Next (Part 1)

Next

Pukul setengah tujuh petang, atau setengah jam setelah jam kantor berakhir, saya masih mendinginkan kepala di depan layar laptop. Jari-jemari saya masih lihai melaju santai di atas trackpad, sesekali mengetik keyboard, memasukkan kata-kata kunci yang mengarahkan atensi saya pada beberapa halaman web. Halaman-halaman itu random sekali, mulai dari mesin jus yang ingin saya beli nanti saat di Surabaya, beberapa merk dslr plus lensa-lensanya yang memanjakan mata (sesekali membuat saya lemas karena harganya ;3), hingga halaman blogger makanan dari beberapa negara.

Yang terakhir itu paling berhasil membuat otak saya sedikit lebih dingin dari traffic jam tasking-tasking pekerjaaan yang belum selesai hari ini. Blog makanan yang kualitasnya yahud seringkali membuat saya menjadi nakal. Membuat saya sejenak lari melupakan target-target pekerjaan. Hari ini saya terpukau dengan blog milik seorang fotografer profesional asal Irlandia yang sekarang berdomisili di Australia.

Beberapa kali saya mengumpat hasil karyanya.

Kemudian saya berpikir, “sepertinya aku harus meninggalkan pekerjaan ini untuk mengejar passion di dunia kuliner, itu duniaku! Ah, makanan-makanan itu, propsnya, pencahayaan dan anglenya, oh warna strawberi, tone jeruk dan salmonnya? coklat, buku? Dia menulis buku makanan? Hmm… ” dengan terus mengumpat hasil jepretan fotografer tadi saking indahnya.

Pernah terlantas di benak anda seperti apa yang saya rasa tadi? Saat anda melihat sepertinya dunia yang anda cintai jelas di depan mata namun anda belum berada di dalamnya?

Dari kalimat di atas, apakah anda berpikir saat ini saya bekerja secara terpaksa? Terpaksa bekerja di dunia yang bukan passion saya? Well, jika anda berpikir seperti itu, coba saya jelaskan. Tidak, bukan penjelasan yang akan saya tulis setelah ini, sekedar curhatan atau apa ya, mungkin sharing, kata yang jauh lebih tepat.

Dulu, saat saya menempuh tahun pertama di sekolah menengah umum, saya sudah tahu apa yang akan saya ambil jika saya kesampaian kuliah dua tahun setelahnya. Saya yakin jurusan Hubungan Internasional itu tempat saya. Kenapa HI? Saya pikir jurusan itu keren. Saya tak mahir ilmu politik, pengetahuan politik saya amat dangkal, komunikasi saya buruk. Tapi yang jelas, saya selalu terpukau dengan seseorang yang mahir berbahasa asing. Mungkin itu sebabnya di pikiran saya HI itu keren, karena kita diwajibkan bisa berbahasa asing. HI juga seperti sebuah tantangan bagi saya yang sejak SD menyukai Bahasa Inggris daripada mata pelajaran lain. Tantangannya ada pada kesempatan melatih Bahasa Inggris itu tadi secara otodidak. Saya tak cukup beruntung karena harus memendam impian bisa merasakan kursus bahasa seperti teman-teman saya yang lain. Tapi toh saya percaya dengan belajar sendiri juga akan bisa dengan kamus Inggris-Inggris Oxford bekas yang dibelikan Ayah di pasar loak. HI masih ada di benak saya hingga saya akan menempuh ujian nasional.

Apakah HI pilihan saya di ujian masuk untuk menjadi seorang mahasiswa? Sebentar, ini intermezzo. Suatu siang saat saya duduk di bangku, mengikuti materi bimbingan belajar gratisan di kelas, seorang mentor pelajaran Bahasa Indonesia mendekati saya. Perempuan setengah baya itu sedikit menegur saya karena tidak konsen mendengarkan materinya. Tengurannya halus sekali, bahkan saya pikir itu bukan teguran. Ia bertanya “Azis, jurusan apa yang akan kamu pilih saat kuliah nanti?” Saya jawab dengan jawaban yang sama yang selalu saya berikan pada siapapun yang bertanya hal serupa, “HI, Hubungan Internasional!”. Tentu dengan nada yang selalu mantap saat saya mengucapkan dua huruf keren itu.

Ia kemudian bertanya kembali, “Kenapa HI? Kenapa kamu tidak mencoba peruntungan di desain produk?”, Saya yang siang itu masih bloon apa itu desain produk, hanya berbalik bertanya “Jurusan apa itu?”. Mentor saya kemudian berkata “Saya kira kamu punya tempat disana, sketsa tanganmu bagus sekali, kenapa kamu tak mencobanya? Coba besok, saat jam istirahat, usahakan ke ruang BK, cari informasinya. Saya melihat brosur desain produk”. Kemudian ia menuju tempat duduknya di depan kelas sambil tersenyum simpul.

Sejak itu saya tahu, bahwa diluar sana ada jurusan desain yang baru saya sadari, jurusan itu MUNGKIN bisa menjadi tempat setelah saya kuliah. ‘Tempat’ yang saya maksud lebih tepatnya ; Tempat dimana saya bisa kuliah jika saya tak diterima di HI, jurusan dimana hanya menampung tiga puluh mahasiswa baru dari tiga ribuan peminat setiap tahun sesuai kuota jalur reguler.

Waktu berselang, saat semua proses untuk menjadi seorang mahasiswa baru terlampaui dan mendapatkan kabar gembira bahwa saya, lulusan SMA jurusan IPA yang sok-sok’an mencoba peruntungan lewat jalur campuran (IPA+IPS) di UMPTN dengan hanya belajar tiga malam dari buku latihan UMPTN dadakan, yang lupa sama sekali apa itu rumus-rumus ekonomi, sejarah peradaban Cina, apalagi sosiologi, akhirnya ada di daftar tiga puluh orang di jurusan HI. Senang? Bangga iya. Apa HI kemudian tempat saya berlabuh? Ternyata tidak. Saya juga diterima di desain produk.

Keputusan yang sedikit memusingkan antara HI dan desain yang harus saya ambil di waktu yang bersamaan akhirnya dimenangkan desain produk. Apa yang melatarbelakangi keputusan saya saat itu? Jawabannya mudah sekali ; Passion. Kembali lagi, sederhana, saya mengikuti passion. Saya menyukai keindahan visual, tangan saya selalu menciptakan coretan-coretan sejak kecil, saya menyukai alat-alat tulis, cat warna, kanvas, foto-foto indah di kalender duduk yang sering saya jiplak di karya lukisan saat SMP, dan hal-hal kreatif lainnya. Saya kira alasan saya masuk akal, mengasah apa yang saya punya jauh lebih cepat dan berhasil daripada memulai sesuatu yang belum saya ketahui sama sekali. Bertemu dengan pribadi-pribadi kreatif membuat saya mensyukuri keputusan itu. Serasa menemukan tempat yang tepat, saya menikmati belajar ilmu desain yang dinamis dengan karakter-karakter teman yang unik, pun kemampuan desain yang beragam. Jadi, menyelesaikan studi desain selama tepat empat tahun adalah salah satu tahapan yang saya pikir berhasil saya tempuh dengan passion itu tadi.

Tadinya saya janji akan tidur lebih awal pukul sepuluh, otak saya sudah berimajinasi mau diapakan ceri-ceri cantik yang kedinginan di lemari es besok pagi, ya sudah, besok saya lanjutkan tulisan ini.

Lagos, 11.01 pm

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.