Wakkis, Cita Rasa India Di Abuja

Selamat datang di Wakkis!
Selamat datang di Wakkis!

Wakkis, ‘swaadisht’ (Wakkis, ‘enak’ dalam bahasa India).

Jika anda berkunjung ke suatu tempat baru, hunting makanan mungkin bisa menjadi salah satu hal wajib yang harus anda centang di agenda. Itu pula yang saya lakukan setelah melewati empat hari super sibuk minggu lalu di Abuja, ibukota Nigeria.

Setelah menyelesaikan project event putri Wakil Presiden Republik Nigeria hari sabtu minggu lalu, saya memutuskan untuk memanjakan lidah sebelum kembali ke Lagos keesokan harinya. Empat hari mondar-mandir seperti headless chicken yang tak tidur selama dua hari, patut bagi saya untuk duduk manis memesan menu-menu baru yang belum pernah saya coba.

Pilihan saya jatuh pada Wakkis, restoran kecil yang terletak di 171 Aminu Kand Crescent, Abuja ini menawarkan menu-menu India otentik yang bisa menjadi alternatif spot kuliner. Saya sendiri sudah dua kali mampir ke restoran yang pengunjungnya rata-rata ekspatriat ini. Suasana restoran ini tipe favorit saya, tak terlalu besar, cozy, memiliki sentuhan etnik di beberapa ornamen interiornya, dan satu lagi poin penting, rasa.

Malam itu saya bersama ketiga flatmates langsung tancap gas setelah berhasil delivered venue tepat waktu. Sebenarnya kami ingin mengeksplor Suya, penganan daging-dagingan khas Nigeria. Namun kami berubah pikiran untuk menikmati malam itu dengan makanan yang lebih enak dan sedikit ‘bergaya’ layaknya ekspatriat lain. Begitu masuk kedalam restoran ini anda akan disambut dengan pemandangan kepala koki asli India yang memamerkan keahlian masaknya. Memandangi sekeliling interior yang didominasi warna coklat natural, anda akan melihat beberapa craft-craft khas Afrika menghiasi sudut-sudut restoran.

Selagi menunggu pesanan kami, tentu saja saya tak mau duduk manis menyilangkan tangan diatas meja kayu dengan runner bermotif seperti Batik –Ya, Batik, entahlah runner yang mereka gunakan untuk menghias meja-meja di restoran ini memang Batik atau sekedar motifnya. Saya bergegas mengeluarkan kamera saya dan mengambil beberapa gambar yang cukup untuk di attached kedalam tulisan ini. Sayang saja jika tidak didokumentasikan selagi saya mengunjungi Abuja.

Wakkis menawarkan beberapa menu India dan Nigeria dengan harga yang cukup masuk akal. Malam itu kami memesan 1 porsi Lamb Ribs, Roasted Ribs, Shrimps with Mayonaise, Spicy Chicken’s wings, dan dua porsi nasi Briyani. Sebagai teman makan, saya memilih jus semangka sedang ketiga flatmates saya memilih ‘Chapman‘, minuman sejenis cocktail yang terkenal di Nigeria hasil racikan dari soda, sprite, potongan nanas dan mentimun, perasan air jeruk, sedikit alkohol dan tentunya es batu. Pesanan kami tak terlalu banyak kan untuk empat orang? hehehe. Kami sengaja memesan dua porsi nasi Briyani yang disajikan dalam mangkuk metal khas India berukuran cukup kecil. Apakah dua porsi cukup untuk empat orang? Tentu saja karena niat kami memang mencicipi dan menghabiskan menu yang kami pesan.

Oh ya, kami mendapat complimentary dish berupa beberapa potong roti canai tipis yang krispi dengan rasa yang ringan. Roti canainya disajikan dengan salah satu saus kacang yang dibumbui rempah-rempah. Semua menu yang kami pesan memaksa kami mengeluarkan N16.000 atau sekitar $100. Mahal? Saya kira masih terjangkau untuk ukuran Abuja, kota dengan biaya hidup yang sedikit lebih tinggi dari Lagos.

