King Halim (bagian 3)

“…Sembari menikmati jus jambu segar yang lagi-lagi bekal saya pagi itu, Edwin ‘nyeletuk’, ini jus masih ada bijinya. Saya dengan PD-nya menanggapi celetukannya dengan “Eh, bijinya itu juga bagus”. Yuriko menampani, “Iya, pahit-pahit gimana gitu rasa bijinya”. Saya semakin menjadi, “Eh bener, setahu saya ‘gapapa’ kok diminum sama bijinya, disamping vitamin C-nya yang sangat tinggi dari dagingnya, bijinya juga bagus. Tahu tidak, vitamin C-nya jauh lebih tinggi dari jeruk”. Kemudian saya serasa ditampar Edwin “ngawur, itu biji ga bisa dicerna dan bisa bikin usus buntu”. Haha, saya mau ketawa saat itu tapi saya tahan, murid baru Edwin Lau yang sok tahu :P…” – King Halim bagian 2 –

Dua hari sebelum pergantian tahun akhirnya saya memiliki waktu untuk sekedar menghubungi teman baik saya selama di King Halim. Mbak Ika, begitu saya menyebutnya, akhirnya menjadi sahabat yang terakhir memutuskan untuk move on dari King Halim setelah tiga belas tahun. Tiga belas tahun? (!), saya harap ia keliru menghitung masa kerjanya. Dari obrolan kami siang itu, saya beranjak menulis kembali kenangan di sana. Baiklah, semoga anda berkenan jika saya menuntaskan salah satu bagian yang paling membekas, masih tentang bekal-bekal saya.

Delapan jam kami bekerja, jam makan siang adalah saat yang paling ditunggu. Pukul setengah dua belas adalah saat dimana semangat kerja mulai menurun. Saya menyebutnya jam bodoh. Konsentrasi pekerjaan lambat laun mulai mengempis karena urusan perut. Dulu sebelum kepala HRD kami menerapkan jadwal makan siang, para staf berlomba-lomba untuk bisa makan siang di seperempat jam pertama. Alasannya apalagi jika bukan makanan yang masih panas, lauk yang masih lengkap, atau sisa waktu istirahat yang bisa lebih panjang untuk mengutak-atik jejaring sosial. Sesekali saya berada di gerombolan staf-staf kelaparan tadi, selebihnya tidak cukup sering. Saya lebih memilih menelusuri halaman demi halaman web pilihan di komputer, atau merebahkan kepala di atas meja kerja selama seperempat jam. Jika memiliki buku yang masih belum selesai dibaca, saya memilih untuk membaca beberapa halaman. Setelahnya sholat Dhuhur barulah makan siang.

Pantry berbentuk persegi panjang dengan meja kaca hitam memanjang di tengah ruangan menjadi tempat relaksasi sejenak. Di ruangan yang tidak begitu luas itulah kami bisa bertemu dengan rekan-rekan dari departemen lain. Obrolan-obrolan ringan kerap kali diperbincangkan selain obrolan seputar pekerjaan yang kadang masih saja dibahas oleh manajer kami. Biasanya ada sekitar empat hingga lima menu berbeda disajikan di atas meja makan. Ada soto ayam lengkap dengan kering kentang dan telur rebusnya, sate ayam, urap-urap, sup merah, gorengan termasuk tempe dan tahu yang setiap hari ada, plus kerupuk putih. Kira-kira seperti itulah makan siang kami. Lain hari lain pula menunya. Saya akui makan siang di sana istimewa. Di meja makan itu bisa dilihat siapa yang makan dengan benar, siapa yang kelaparan setiap hari, yang peduli gizi hingga yang tak kenal malu untuk menyantap menu yang sama beberapa kali.

Kami sendiri memiliki menu favorit. Yuriko dan saya lebih memilih sayuran dalam porsi yang banyak. Urap-urap, tumis kangkung, tumis sawi, adalah beberapa sayuran yang paling sering disajikan. Yuriko seringkali menyantap sayuran tadi hanya dengan dada ayam rebus yang ia bawa sendiri sedang saya masih bergantung pada nasi. Jika saya tidak sedang malas, nasi dari beras merah kadang ada di kotak makan untuk kemudian disantap dengan menu-menu tadi. Saat itu saya masih mengikuti fatwa makanan yang digoreng itu amat jahat. Dulu saya sangat anti sekali dengan makanan yang digoreng dengan teknik deep fried ataupun frying. Hanya kerupuk putih dan tempe yang digoreng kering yang lolos fatwa tadi. Selebihnya saya harus berpikir dua kali. Oh, jika saya semeja dengan Yuriko, fatwa tadi menjadi lebih rumit. Setengah menjaga image sehat ala Edwin Lau, semeja dengan Yuriko membuat saya gugup jika tempe-tempe kering nan gurih menggoda iman. Eh tapi pernah suatu hari saat saya menahan godaan menikmati tempe kering tadi, malah Yuriko dengan santainya menambahkan sepotong tempe di atas piringnya sendiri. Setengah kaget setengah tak percaya. Kemudian? Saya mengambil dua biji (hiks!). Lain Yuriko, lain pula Edwin. Meski saat itu ia sama dengan Yuriko yang sedang rajin membentuk tubuh, namun ia tipe penikmat makanan. Apalagi jika bertemu dengan ayam betutu dan ceker ayam.

