Just A Little Gift

Ada dua alasan mengapa tanggal sebelas bulan Mei cukup istimewa. Pertama, itu hari lahir saya. Secondly, tanggal sebelas Mei tahun lalu dua sahabat baik saya, Ayos dan Winda resmi menikah. Ayos dan Winda sama-sama lahir di bulan Mei. Tanggal enam Ayos lahir, sedang Winda lahir tanggal tiga belas. Tak hanya mereka berdua, sahabat saya yang lain, mbak Ika lahir di tanggal yang sama dengan Rifda, tanggal empat. Dan terakhir, Sohib, lahir tanggal lima. So, we are bunch of cool Mayers exactly.

Tanggal sebelas kemarin, saya tak merayakan apa-apa. Selain memang bukan tradisi, kali ini saya memilih untuk mensyukuri lebih pada nikmat-nikmat yang tak kentara. Tak ada satu hadiah pun yang saya beli untuk diri sendiri macam ini. Hadiah dari sahabat-sahabat saya? Ada, meski bukan berupa sebuah benda. Melainkan hadiah sederhana yang mampu membuat saya terharu. Yup! ucapan selamat ulang tahun.

Saya selalu menaruh iPhone on airplane mode setiap akan tidur dan menyalakannya kembali saat bangun. Sebelum pergantian hari, saya sengaja mengatur alarm pukul sepuluh, setengah sebelas, dan pukul dua belas kurang lima belas menit. Jaga-jaga saja agar saya bisa bangun tepat setelah pukul dua belas malam. Saya hanya ingin memanjatkan doa sederhana berisi rasa syukur pada Allah yang telah melimpahkan banyak berkah dan kesempatan hidup. Panjatan rasa syukur karena Allah memberkahi orang tua, keluarga, sahabat, dan guru-guru dengan kesehatan. Pun doa-doa singkat berisi permintaan pada hal-hal yang belum saya capai dalam hidup. Bertemu jodoh kemudian menikah, melanjutkan pendidikan, hingga meminta petunjuk untuk dipermudahkan jalan menuju Eropa. Benua yang saya yakin akan menjadi tempat berpijak setelah Afrika. Lima belas menit setelah bangun tengah malam, saya kembali tidur.

Saat saya bangun dan mengaktifkan kembali iPhone, notifikasi di Line saya menumpuk. Ucapan selamat dari Winda, Ruli dan Maya yang tergabung dalam satu grup (baca : grup Sogeh) memenuhi layar. Saya membalas mereka dengan ucapan terima kasih pun menyempatkan mengucap selamat pada Winda yang telah melewati satu tahun pernikahan. Ucapan dari sahabat-sahabat saya yang lain, mbak Ika, Rifda, Fahmi, Sohib, Ayos, Edwin, Yuriko, Tomo, Dimas, juga memenuhi notifikasi di iPhone. I was like I had spring of joy because their wishes was so touchy, and I felt blessed when my bestfriends remembered the day I was born.

***

Friendship1

Saya memiliki ide sederhana untuk hadiah first wedding anniversary si Winda dan Ayos yang indah sekali diterjemahkan lewat goresan tangan flatmate saya di sini, mas Danang. It was an impromptu idea actually saat saya melihat mas Danang sedang bosan di kantor dan mulai mencoret-coret kertas gambar. Saat melihat tangannya gatal menggambar sebuah karikatur, saya langsung menyodorkan buku sketsa dan mentrasfer ide yang ada di benak saya. I know he is so so good in drawing. “Mas, yang ada di pikiran saya, Ayos memeluk Winda. Sedang saya, Ruli dan Maya ikut berbahagia melihat mereka berdua bahagia”, kira-kira itu yang saya ucapkan pertama kali. Mas Danang langsung meminta saya menunjukkan foto kami berlima. Saya mulai bersemangat setelah ia menggoreskan goresan pertama dan menggambar Winda. Ia hanya butuh sekian menit kemudian mengganti goresan pensilnya dan mulai menggambar wajah Ayos. Saya bertambah semangat saat mas Danang menangkap wajah Ayos dengan sempurna lengkap dengan kacamatanya. Kemudian, ia mulai menggambar Ruli.

