Hari terakhir di Lagos yang sedang dibasahi hujan, saya menyempatkan melaju ke salah satu mall untuk membawa pulang dua kain Ankara untuk ibu saya dan ibu rekan saya. Tahun ini, tak seperti biasanya, oleh-oleh kerajinan lokal tak memenuhi koper. Saya hanya membawa beberapa untuk orang-orang yang sudah saya janjikan. Karena selain sudah empat kali kembali ke Indonesia, saya menekan pengeluaran sebisanya karena pasti esok saat saya transit di Abu Dhabi, godaan membawa oleh-oleh sudah bergema di seantero bandara. Sesampainya di apartemen, saya mulai menyiapkan menu buka puasa terakhir disela packing yang selalu saja menyenangkan.
Rintik hujan sore itu tak berhenti hingga lepas pukul delapan. Isya’ disana dimulai sekitar pukul 8.15. Biasanya, bila jarum jam mendekati angka delapan, saya menjemput pak Tono untuk sholat Isya dan tarawih bersama selama Ramadhan. Beliau adalah florist berpengalaman yang bekerja sama dengan saya dan tiga orang Indonesia lainnya di perusahaan. Hampir setiap malam kami berdua menyempatkan sholat Isya’ dan tarawih berjamaah dengan sekumpulan warga lokal bersuku Hausa. Hausa adalah salah satu suku besar yang mayoritas (mungkin hampir semuanya) beragama Islam.
Jangan bayangkan kami sholat di masjid atau surau kecil seperti di Indonesia. Tempat kami sholat hanyalah halaman yang cukup lapang seperti foto di atas. Halaman yang dipenuhi trailer-trailer itu adalah komplek gudang gula yang berada di lingkungan apartemen ekspatriat India. Kami hanya perlu berjalan sekitar seperempat kilo dari apartemen sendiri, melewati jalanan yang kadang masih gelap karena pasokan listrik yang belum merata. Sekumpulan warga Hausa yang notabene bekerja sebagai sopir trailer dan sekuriti itulah yang menjadi teman-teman kami selama Ramadhan. Dulu, sebelum pak Tono menemukan mereka, saya menjalankan sholat tarawih sebisanya di kamar. Di luar Ramadhan, beliau sering menghabiskan waktu untuk sholat Subuh dan Isya’ berjamaah bersama mereka sedang saya hanya sempat jika Ramadhan tiba. Itupun, hanya sholat Isya’ dan tarawih.
Tarawih bersama pak Tono dan mereka di komplek gudang gula itu memang jauh dari apa yang biasa saya temukan di Indonesia. Tanpa kipas angin atau ac yang sejuk, sajadah beraneka corak, gema adzan dimana-mana, bunch of people yang hilir-mudik dengan baju koko, sarung, dan mukena yang nampak meriah saat Ramadhan. Tapi justru, di komplek gudang itu saya menemukan nikmat tarawih yang tak biasa. Tiga gulung tikar seadanya yang selalu siap bahkan sebelum kami berdua datang, angin sepoi-sepoi yang nikmatnya masyaallah, pendaran bulan yang kadang muncul saat langit sedang cerah-cerahnya, sampai cerita-cerita renyah masa muda pak Tono yang kadang beliau ceritakan disela menunggu mereka selesai wudhu, somehow, those are the real invisible luxury.
Malam itu gerimis kembali turun sesaat sebelum kami tarawih. Karena tak memungkinkan untuk sholat di halaman terbuka, kami pindah ke dalam sebuah kontainer bekas. Mungkin hanya puji syukur yang membuat kami menemukan kenikmatan tarawih di dalam sana. Di dalam kontainer bekas yang hanya beralaskan beberapa tikar apa adanya, tanpa kesejukan dan tanpa penerangan. Mungkin benar adanya, kenikmatan kadang lebih dihargai saat kita justru tak berada di dalam kenikmatan.
***
Ijinkan saya menyematkan rasa syukur karena tahun ini berkesempatan menghabiskan sisa Ramadhan lagi bersama keluarga dan sahabat-sahabat di Indonesia. I cant’ ask for more. Semoga tahun depan, saya beserta keluarga, sahabat-sahabat, anda juga, berkesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan. Amin YRA.
Cheers,
-A-
Surabaya, 11 Juli 2015.
Ditulis saat saya terbangun kembali setelah terlelap tepat usai tarawih. Dan oh, lima hari sudah saya di sini, di Indonesia :).