Nafsu makan Edwin bisa memuncak jika ia mendapati ayam betutu di menu hari itu, sama memuncaknya dengan nafsu makan HRD kami (eh :P). Ia bisa sedikit lebih kalap dengan ceker ayam yang direbus dengan santan, sama halnya dengan Jalal. Tomo lain lagi, ia yang paling down-to-earth alias apa adanya, ada sayur bening monggo, ada soto ayam monggo, it was so typical of him. Oh ada seorang yang menarik perhatian jika kami semeja saat makan siang, namanya Dimas. Dimas termasuk yang paling betah duduk di pantry. Entah karena ia terhibur dengan kepala HRD karena seringnya mereka bertemu, atau karena ia memiliki nafsu makan yang tinggi (saya yakin alasan pertama lebih tepat :P). Ia staf R&D yang sering saya sebut sebagai tamu tak diundang yang rajin sekali bertamu ke ruang konseptor, yang ujung-ujungnya kebagian bekal saya. Salah satu yang saya ingat, jika saya semeja dengan Dimas dan Yuriko, kemudian ada kepala HRD kami, saya harus berusaha menahan tawa. Dimas iseng sekali dengan kepala HRD kami yang terkenal galak yang sering memergokinya sebagai seorang yang betah makan siang. Begitu pula jika saya semeja dengan Edwin dan Dimas, sedang kepala HRD berada di ujung, kami memberi kode-kode yang mengarah kepada gaya makannya. Tak ada yang salah bagaimana kepala HRD kami menikmati makan siangnya, hanya saja, karena perawakannya yang agak sedikit gemuk, ditambah dengan sikapnya yang terkenal galak membuat Dimas memiliki kepuasan sendiri saat mencelanya. Saya pikir Dimas diam-diam mengaguminya :P.

Samping kiri itu tamu tak diundang saya :P
Samping kiri itu tamu tak diundang saya :P

Ada bekal yang masih saya ingat betul betapa seru menikmatinya. Jangan kaget jika saya sempat-sempatnya menggelar acara ‘rujakan’ di dalam ruangan kami. Saya sadar itu tidak benar, tapi saya jauh lebih sadar bahwa menikmati momen rujakan saat itu bersama mereka, dengan sedikit gelar tawa, jauh lebih berarti daripada menaati peraturan perusahaan. Mungkin dari kalimat sebelum ini anda berpikir saya bandel sekali, tipikal karyawan malas yang hanya semangat perihal makan. Tidak, itu tidak benar. Seperti yang pernah saya sebut, dari dulu saya berpikir bahwa kenangan-kenangan kecil bisa tercipta dari serunya acara makan-makan atau dari sebuah makanan.

Tak ada yang seberani saya, membawa aneka buah-buahan segar yang nikmatnya luar biasa dipadu bumbu dari gula aren dan asam. Menambahkan irisan tempe pun tahu goreng yang sering saya gondol dari ruang pantry adalah ide brilian. Apalagi jika bumbu rujaknya disantap dengan kerupuk putih. Selain menikmatinya dengan teman satu tim, Dimas si tamu tak diundang, mbak Ika, plus teman-teman desainer, ‘hantaran-rujakan’ kadangkala tiba di meja manajer kami. Trik agar tidak ditegur membawa banyak makanan ke kantor? Tidak, bukan itu. Saya pikir tak ada yang salah menghantarkan rujak tadi padanya, toh itupun saat jam istirahat. Lagipula manajer kami dulu seorang yang juga punya hobi masak. Di luar urusan kantor, beberapa kali saya dan beliau membahas beberapa teknik masak pun bahan-bahan yang menyertai sebuah resep.

Beliau sempat pula memergoki saya yang sibuk sendiri di ruang konseptor. Pagi itu saya datang setengah jam lebih awal dari biasanya. Tujuannya untuk menyelundupkan tiga kotak keik coklat dan vanila ke kantor. Saya masih ingat betul betapa tergopoh-gopohnya saya kala itu. Hari itu sebelas Mei, ide membagi keik-keik kecil buatan sendiri bagi saya cukup menarik. Keik-keik tadi masih tanpa hiasan. Maklum, saya berangkat dengan sepeda motor. Jadi tak mungkin bagi saya menghias keik-keik tadi dengan berbagai krim dan hiasannya dari rumah. Sesampainya di ruang konseptor saya mulai beraksi. Keik-keik tadi mulai berhias diri. Krim putih, ceri, irisan stoberi segar dan kiwi, keju dan coklat parut, pun tak lupa bendera-bendera kecil yang saya cetak sendiri lengkap dengan nama penerimanya mampu merubah keik-keik lezat tadi jauh lebih menarik. Kesibukan saya menghias keik menarik perhatian staf-staf lain yang bisa melihat saya dari luar ruangan. Beberapa staf marketing masuk ke ruang konseptor, staf purchasing pun tak kalah curious. Begitupun akhirnya beliau ikut nimbrung. Ditengah acara hias menghias yang tadinya saya kerjakan sendiri, kemudian staf-staf lain ikut membantu, beliau hanya tersenyum dan meninggalkan komentar ; katanya saya kreatif (oh yang ini tak perlu diragukan Ko :P). Sayang saya tak punya foto keik-keik itu.

Begitulah makanan yang dulu saya masak, saya bawa ke kantor, saya nikmati dengan teman-teman di sana mampu meninggalkan kenangan. Makanan plus kebersamaan sama dengan kenangan. Sederhana sekali :)

-bersambung-

Lagos,  9 ; 57 pm.

 

2 thoughts on “King Halim (bagian 3)

  1. Azis, cerita2 γ̥ά̲̣̣̣̥Ϟƍ km tulis ttg KH membuat ɑĸµ”̮ senyum2 sendiri saat membacanya, aku setuju cerita2 itu meninggalkan kenangan indah saat kita memutar kembali ingatan kita membayangkan moment2 sederhana saat di KH. Sekarang moment itu hilang seiring kepindahan kita dari Sby ke Ngoro… ɑĸµ”̮ suka tulisan2 kamu. Tetap rajin menulis ‎​Ɣª…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.