Ia menangkap karakter wajah Ruli begitu sempurna lengkap dengan alis tebal dan bagian jenggotnya. Ide saya kemudian berkembang liar. Saya meminta mas Danang untuk melengkapi Ruli dengan odong-odong. Saya tertawa membayangkan Ruli mengayuh odong-odong mengingat badannya yang cukup tambun. Saat mas Danang mulai menggambar wajah saya, saya berpesan untuk melengkapi tangan saya dengan tumpukan dolar dan beberapa koin-koin emas berceceran. Please don’t judge me I’m a greedy person yang materialistik :). Konsep dolar dan emas hanyalah konsep yang datang tiba-tiba saat saya ingat obrolan saya dan Maya di Line yang selalu membuat kami berdua tertawa terbahak-bahak. Candaan saya dengan Maya kadang dibumbui candaan-candaan macam orang stress. Maya selalu menuduh saya mendewa-dewakan uang, hehe, sedang saya selalu menggoda Maya bahwa ia akan bahagia jika memiliki banyak uang. Karena dengan uang, Maya bisa membeli lipstik merah yang ia idamkan, membayar uang pendaftaran Ranu, ke salon hanya untuk creambath, atau sekedar duduk-duduk ‘ha-ha-hi-hi’ dengan teman-teman sosialitanya ditemani teh dan cakes cantik-cantik di kedai teh seharga lima ratus ribu. Dan, dengan dompet tebal, Maya bisa membawa pulang Skippy.

Ini lucu, ide saya berkembang lagi saat mas Danang menggambar wajah Maya. Saya meminta ia menggambar kaleng-kaleng Skippy di depan Maya yang sedang duduk dengan kalung emas tebal di lehernya. Kenapa tiba-tiba saya berpikir Skippy?. Malam itu saya dibuat kembung dengan cerita Maya yang tak kuasa menahan air liurnya pada Skippy. Maya berdiri di depan tumpukan Skippy dan Nutella saat ia berbelanja di sebuah supermarket dan tak mampu membawa pulang sekaleng Skippy. Kata Maya begini, “Sayang duitnya Jis, kalo gw beli, gw mikir. Anak gw makan enak ga ya di Batam?.”. Saya setengah terharu tapi tak mampu menahan tawa di dalam kamar. Saya membayangkan wajah Maya di depan rak dengan Skippy yang memanggil-manggil untuk dibawa pulang. Tawa saya semakin kencang saat saya membalas Line-nya dengan stiker si Brown yang menabur uang dan sebuah bebek kecil yang mencoba menangkap uang-uang yang ditabur. Maya membalas, “Jis, itu si bebek kayak gw, sedang elu yang nabur-nabur duit.”. Bagaimana saya bisa menahan tawa dengan obrolan gila macam itu :).

***

Melihat sketsa mas Danang ini membuat saya tak sabar bertemu mereka tahun ini. Saya memiliki ide untuk makan siang bersama merayakan cool Mayers nanti saat saya pulang. Dan tentu, saya berharap Maya bisa ke Surabaya lagi seperti tahun lalu saat kami merayakan persahabatan seperti ini. Di suatu siang yang hangat, dengan makanan-makanan yang menggugah selera, melepas rindu dengan cerita dan canda tawa. Oh, saya pun akan mencetak sketsa ini di kertas foto dan membingkainya sebanyak empat buah. Untuk saya sendiri, Winda, Ruli dan Maya macam simply gift untuk wedding anniversary Ayos&Winda dan untuk perayaan persahabatan kami berlima. I’m blessed I have them and our friendship and I feel happy as well that soon, Ayos Jr will come to this world! :).

Friendship2

This iPhone picture below was taken on 11th of May when I shared some pizzas with my colleagues at our office. Please dont judge my messy hair that day :).

Friendship3

Oh, Maya, sketsa dan tulisan ini adalah kejutan yang saya tutup-tutupi dari hari kemarin. Semoga kamu tersenyum dan bahagia like I do :).

Cheers,

-A-

#FoodTaster : Lipton Green Tea (Mandarin Orange)

Seperti biasa, penyakit saya seringkali kambuh saat melirik bahan makanan ataupun minuman yang aneh-aneh. Kali ini saya tergoda mencomot salah satu produk Lipton. Teh hijau rasa jeruk mandarin.

Pertama kali melihat kemasannya, saya tertarik dengan bentuk kantong tehnya yang tak biasa ; piramida.

Bagaimana rasanya? Nah ini yang terpenting. Selain bentuk kantongnya yang menarik, rasa tehnya ternyata sama menariknya. Paduan teh hijau dengan jeruk mandarinnya pas. Dari kantong tehnya bisa dilihat butiran-butiran seperti kulit jeruk yang beraroma segar. Flavouring jeruk mandarinnya asli dari jeruk, bukan dari artificial flavour. Warna tehnya sama seperti warna teh hijau pada umumnya yang cenderung light, tidak pekat seperti teh hitam.