Sepotong Lamb Ribs yang berdiri anggun diatas piring saya. Ini makanan pertama yang saya cicipi.
Sepotong Lamb Ribs yang berdiri anggun diatas piring saya. Ini makanan pertama yang saya cicipi.
Olala Ribs! Nyum!
Olala Ribs! Nyum!
Yang ini pilihan saya, Shrimps! Nyum nyum nyum! Saya penggemar udang hehehe.
Yang ini pilihan saya, Shrimps! Nyum nyum nyum! Saya penggemar udang hehehe.
Roasted Lamb. Wah yang ini saya beri nilai 9! Enak!
Roasted Lamb. Wah yang ini saya beri nilai 9! Enak!
Karena restoran India, makannya pun nasi Briyani.
Karena restoran India, makannya pun nasi Briyani.
Ini compliment alias gratis, roti canai tipis yang simple and crispy!
Ini compliment alias gratis, roti canai tipis yang simple and crispy!
Lihat meja kami, penuh ya? Malam itu kami berasa jadi orang kaya..hehehe
Lihat meja kami, penuh ya? Malam itu kami berasa jadi orang kaya..hehehe
Begitu masuk, ini pemandangan pertama yang akan anda dapat, koki India sedang pamer kemampuan masak.
Begitu masuk, ini pemandangan pertama yang akan anda dapat, koki India sedang pamer kemampuan masak.
Ini spot favorit saya, dekat pintu.
Ini spot favorit saya, dekat pintu.
Anda bisa menyaksikan koki India memasak menu-menu di Wakkis, seperti pada gambar.
Anda bisa menyaksikan koki India memasak menu-menu di Wakkis, seperti pada gambar.
Interior serba coklat, dengan cahaya temaram membuat restoran ini cozy.
Interior serba coklat, dengan cahaya temaram membuat restoran ini cozy.
Saya selalu suka sentuhan etnik Afrika seprti ukiran ini. Keren ya!
Saya selalu suka sentuhan etnik Afrika seperti ukiran ini. Keren ya!
Lihat runner diatas meja ini, ini Batik apa motifnya saja ya? hehehe.
Lihat runner diatas meja ini, ini Batik apa motifnya saja ya? hehehe.

Jollof Rice, Nigerian Fried Rice

20121001-182724.jpg
Nasi goreng ala Afrika!

Saya masih ingat sensasi pertama menyantap olahan nasi ini ; aneh!. Rasanya tasty paduan antara asam dan sedikit manis.

Jollof rice merupakan salah satu resep andalan bangsa Nigeria yang mirip sekali dengan nasi goreng. Resep ini mulanya berasal dari Gambia, kemudian menyebar ke beberapa negara di Afrika Tengah seperti Liberia, Nigeria, dan Ghana. Etnis Wollof yang ditemukan di Gambia, Mauritania dan Senegal juga mengakui resep ini sebagai bagian dari menu asli mereka. Etnis Wollof menyebut Jollof Rice ‘Benachin’ yang artinya ‘satu pot’ sesuai dengan cara menyajikannya nasi ini didalam baskom besar.
Seperti yang saya sebut tadi rasa nasi ini agak masam, manis dan asin yang dihasilkan dari paduan tomat, peppeh (pepper ; cabe, orang Nigeria menyebutnya peppeh) dan bumbu-bumbuan. Bumbu yang digunakan untuk olahan nasi berwarna jingga kemerahan ini terdiri dari saus tomat, bawang putih, bawang merah, bumbu kari, nutmeg, garam, dan daun thyme. Cara memasaknya hampir sama dengan cara kita memasak nasi goreng. Bumbu yang dihaluskan ditumis dulu ke dalam minyak panas hingga harum kemudian nasi yang telah masak diuleni hingga bumbu merata.
Setahu saya mereka mengolah jollof rice dari beras lokal dan basmati. Mungkin jika saya merasakan olahan yang menggunakan beras basmati lidah saya bisa lebih bersahabat dibanding beras lokal. Beras lokal disini bijinya besar dan rasanya agak ampyang. Karena saya agak rewel untuk urusan makanan sehingga lidah saya semakin manja menolak rasa beras lokal. Bukannya jumawa, tapi beras basmati yang berasal dari India lebih enak karena teksturnya renyah dan bentuknya yang panjang dan ramping. Untuk makanan sehari-hari saya menggunakan beras basmati yang sangat mudah ditemukan disini semudah menemukan orang India yang bekerja di Nigeria. Harga beras basmati disini jauh lebih terjangkau dibanding di Indonesia. Untuk satu pak seberat lima kilo dihargai N1800 atau setara dengan Rp.108.000 (N1 = Rp.60). Di Indonesia anda bisa menemukan di supermarket yang menyediakan bahan makanan impor semacam Ranch Market seharga seratus ribu rupiah untuk satu kilo. Mahal ya? :)
Jollof rice biasa dihidangkan dengan beef ataupun ayam dengan stew yang rasanya hampir mirip rasa campuran krengsengan dan bumbu bali. Hanya porsi tomat yang melebur dengan bahan lainnya agak banyak sehingga rasanya cenderung lebih kecut. Stew olahan masyarakat disini murah akan minyak yang lagi-lagi membuat saya agak susah menyantap jollow rice. Adapula yang menyajikan nasi ini dengan pisang, ya, pisang segar. Rasanya? Bayangkan sendiri saja :)

20121001-183043.jpg
Ini porsi saya, sedikit sekali ya?
20121001-183128.jpg
Cara makan yang unik, nasi dimakan dengan pisang! Saya lebih memilih pisang saja lah :)

Lebaran di Negeri Orang (lagi)

Selamat Lebaran!

