Saya baru saja melewati hari yang cukup mengesankan. Pertama, sahabat saya resmi meninggalkan benua ini. Saya tidak akan menulis tentang perasaan sedih selama perjalanan ke bandara, atau, sekedar membuka pintu kamarnya (lagi). Baru saja, hal-hal kecil sudah mulai terlintas kembali mengingatkan padanya. Mug hitam yang selalu ia pakai untuk menyeduh coklat panas untuk sarapan, atau temaram lampu kamarnya tempat kami biasa berbagi cerita. Ia sudah terbang, entah berada di atas negara mana ia sekarang. Saya berdoa ia selamat sampai di Indonesia. Saya sudah memliki kerangka tulisan tentangnya, hanya saja, saya perlu waktu untuk mengumpulkan ingatan-ingatan, pun foto-foto yang berhasil saya kumpulkan.
Kedua, hari ini saya mulai menantang diri untuk bisa lebih bertanggung jawab dengan pekerjaan. Tanggung jawab saya akan lebih besar tanpa sahabat saya itu. Mau tak mau, ini perkara kemauan. Kemauan untuk berjuang lebih keras. Di postingan ini saya akan melihat sedikit lebih ke belakang. Memahami arti bersyukur dan kerja keras. Ada satu hal yang mampu menghapus perasaan lelah yang memuncak. Satu hal itu bisa jadi rasa syukur akan perubahan hidup sedikit demi sedikit. Apa yang dulu belum bisa dimiliki, sekarang sudah dimiliki.
Ijinkan saya mengenang laptop pertama yang saya miliki.
Jika mengingat kembali delapan tahun lalu, saat saya menempuh pendidikan di Desain Produk, ada satu hal yang membuat perasaan saya gusar. Pasalnya, semester ketiga, saya sudah harus berkenalan dengan tugas-tugas yang membutuhkan komputer. Kegusaran semakin menjadi karena saya tidak yakin bisa memilikinya. Bagi seorang mahasiswa desain yang berasal dari keluarga pas-pasan, sebuah perangkat komputer seharga empat-lima jutaan bukan hanya mahal, tapi sangat mahal.
Sebenarnya, komputer sewaan di warnet bisa menjadi alternatif. Koneksi internet yang saya butuhkan dulu, sudah menyatu dengan software-software dasar. Hanya saja, saya tak menemukan software desain, yang kemudian berhasil menjadi alasan logis sebagai bahan mengemis sebuah komputer. Adalah Ibu dan kakak termuda, yang berbaik hati memikirkan nasib kuliah saya. Seperangkat komputer yang mereka dapatkan dengan sistem cicilan, akhirnya membuat saya tersenyum lebar. Bagaimana tidak, angan-angan saya memiliki komputer sendiri menjadi kenyataan. Memiliki komputer di rumah membahagiakan saya meski hanya sekedar mengganti wallpaper di layar, atau mengutak-atik playlist di Winamp. Perlahan, saya meninggalkan warnet meski saya masih rajin datang setiap pukul sembilan pagi di hari minggu karena koneksi internet bulanan yang masih terlalu lambat.
Setahun kemudian, saya kembali gusar saat melihat hampir semua teman di kampus membawa komputer jinjing. Saya hanya bisa menikmati dari jauh sambil membayangkan bagaimana rasanya mengerjakan tugas kuliah di atas kasur, di perpustakaan, di restoran cepat saji, atau bahkan sambil makan di meja makan. Memiliki komputer jinjing bukan impian saya. Selain tak tega mengemis lagi, saya memaksa diri saya untuk menutup mata pada mimpi-mimpi kecil semacam itu. Saat tugas-tugas kuliah mulai beragam, dan mobilitas diperlukan, saya tak punya pilihan lain selain membunuh rasa malu untuk meminjam komputer jinjing pada teman. Beruntungnya, selalu ada tempat di kos teman-teman baik untuk saya.
Ingatan saya masih kuat pada suatu malam saat Werdha, salah seorang teman baik, rela datang ke kos teman saya yang lain, Arie, sesaat setelah saya mengirim pesan padanya. Pesan bahwa malam itu saya harus menyelesaikan tugas kuliah dengan deadline yang terus memendek. Tak ada pilihan lain selain harus tetap tinggal di kos Arie dan menyelesaikannya. Malam itu saya sangat butuh pinjaman sebuah komputer jinjing. Kebetulan, milik Werdha sedang tidak dipakai. Malam itu saya belajar, masih ada seorang teman sebaik Werdha yang memberi pertolongan tulus hingga rela menembus hujan. Mungkin saja kenangan itu terdengar biasa, namun bagi saya, selalu ada nilai-nilai penting yang tak bisa disepelekan begitu saja. Werdha, bagaimana kabarmu sekarang?, tetaplah menjadi orang baik Wer :)
Saya mungkin terlambat, baru memiliki komputer jinjing hampir dua tahun setelah saya lulus kuliah. Tapi ada satu hal yang harus saya syukuri, saya membeli komputer jinjing pertama dengan hasil keringat sendiri. Satu hal lagi, ia sebuah MacBook. Sebuah merk yang mungkin dulu hanya sebuah mimpi untuk saya miliki. Saya tak bermaksud jemawa disini, don’t get me wrong. Saya hanya sedikit membanggakan diri sendiri dengan sebuah syukur dan rasa percaya. Bahwa, dengan kerja keras, mimpi yang bahkan dulu tak pernah terlintas bisa menjadi nyata.
Macbook mungkin contoh kecil sebuah mimpi. Saya masih memiliki banyak mimpi. Saya yakin anda juga. Semua mimpi itu hanya perlu satu kata ; wujudkan. Wujudkan, tentu bukan sebuah kata sederhana. Ia terbentuk dari sebuah kemauan, keteguhan, ketangguhan dan kerja keras. Wujudkan itu ada pada saya. Anda?
Design Produk? jangan2 sekampus dengan adik saya, di institut negeri di surabaya…
ITS! :) Institut Teknologi Sepuluh November :))