Menyeduhnya saat panas adalah cara yang sempurna menikmati teh jenis ini, kalau disajikan sebagai es teh saya kira tidak akan nikmat. Harganya? Agak sedikit lebih mahal dari teh favorit saya, Dilmah Tea yang bisa saya dapat seharga N240. Lipton Green Tea Mandarin Orange ini bisa didapat seharga N650 (atau sekitar Rp.38,000). Oya, setahu saya di Indonesia Dilmah Tea bisa didapat seharga 48 ribu ya? Kok disini bisa lebih murah, hihihi.

MandarinTea1

MandarinTea2

#Foodtaster : Weetabix.

Anda suka Gandum? Harus coba ini!

***

Bentuk fisik sereal ini hampir mirip seperti serbuk gergaji yang dicetak. Rapuh dan mudah berantakan saat disantap. Rasanya jangan ditanya. Saya pecinta gandum dan sejauh ini Weetabix adalah salah satu sereal berbahan dasar gandum paling enak. Sereal ini bisa jadi alternatif cerdas saat anda malas membuat sarapan. Cukup sediakan full cream milk dingin kemudian tinggal disantap.

Produk sereal asal Inggris ini memiliki beberapa varian yang bisa anda coba, mulai dari Original, Weetabix Chocolate, Cereal Bar, Weetabix Minis dan beberapa varian lain. Favorit saya adalah Weetabix coklat. Selain rasanya yang renyah, coklat chips nya cukup menghibur lidah. Anda bisa menyanding Weetabix dengan susu segar (dingin lebih baik) atau dimakan begitu saja. Rasanya sama-sama nikmat.

Terakhir kali saya mencicipi Weetabix Crispy Mini. Dari namanya saja anda pasti tahu bentuknya bakal bite-size. Rasa si mini agak berbeda dari Weetabix biasa, sedikit lebih manis dengan tekstur sedikit lebih keras. Ada tiga varian rasa dari si mini, Coklat Chips, Strawberry dan  Caramel & Nuts. Dari bentuknya, si mini jauh lebih praktis jika anda menyantapnya sebagai cemilan daripada Weetabix Original karena teksturnya lebih keras dan renyah.

Dari penilaian saya, Weetabix rasa coklat tetap juara meskipun yah, saya sedikit kerepotan saat menyantapnya sendiri. Apalagi jika bukan karena teksturnya yang rapuh dan  mudah beterbangan, hihihi. Penasaran dengan sereal gandum ini? Coba cari di supermarket yang menjual produk impor, saya jamin anda akan jatuh cinta dengan pilihan saya, Weetabix coklat!

Weetabix6

Weetabix4

Weetabix2

Weetabix5

Weetabix1

Weetabix3

Ewa, Bubur Kacang ala Nigeria

Ewa, bubur kacang ala Nigeria.

Mari berkenalan dengan salah satu kuliner khas Nigeria, Ewa.

Ewa adalah sejenis bubur khas Nigeria yang menggunakan bahan dasar brown beans. Resep ini hanya membutuhkan bumbu sederhana yang terdiri dari bawang merah, garam, dua jenis cabe ;  red bell pepper dan habanero, cabe rawit super pedas Afrika yang berasal dari Amazon, minyak kelapa dan penyedap rasa. Secara umum rasa Ewa tak terlalu buruk bagi saya karena rasanya hampir mirip seperti gule maryam. Jika anda pernah mencicipi gule maryam (gule yang bahan bakunya dari kacang hijau, dimakan dengan roti maryam/canai), rasanya beda tipis dengan Ewa.

Cara memasak Ewa hampir sama dengan cara memasak bubur pada umumnya. Brown beans yang sudah dibersihkan sebanyak dua kali direbus di dalam air mendidih. Pebandingan air yang diperlukan terhadap beans adalah 3 : 1. Bumbu yang diperlukan di blender hingga halus kemudian dimasukkan ke dalam rebusan kacang dan ditambahkan minyak kelapa. Rebus bubur selama 30 menit hingga lembut.

Ewa disajikan saat hangat dengan Shawa. Shawa adalah sejenis ikan yang digoreng kering dibumbui cabai dan bawang hingga kental. Rasa Shawa sendiri rasanya cukup spicy sehingga Nigerians biasa menambahkan plantain goreng yang manis sebagai penyeimbang rasa. Selain dengan Shawa, Nigerian juga memakannya dengan Garri, sejenis cassava kering yang ditumbuk. Cara memakan Garri hanya ditambahkan air ke dalam mangkuk dan dimakan bersamaan dengan Ewa. Tidak semua Nigerians suka menyantap Ewa. Bagi mereka yang tidak menyukainya, mereka akan memilih roti lokal yang bisa didapat hanya N50 dan menyantapnya dengan Shawa.