Dulu, selepas subuh bapak selalu sibuk menyiapkan pakaian yang akan dipakai untuk ke masjid. Ibu sibuk menyeduh opor ayam, dan kakak memotong puding sama rata untuk kemudian dihantar ke tetangga. Rumah yang kecil selalu riuh. Suara takbir dari radio tua semakin menyemarakkan suasana pagi seperti tahun-tahun biasanya. Suasana itu kembali tidak saya rasakan dua kali. Tahun lalu saya melewati Idul Fitri di Abuja, ibukota Nigeria. Kota yang jauh lebih tenang dari Lagos.

***

Pagi ini saya bangun lebih awal. Selepas subuh mulai menyiapkan baju yang akan dikenakan untuk sholat Ied. Berusaha melakukan hal yang sama seperti apa yang Bapak saya lakukan. Keceriaan lebaran memang pantas dibangun pagi hari sesaat sebelum ke masjid. Sialnya tahun ini saya tidak menemukan baju koko. Sepertinya baju itu tertinggal di Indonesia. Entah saya ingin mengenakan baju baru pagi ini. Kemeja coklat susu lengan panjang dan celana panjang warna camel untuk bawahan. Saya tak memilih sarung seperti yang saya kenakan saat Idul Adha tahun lalu. Sekedar mengingat apa yang saya kenakan saat itu, baju koko putih tulang dipadu dengan sarung merah hati. Tak dinyana apa yang saya kenakan menjadi perhatian banyak orang. Saya baru tahu ternyata disini mereka tidak mengerti sarung, dan jika adapun sarung dipakai oleh wanita. Bukan pria. Pantaslah, saat itu hampir semua mata tertuju pada sarung saya. Tak hanya muslim Afrika, muslim dari negara Arab semacam Iran pun melihat pakaian yang saya kenakan.

Pukul delapan kami bertiga berangkat menuju lapangan tempat kami sholat Ied saat Idul Adha. Sebuah police camp yang memiliki beberapa lapangan yang amat luas. Kali ini kami tak ingin mengambil resiko terlewat momen sholat Ied. Tahun lalu saya kurang beruntung, terlambat datang ke masjid akbar Abuja. Tahun pertama saya tidak merayakan lebaran di Lagos, melainkan di ibukota Abuja. Saat itu saya dan mas Andhi tak menyangka sholat Ied dimulai lebih awal dari biasanya. Kita tersadar saat melihat lautan manusia semburat ke arah berlawanan. Ah! Sedih rasanya. Melewati lebaran pertama di negeri orang dan tidak bisa sholat Ied. Pagi itu hujan rintik-rintik menambah kesedihan saya merayakan lebaran tanpa keluarga.

Namun, alhamdulillah kesedihan tahun lalu terbayarkan tahun ini. Sholat Ied disini dimulai amat siang, tidak seperti di Indonesia yang biasanya dimulai pukul enam – setengah tujuh pagi, disini, sholat Ied dimulai pukul sepuluh pagi. Untung cuaca bersahabat. Tak terik seperti biasa. Mendung dan teduh. Takbiran dikumandangkan sebelum sholat dimulai meski nadanya berbeda. Nada takbir surau-surau di Indonesia jauh lebih indah. Tahun ini sholat Ied nya amat meriah. Jauh lebih ramai dari sholat Ied saat Idul Adha. Saya cukup tersentuh dengan apa yang saya lihat disini, berbagai macam rupa, warna kulit, strata, semuanya menyatu di satu tempat untuk merayakan hari yang kita sebut puncak kemenangan. Sebuah selebrasi tahunan yang menyentuh. Saya mengamati beberapa anak kecil semangat datang bersama orang tua mereka masing-masing. Sungguh berwarna.

Suasana sholat Ied di Police Camp.
Anak afrika mengenakan peci saat sholat Ied.
Orang Afrika menyukai pakaian vibrant! :)
Mas Andhi dan mas Manito berfoto dengan Muhammad, security perusahaan, selepas sholat Ied.

