesarkan, rindu akan negara indah ini.

Tadi saat masih di dalam kamar hotel tempat saya menginap semalam disini, di Jakarta, saya kembali ingat wajah Ibu. Saya akui masih belum banyak menghabiskan waktu berdua dengan beliau, namun tahun ini jauh lebih baik. Saya lebih sering di rumah dibanding tahun pertama saya pulang. Tahun ini saya mensyukuri banyak hal. Mensyukuri waktu, kesehatan dan kesempatan kembali pulang. Mensyukuri bisa menikmati masakan Ibu, merasakan kembali indahnya berbuka puasa di rumah, mendengarkan gema indah di malam takbiran, melihat seluruh keluarga dalam keadaan sehat, dan banyak berkah-berkah lain yang tak terlihat yang harus saya syukuri.

Saya berusaha menguatkan diri untuk selalu berpikir ke depan, berpikir bahwa yang namanya perubahan hidup selalu ada harganya. Saya memilih Afrika sebagai tempat mengais rejeki dengan harga yang tak murah. Harus meninggalkan kedua orang tua, saudara, sahabat ah, sungguh itu semua tidak murah. Dibalik itu, saya akui hikmah terbesar dari terpisahnya jarak antara saya dengan deretan orang-orang tadi membuat saya semakin mencintai mereka.

Menangkis perasaan-perasaan seperti hari kemarin, perasaan berat meninggalkan rumah untuk kembali ke Afrika, tak akan pernah mudah bagi saya. Saya sudah melewatinya dua kali dan ternyata sama beratnya.

Nanti malam saya akan kembali mengarungi waktu kembali ke Afrika. Selain selamat sampai disana, saya hanya punya harapan kecil ; semoga hati saya masih tegar melawan perasaan-perasaan rindu yang masih tersisa disini. Di Indonesia.

Jakarta ; 12.56 PM

Kotak Kecil Untuk Bapak

Kotak Kecil untuk Bapak

Siang tadi saya menemukan tulisan ini. Tak sengaja hingga saya menikmati setiap kalimatnya.

Sambil menikmati sepotong Tart aux Broccoli and Chicken di salah satu kedai, mata saya membaca postingan tadi secara perlahan. Menikmati setiap kalimatnya. Tulisan sederhana namun teramat menyentuh yang ditulis Bang Nuran (begitu biasa saya memanggilnya) saat ia bertemu (Alm) ayahnya di dalam mimpi.

Tiba-tiba saya teringat Bapak.

Kotak kecil di atas itu untuknya. Siang tadi akhirnya saya membawa pulang setelah hampir tiga kali melihatnya dari etalase. Saya memilihnya karena teringat benda pertama kali yang ia pegang saat saya pulang tahun lalu. Jam tangan. Ya, jam tangan abu-abu saya melingkar di pergelangan kanannya. Mungkin ia sudah teramat bosan dengan jam tangan Seiko sederhananya. Hehehe.

Tenang Pak, nanti jika saya sampai rumah (kembali), tak perlu menggelangkan jam tangan saya.

Lagos, 9 : 39 pm.

If Tomorrow Never Comes

Azis BW

Pikiran saya bertambah runyam. Setelah beberapa hari belakangan perasaan dan pikiran terganggu karena seseorang, siang ini kabar buruk datang. Ibu dari Madam Uche tiada. Innalillahiwainna ilaihirojiu’n.

Kehilangan seseorang yang kita cintai memang tak akan pernah mudah. Apalagi yang meninggalkan kita adalah makhluk terdepan di deretan orang-orang penting di kehidupan semua manusia, Ibu. Saya tak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan seorang Ibu. Kehilangan sosok yang tak akan pernah terganti bagi siapapun. Terlebih lagi saat saya harus tinggal a thousand miles away.

Tulisan singkat saya ini bisa jadi salah satu penawar instan untuk mencurahkan apa yang saya rasa detik ini. Teringat bahwa dari dulu pun salah satu rumus di dunia tetap sama, semuanya akan berpisah. Dan seindah apapun deskripsi yang disematkan orang lain disela kata perpisahan, bagi saya, perpisahan tetaplah mimpi buruk.

Tiba-tiba saya teringat lirik ini :

‘Sometimes late at night

I lie awake and watch her sleeping
She’s lost in peaceful dreams
So I turn out the lights and lay there in the dark
And the thought crosses my mind
If I never wake up in the morning
Would she ever doubt the way I feel
About her in my heart

If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way to show her every day
That she’s my only one
And if my time on earth were through
And she must face the world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes

‘Cause I’ve lost loved ones in my life
Who never knew how much I loved them
Now I live with the regret
That my true feelings for them never were revealed
So I made a promise to myself
To say each day how much she means to me
And avoid that circumstance
Where there’s no second chance to tell her how I feel

If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way to show her every day
That she’s my only one
And if my time on earth were through
And she must face the world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes

So tell that someone that you love
Just what you’re thinking of
If tomorrow never comes’

If Tomorrow Never Comes – Ronan Keating.

Kadangkala kita terus-menerus lalai berterima kasih kepada Tuhan untuk sebuah kesempatan. Kesempatan akan waktu untuk masih bisa mencintai, memandang, bercerita, berbagi, dan waktu-waktu manis lainnya. Dan sungguh, masih memiliki waktu bersama orang-orang yang kita cintai itu kekayaan yang tak terlihat.