Saya pernah beberapa kali mencoba memakan Ewa dengan ikan dan plantain goreng. Rasanya tak cukup buruk meski saya jauh lebih suka memakan brown beans yang dibumbui bawang merah iris dan garam saja. Sebagai catatan, jika perut anda kosong dalam waktu yang cukup lama sekitar +/- 8 hingga 10 jam, kemudian memilih menyantap Ewa, anda perlu waspada. Anda tidak hanya akan kenyang karena memakan Ewa, namun perut akan panas karena beans mengeluarkan gas yang cukup kuat hingga perut anda akan sedikit mulas.

Ewa bisa disajikan dengan Shawa, ikan yang digoreng kering dengan saus diatasnya.
Fried plantain. Ini juga teman si Ewa, plantain yang dipilih biasanya manis hingga seimbang dengan rasa Ewa yang gurih.
Biasanya roti lokal juga dipilih untuk menemani Ewa. Bagi yang tidak terlalu suka dengan beans, mereka memilih roti dengan Shawa.
Yang ini namanya Garri, sejenis casssava tumbuk.

Si Naira

Mari mengintip isi di dalam Ferragamo dan berkenalan dengan mata uang yang saya gunakan sehari-hari di Lagos.

Naira (N) adalah mata uang resmi Republik Nigeria yang nilai tukarnya terhadap dolar berkisar rata-rata 157-158 per $1. Nilai tukar terhadap Rupiah (Rp) adalah 60 rupiah per 1 Naira. Pecahan terendah adalah 1 naira berbentuk koin dan disebut kobo. Sayang saya tak bisa menampilkan disini karena pecahan terendahnya hampir tak lagi digunakan dalam transaksi sehari-hari. Sedangkan pecahan tertinggi berakhir di N1000. Artinya nilai tertinggi mata uang ini enam puluh ribu rupiah (Rp.60.000). Penasaran dengan fisik si Naira? Seperti ini :

Lima Naira.
Sepuluh Naira.
Dua puluh Naira. Tak ada yang bagus didompet.
Lima puluh Naira. Dengan pecahan ini saya bisa membeli satu kantong kecil ground nuts yang biasa dijajakan di jalan.
Seratus ini bisa dapat plantain chips! Ya, sebungkus kecil keripik pisang seharga enam ribu rupiah! Woho!
Ini nilai tertinggi, seribu Naira.

Saya rindu warung, rindu makanannya!

Warung menurut saya memiliki kekhasannya sendiri. Dan makanannya bisa jadi salah satu makanan terenak di dunia.

Sejak tinggal di Lagos, beberapa kali saya tersiksa kerinduan itu. Pergi ke warung, memesan apa yang saya inginkan, merasakan atmosfer sekitar dan carut marut yang menyertainya. Sebuah epik kehidupan yang berbanding lurus dengan budaya, adat dan lingkungan. Saya merindukannya namun sial tak banyak menebus kerinduan itu dua bulan yang lalu saat pulang. Terlalu banyak menuruti ego dengan beberapa hal yang tentunya sekarang, saya sesali. Sungguh.
Saya tak menyediakan cukup waktu untuk sekedar hunting makanan-makanan warung yang sejatinya memiliki keunikannya sendiri. Di Lagos tak pernah sekalipun melihat apa yang saya anggap ‘warung’ meskipun beberapa tempat mungkin bisa dikatakan warung. Namun bagi saya warung di Indonesia tak ada tandingannya. Sebagai perantau munafik jika saya tak menyebutkan warung sebagai salah satu tempat khusus yang dirindukan. Terlebih makanannya. Di Indonesia, kita bisa leluasa menemukannya kemudian duduk. Memesan apa yang ingin kita pesan. Merasakan atmosfer yang selalu berbeda di setiap warung. Mengeluarkan lembaran rupiah untuk menu yang rata-rata masih murah.