Setelah sholat Ied selesai kami langsung menuju rumah. Pikiran kami hanya makan! Ya, makan. Opor ayam yang sudah kami masak sejak tadi malam siap disantap. Apalagi dua keik yang kita beli kemarin. Buah untuk dessert pun ada. Ah! Makan makan dan makan! Tradisi ini hampir sama seperti apa yang biasa saya lalui setiap lebaran dirumah. Mulai memakan opor setelah selesain sholat, bedanya tahun ini saya tak menyertakan puasa sunnah sebelum sholat Ied.
Opor ayam kali ini lebih terasa nikmat dibanding tadi malam, mungkin karena bumbunya sudah kawin dengan ayam dan santannya. Menikmatinya dengan sambal terasi dan serundeng benar-benar mengingatkan akan masakan Ibu yang super maknyus. Sungguh paduan yang sempurna meskipun basicly saya tak terlalu suka makan makanan bersantan. Setelah opor selesai saatnya menyerbu dua jenis cakes, cheese cake dan triple chocolate cakes. Dua keik itu benar-benar memanjakan lidah bagi penggemar dessert seperti saya. Cheese cake medium yang kami beli seharga N3300 atau sekitar 198 ribu rupiah (1 naira = 60 rupiah) rasanya tak terlalu eneg. Tak seperti cheese cake biasa yang kadang terlalu creamy. Untuk keik coklat lapis tiga sama, rasanya seimbang. Tak terlalu memuakkan seperti keik coklat biasa. Yang ini kami beli seharga N2200 atau sekitar 132 ribu rupiah untuk ukuran 30 x 20 cm. Mereka tidak cukup murah tapi worth untuk disantap di hari raya. Lagipula mereka berdua sesuai selera saya, keik yang tak terlalu manis untuk ukuran dessert. Perfect!.
Apakah kami berhenti sampai di keik? No! Kami melanjutkannya dengan mint ice cream limited edition dari Walls produksi Perancis. Es krim yang kami beli seharga N2000 cukup mahal untuk ukuran satu setengah liter. Namun kembali lagi, ini lebaran! ;) no worries for three of us. Coklat menjadi pelengkap lebaran sebagai camilan yang mantap. Sepanjang hari ini kami bertiga hanya ingin menikmati rumah dan terus makan! :) Benar-benar menikmati hari libur yang terbatas dengan makan.

Opor ayam untuk lebaran tahun ini! Yaiy! Yummy!
Triple choco cake!
Tiga lapis coklat yang yummy!
Cheese cake :)
Cheese cake, anyone :) ?
Mint ice cream dari Walls.
Limited edition! Heavenly!
Dessert, jelly dan buah! Segar!
Coklat! Camilan andalan :)
Sup sayur, empal dan telur asin untuk makan malam :)

Karena kami tak memasak opor dalam porsi besar, sore ini saya memasak menu paling mudah untuk makan malam dari bahan makanan yang masih ada di lemari es. Dan saya memilih sup sayur disantap dengan empal sapi yang saya masak basah, tanpa digoreng, dan…..telur asin! Ya, telur asin yang saya bawa hanya sepuluh biji. Makan malam yang lengkap! :) Sungguh bersyukur bisa menikmati makanan yang kami olah dari kekayaan kuliner Indonesia untuk lebaran tahun ini! Alhamdulillah.
Tahun lalu tidak ada perayaan karena saya dan mas Andhi berada di Abuja untuk menyelesaikan pekerjaan interior rumah pribadi menteri penerbangan Nigeria. Tahun ini saya, mas Andhi dan mas Manito sepakat merayakan lebaran lebih meriah meskipun tak ada tradisi ‘unjung-unjung’ ke tetangga. Bagaimana ‘unjung-unjung’ jika tetangga satu flat kami tidak ada yang muslim. Tapi tak apalah, menikmati lebaran di rumah juga tidak kalah asik. Terlebih saat kami meminta maaf pada keluarga melalui telepon kami masing-masing. Itu momen sederhana yang cukup menyentuh. Meminta maaf pada orang tua meskipun tanpa tradisi sungkeman. Dan saya belajar banyak saat harus hidup jauh dari keluarga. Salah satunya bisa lebih terbuka mengungkapkan rasa sayang terhadap keluarga yang dulu acap kali hanya disimpan sendiri.
Saya bersyukur dan menganggap itu sebuah hikmah pendewasaan diri.

Lebaran oh lebaran. Momen indah yang dirayakan setiap tahun oleh umat muslim diseluruh dunia. Kita bersama merayakan dengan cara dan keunikan masing-masing. Mungkin ada beberapa orang yang tak seberapa antusias menyambut lebaran, apapun alasan yang melatar belakanginya, namun, lebaran tetaplah lebaran. Momen dimana kita sebagai manusia sudah seharusnya mensyukuri seluruh nikmat alam yang kita dapatkan sepanjang tahun. Tuhan benar-benar Maha Baik.

Happy Eid Mubarrak for all over moslems around the world! 
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham! :)