Kerinduan-kerinduan itu kemudian mulai saya tepis. Berusaha keras membuat daftar makanan warung yang saya ingin saya makan, kemudian melampiaskannya dengan memasak. Jalan keluar apa lagi yang bisa saya patahkan jika bukan memasak sendiri makanan yang saya rindukan. Tidak seperti di Amsterdam restoran Indonesia menjamur, jangan berharap banyak menemukannya di Lagos. Lagos lebih banyak menyediakan restoran cina disamping kedai-kedia makanan yang menawarkan olahan lokal. Sesekali jika capai dan bosan dengan masakan sendiri saya menyempatkan ke restoran cina sekedar hanya memesan salah satu tom yam terenak yang mereka jual. Jelas tidak setiap hari karena jika iya, dompet saya akan sekarat karena harga yang mereka kenakan pada rata-rata porsi mereka tiga kali lebih mahal dari makanan restoran di Indonesia. Sejatinya memasak makanan di rumah jauh lebih hemat meskipun tingkat kecapaian dan kerepotan tidak mudah untuk beberapa makanan. Tapi kecapaian dan kerepotan itu akan pupus jika kerinduan akan makanan warung, seperti yang saya bilang, makanan terenak di dunia berhasil disantap. Meskipun minus atmosfer. Makanan yang seringkali saya rindukan, bukan saya saja, teman flat saya pun begitu seperti mereka ini.

Pecel.

Bisa makan pecel di Afrika? Wow!

Sebagai perantau dari jawa timur, saya tidak kangen pecel selama disini? Bullshit! Pecel salah satu makanan andalan yang ada dibarisan depan makanan favorit saya. Rasa bumbu yang unik dan paduan sayur mayur sebagai bahan dasar tidak akan pernah bisa saya hiraukan. Saya beruntung memiliki ibu yang jago masak dan berbaik hati membuatkan anak bungsunya bumbu pecel siap pakai meskipun sebelumnya saya malas menyesakkan bumbu ini dikoper. Bumbu pecel ini sungguh obat mujarab menepis kerinduan akan makanan warung dan ibu saya tentunya.

Daging sapi diselimuti bumbu balado. Nendang!

Suatu sore saya kerasukan rindu akan pecel. Saya dan flatmate kemudian setuju memasak menu pecel semirip mungkin dengan pecel yang ada di warung. Kami memasak daging bumbu balado sebagai temannya. Daging sapi berbalur bumbu merah keemasan yang pedas sangat cocok disandingkan dengan pecel. Kami menyertai sayuran untuk pecel kami minus daun kemangi yang memang susah didapat di Lagos. Timun juga. Kami lupa membelinya. Ini bentuk nasi pecel yang kami santap malam itu.
Menyantap menu Indonesia di negara orang itu salah satu bentuk syukur yang teramat besar. Jika tinggal di negara yang masih menyediakan restoran Indonesia lain cerita, tapi menikmati pecel di Afrika tentu luar biasa indahnya.

Sate.

Menemukan sate sebenarnya tak sulit di Lagos. Restoran cina dan beberapa restoran fushion milik lebanese umumnya selalu menyediakannya. Tentu dengan harga selangit. Di malam yang berbeda saya melontarkan ide sate sebagai menu makan malam bersama kedua flatmate saya. Sate ayam!

Sate ayam.

Memasak sate yang tidak terlalu sulit akhirnya kami lakukan. Memulai dengan menyiapkan daging ayam yang ditusuk rapi dibalur dengan sedikit garam, jeruk nipis untuk menetralisir bau amis, dan bahan andalan, kecap! Bahan makanan yang mustahil saya temukan di Lagos. Jangan berharap bisa menemukan kecap disini karena yang saya temukan hanya soy sauce buatan Hongkong ataupun Cina yang bentuknya cair dan lebih mirip kecap asin.

Olah sate ala-ala.
Bumbu pecel buatan ibu tercinta :) nyum! Mencampurnya dengan selai kacang untuk bumbu cocolan sate, rasanya? no doubt on it!
Lihat tampilan sate saya, seperti beli di warung khan? Hehehe.
I cant live without Bango! :p

Kecap kedelai macam kecap Bango? Forget it. Hanya satu tempat kecap kedelai tinggal, di kedutaan! Itupun harganya ampun. Orang-orang kedutaan menjualnya dengan harga tinggi. Itulah kenapa setiap saya pulang kecap selalu memiliki ruang dikoper saya. Saya tak akan bisa hidup di Afrika tanpa kecap. Sate ayam buatan kami dibakar diatas teflon karena kami tak memiliki panggangan. Membakar diatas teflon dengan kompor sedikit mengurangi nilai kenikmatannya dibanding dengan membakarnya di tungku arang seperti di warung. Bumbu sate didapat dari perpaduan selai kacang dan bumbu pecel saya. Rasanya! Wow! Pasta kacang mensubtitusi bumbu kacang yang biasa dibuat penjual sate dan rasanya tak buruk. Kreatif ditengah keterbatasan. Rasanya tetap enak! Mungkin karena bawaan mood dan rindu, semuanya jadi nyum! :)

Ayam goreng kering.

Nyum! Crunchy!
Damn this is hot!

Ayam goreng kampung yang biasa saya dapatkan di warung dekat rumah, ah yang ini murah dan memanjakan. Ayam yang dilumuri garam, lada, jeruk nipis dan cabe bubuk kemudian digoreng kering. Dimakan dengan nasi panas dan sambal! Wow! Serasa makan di warung sungguhan. Dan cara makan terenak, seperti ini! Pakai tangan :D

Ini cara makan ternikmat! Pakai tangan!

Tahu goreng plus sambal!

Ya tahu. Makan nasi panas dengan tahu dan sambal terasi nikmatnya mengalahkan menu restoran dengan aneka platting dan namanya yang aneh2. Makanan sederhana ini luar biasa dengan harga yang ‘mahal’.

Tahu, menu sederhana namun jadi ‘mahal’ jika anda hidup di Afrika!

Tahu di Lagos bisa saya beli seharga 140 naira alias 8400 rupiah sepotong ukuran 5 x 15 cm dengan tinggi hanya 4 cm. Mahal sekali dibandingkan tahu yang sering saya beli di pasar tradisional di Indonesia seharga 300 rupiah dan dua kali lebih tebal dibandingkan tahu disini. Ya, semakin jarang bahan makanan ditemukan harganya semakin tinggi. Sayangnya saya hanya menemukan tahu dan memupus harapan bisa menemukan temannya, karya kuliner terenak di dunia, apalagi jika bukan tempe.

A Shockin’ Evening

The first Surabaya Fashion Parade award.

Saya akan mencoba mengumpulkan puzzle ingatan mengenai ini.

Saya menyebutnya iseng-iseng berhadiah. Empat tahun yang lalu tepatnya 2008 saya berani mengikuti salah satu kompetisi ilustrasi di Surabaya Fashion Parade. SFP adalah parade fesyen yang digelar oleh salah satu plaza terkenal di Surabaya, Tunjungan Plaza. Sekarang menjadi annual event setiap bulan Mei. Jika saya tak keliru, kompetisi itu pertama kali diadakan tahun 2008. Artinya saya mengikuti kompetisi SFP saat pertama kali digelar.

Kompetisi SFP tahun itu saya dengar dari sahabat kecil saya yang beberapa kali menjuarai kompetisi ilustrasi, panggil saja namanya Sohib, dia bisa anda temukan disini. Saya masih ingat saat mengunjungi rumahnya yang hanya terpaut beberapa rumah dari rumah saya. Sore itu, dia menyodorkan iklan SFP di salah satu surat kabar nasional. Surat kabarnya hanya saya bolak balik mencari artikel yang lebih menarik yang bisa saya baca. Saya jelas tak memiliki ketertarikan saat itu dengan SFP. Bahkan ia lah yang menyuruh saya menghubungi kontak yang ada di iklan, siapa tahu dengan mengikuti kompetisi itu saya bisa menang. Mungkin pikirnya begitu.

Saya membawa pulang surat kabar itu dan masih tak tertarik dengan kompetisinya. Setelah saya membaca surat kabar itu sekali lagi, saya menemukan alamat yang bisa didatangi untuk mendaftar. Ternyata tak jauh dari kampus saya. Sepulang dari kuliah perancangan III, sahabat saya di kampus, Ruli berhasil saya sikat untuk menemani saya mendaftar. Siang itu matahari cukup terik. Hanya beberapa menit dari kampus, saya dan Ruli sampai disana. Ternyata tempat pendaftaran yang terletak di perumahan itu salah satu basis ikatan desainer wilayah Jawa Timur. Hanya sepuluh menitan disana saya berhasil mendapatkan kartu peserta.

Beberapa hari setelahnya, saya pun berangkat kekampus dengan tas punggung yang lebih penuh dari biasanya. Alat-alat gambar sederhana saya sudah menempati kantong-kantongnya. Saat itu akhir musim kuliah, hanya menunggu dua hari sebelum minggu tenang yang biasa dilanjutkan dengan UAS. Saya masih ingat hari itu Jumat. Hari aktif terakhir ngampus sebelum libur seminggu. Kebetulan saya dan Ruli mengambil mata kuliah minor yang sama, digital modelling. Kuliah yang sebenarnya berakhir pukul lima sore, namun saya nyelonong pergi setelah menyelesaikan tugas studio pukul tiga. Kompetisinya sendiri dimulai pukul empat sore. Perjalanan dari kampus ke Plaza Tunjungan tak kurang setengah jam.

Saya menyempatkan mampir ke kos teman dekat kampus sebelum menuju kesana. Saya hanya ingin meminjam meja mini yang biasa dipakai untuk menaruh keyboard PCnya. Teman yang telah berbaik hati sore itu namanya Fajar, penggemar Vespa yang sekarang sukses berwirausaha. Setelah saya rasa bekal saya cukup, langsung tancap menuju venue. Mengendarai motor butut setia, akhirnya pukul empat sore lebih sepuluh menit saya tiba disana. Setelah menemukan kumpulan manusia dengan alat-alat gambarnya, saya daftar ulang dan langsung mendapatkan nomer resmi. Nomer 1, sesuai abjad nama saya. Hal ini mengingatkan saya dengan urutan yang selalu pertama saat jaman sekolah dulu. Selalu menempati urutan 1. Saya ingat perasaan saya saat itu. Tak tau arah, persis seperti orang kesasar di jalanan besar yang berisi orang-orang hedon.

Menunggu di deretan kursi peserta membuat nyali saya semakin ciut. Apalagi jika bukan karena pesaingnya yahud-yahud. Penampilan yahud ditunjang alat gambar berkualitas seakan menandakan kepercayaan diri yang tinggi. Lah saya? Baju kusut, muka berminyak tercampur debu dan asap jalanan. Benar-benar komplit. Setelah sejaman menunggu akhirnya kompetisi dimulai. Semuanya duduk sesuai nomer urut. Saya duduk sebelah kanan pojok. Tentunya didepan. Sesekali mata saya tak bisa fokus mengamati pesaing-pesaing di sebelah saya. Peralatan gambar mereka lebih tepatnya. Bagaimana nyali tidak ciut jika alat yang mereka bawa rata-rata bermerk. Pastilah kualitasnya yahud dan menunjang hasil karya nantinya. Saya? Hanya bermodal alat-alat murah, pensil warna yang umurnya mungkin sudah mencapai dua tahun dengan panjang yang berbeda di setiap warnanya. Pensil mekanik seharga tiga ribuan, penghapus pensil yang bentuknya pun sudah tak jelas karena seringkali diiris cutter, beberapa glitter pens, yang semuanya berada didalam kotak pensil biru. Plus meja belajar si Fajar menjadi alas gambar.

Oke, kertas gambar mulai dibagikan oleh panitia dengan tema jelas terpampang di pojok atas kertas A3, Ethnic Futuristic Ready To Wear. Saya mengamati keempat juri yang duduk dikursinya masing-masing, seorang jurnalis fesyen, fotografer majalah fesyen, ketua APPMI dan seorang fashion lecturer. Beberapa menit setelah saya mendapatkan kertas gambar sembari mendengarkan aturan kompetisi dari MC, saya mulai berpikir desain apa yang bisa mewakili konsep keseluruhan Ethnic Futuristic Ready To Wear. Sekilas saya berpikir memodifikasi batik sebagai material dasar dan membumbuinya dengan sedikit kreatifitas agar nampak lebih segar dan muda. Saya masih ingat tahun 2008 menandai kepopuleran batik dengan munculnya varian dan desain batik. Tanpa pikir panjang pikiran saya setuju untuk mengangkat batik. Saya mulai dengan membuat proporsi model dan berhasil menyelesaikannya dalam waktu semenit-Damn! Jika saya ingat apa yang saya gambar saat itu dan kembali melihatnya hari ini, proporsi yang saya buat sungguh berantakan. Kemudian mulai mendadani sketsa model saya dengan ilustrasi batik modern berupa asymmetric coat berwarna coklat tua dipadu dengan light dark green tee dan asymmetric skirt berbahan batik. Agar terkesan tak biasa, saya menambahkan ready to wear obi dengan detail yang rumit dipinggang –sayang saya tak bisa menampilkannya di blog ini, karena tak sempat mengekspornya ke format jpeg – coba saja dibayangkan dari penjelasan tadi :).

Jika kembali mengingat karya saya saat itu sungguh memalukan. Bagaimana tidak, proporsi yang berantakan, tidak setinggi proporsi model yang seharusnya, arsiran warna yang tak berarah, dan secara keseluruhan nampak tidak cukup istimewa. Tak lama menyelesaikan karya, kira-kira sejam dari empat jam yang diberikan panitia, saya memutuskan pulang. Saya sengaja melewati jalan dimana saya bisa melirik karya peserta lain dan damn! saya tercengang. Mereka rata-rata memiliki kemampuan yang wow!. Apa-apaan ini, jika begini saingannya mana bisa menang. Tak apalah, tak usah berpikir menang kalah yang penting sudah berani berkompetisi. Saya mencoba menenangkan diri. Melihat karya-karya gila yang ditunjang dengan alat-alat berkualitas tentunya akan membuat karya saya tenggelam dalam tumpukan gambar yang rata-rata dihasilkan dari pengenyam sekolah mode yang tahu persis bagaimana teknik ilustrasi. Ya sudahlah saya pulang saja.

***

Awarding Night

Tiga hari setelah lomba awarding night-nya digelar. Malam itu saya sangat malas datang karena migrain kiri saya kumat. Apalagi sepanjang sore itu saya sudah keliling mall untuk mendapatkan sebuah jaket. Menjelang pukul tujuh malam saya menelpon sahabat SMA, Fahmi namanya. Pikiranku berubah, tak apalah datang meski sebentar hanya ingin tahu saja siapa yang akan menang. Dengan begitu saya bisa tahu kualitas apa yang dipertimbangkan juri untuk pemenangnya. Akhirnya sahabat saya itu berbaik hati mengantarkan kesana. Karena invitation-nya admits two, kami pun bisa masuk ke zona makhluk-makhluk legal yang ternyata setelah saya sadar, kami duduk di barisan penonton, bukan barisan khusus peserta. Beberapa menit setelah kami sampai di venue, MC acara malam itu mulai masuk pada sesi awarding untuk illustration competition. Satu persatu dari total enam pemenang ditampilkan di giant screen di atas stage putih. Hitungan mundur dimulai dari pemenang favorit ketiga dan berlanjut hingga memasuki detik menegangkan untuk juara kedua. Kami mengamati ilustrasi yang ditampilkan di layar raksasa itu. Sambil berbisik saya katakan pada sahabat saya ilustrasi yang menang karya-karyanya ngeri. Saya mengajaknya pulang saja. Tapi dia mencegahku dengan alasan yang cukup logis. Sayang saja jika tidak mengikuti acaranya sampai selesai. Okay alasannya diterima meski kepalaku mulai terasa lebih berat dari sebelumnya.

Menjelang juara pertama diumumkan, MC nya pun mengeluarkan kata-kata yang mendebarkan bagi seluruh peserta kompetisi. “Siapakah pemenang pertama? langsung saja, pemenang pertama fashion ilustration Surabaya Fashion Parade 2008, pertama kali digelar, dimenangkan oleh peserta dengan nomer urut…….Wah ini spesial, pemenang pertama dimenangkan oleh nomer urut ; Satu!”. Hah? nomer satu kan milik saya. Bagaimana bisa? Saya hanya menatap heran ke layar raksasa malam itu. Bagaimana saya bisa percaya menumbangkan peserta-peserta dengan ide dan teknik yang rata-rata maknyus. Setengah tak percaya. Namun memang yang tertampang disana itu karya ecek-ecek kedangdut lengkap dengan nama saya. Sahabat saya pun menyuruh bergegas ke atas stage sesuai permintaan MC. Sambil bersorak, “traktiran!”. Saya pun langsung menuju stage yang sebelumnya harus menahan sorotan lampu-lampu yang bergemerlapan sepanjang runway berwarna putih. Langkah saya cukup mantap ingin segera mengakhiri di depan. Seorang model menyerahkan award lengkap dengan karya saya yang telah dibingkai. Ah, apa-apaan ini.

Tak percaya saja bagaimana bisa tiga hari sebelumnya saya datang dengan penampilan super kusut dan alat-alat murah meriah bisa menggondol piala dan beberapa hadiah yang cukup asik. Uang tunai, kursus gratis di Lasalle, akademi fesyen dan desain yang pusatnya di Kanada –sayang kursusnya tak pernah saya ambil karena saat itu saya hanya ingin menyelesaikan kuliah yang akan memasuki jenjang menuju Tugas Akhir– , beberapa parfum dan merchandise. Akhirnya pukul sepuluh malam kami pun meninggalkan venue. Kepala saya masih cekat-cekot namun terhibur dengan piala didalam tas dan uang tunainya :D. Ah leganya karena saya berhasil melewati hari yang melelahkan. Keputusan hadir di malam penghargaannya ternyata tak salah, meskipun saya sedikit menyesal tak sempat mengabadikan momen di stage padahal kamera saku sudah saya siapkan sehari sebelumnya.

Tak apalah, biar saya ingat saja setiap detailnya.