Tiga Hari Itu (bagian II)

TigaHariItu2-1

{Bagian I}

Bahkan hingga detik ini, saya masih bisa merasakan damainya Sabtu itu. Pagi, dan mentari sedang hangat-hangatnya.

***

Saya sengaja memperlambat laju motor agar bisa menikmati setiap momen sepanjang jalan pulang. Meskipun rindu pada Ayos, Winda dan Ruli belum tuntas penuh, tapi saya harus bangun pada kenyataan bahwa menghabiskan semalam dengan mereka itu berkah luar biasa.

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Ayos dan Winda, saya tak henti melirik jarum jam di pergelangan tangan untuk memastikan saya on-time. Saya harus cepat-cepat sampai di rumah untuk kemudian istirahat sejenak. Kakak saya menghidangkan sebungkus nasi campur untuk sarapan. Nasi buatan orang Arab yang dulu sering kami beli untuk sekedar memanjakan lidah di akhir pekan. Nampaknya, ia selalu ingin menghidangkan makanan-makanan enak selagi adiknya di Indonesia.

Saya tidak punya banyak waktu untuk sekedar istirahat. Satu jam lagi janji untuk bertemu dengan sahabat baik yang sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri, mbak Ika, harus ditepati. Sempat saya ragu pertemuan dengannya tidak akan terjadi. Sejak ia pindah dari Surabaya ke kota yang lebih kecil dan tenang, apalagi ia seorang Ibu yang sedang menikmati masa tumbuh kedua anaknya, menjadi alasan keraguan saya. Sabtu itu menjadi hari terakhir saya di Surabaya yang artinya, it was our final day to meet or not at all. Bertemu dengan orang-orang penting yang acap kali saya rindukan pada hari-hari terakhir di Indonesia sungguh sebuah kebodohan besar. Kebodohan yang selalu terulang tiap tahun. Namun saya tak mau menyesalinya karena memang tahun ini saya banyak menghabiskan hari-hari di sana untuk sesuatu (let me keep it for a secret now, I promise I’ll share it on the right time here. Sometimes, someday).

Saya kembali mengendari motor ke salah satu town square di mana kami akan bertemu. Sungguh, Sabtu pagi yang sejuk membuat saya lagi-lagi menyesal kenapa tidak menikmati momen sesederhana itu dari awal. Tinggal ambil motor, kendarai pelan-pelan, nikmati sinar mentari pagi yang hangat dan angin yang sejuk, di akhir pekan (Zis, jangan terus berandai-andai, it was passed :|). Sesampainya di sana, saya mendapati mbak Ika dan suaminya, mas Dw, di kedai es krim legendaris. Mereka duduk berdua dengan jaket kulit yang entah disengaja atau tidak, nampak serasi dan manis. Saya masih seantusias dulu setiap kali bertemu dengan mereka berdua, terutama mbak Ika. Salah satu orang baik yang selalu mendukung saya meraih mimpi-mimpi apapun. Rindu pada mereka saya tumpahkan melalui pelukan dan rasa syukur karena akhirnya, pertemuan hari itu menggenapkan pertemuan yang selalu kita rayakan setiap tahun.

I couldn’t ask more saat berkesempatan menghabiskan siang yang damai dengan orang-orang baik. Siang itu kami bertiga akhirnya memiliki kesempatan semeja dengan mas Andhi. Tak perlu waktu lama untuk mbak Ika bisa akrab dengan mas Andhi. Begitupun dengan mas Dwi. Kami menghabiskan dua jam penuh keakraban sebelum akhirnya kedatangan orang baik lagi. Mbak Susan, Joan plus pak Tono, experienced florist yang bekerja di sini bersama saya. Kebetulan, saat itu beliau sedang cuti sebulan. Saya sungguh bersyukur karena hari itu bisa bertemu dengan mbak Susan lagi, sahabat mas Andhi yang berjasa membuka jalan saya pindah ke Afrika. Saya ingat, saat kepulangan kedua, saya hanya bisa mengantarkan oleh-oleh berupa baju ala Afrika untuk mbak Susan ke rumah orang tuanya. Rasanya seperti mimpi bisa duduk satu meja dengan mbak Ika, mas Dwi, mas Andhi dan mbak Susan di Indonesia.

Pertemuan dengan Joan pun membuat saya bahagia. Meskipun tidak seseru tahun-tahun sebelumnya saat saya dan Joan bisa bercanda semeja dengan Yuriko, Edwin, Rifda, Tomo, pun mbak Ika, tapi saya bersyukur. Kenapa? Sederhana saja. Saya sangat menghargai bagaimana Joan rela datang saat ia tahu, siang itu adalah satu-satunya kesempatan untuk bertemu saya dan mbak Ika sebelum ia menikah.

Setelah semua berkumpul, kami memutuskan untuk makan siang bersama. Meskipun makan siang kami cukup singkat, namun sungguh, it was a bless for me. Saya selalu menganggap setiap pertemuan yang tercipta setelah masing-masing dari kami terpisah waktu dan kesibukan pribadi adalah berkah yang luar biasa. Meski kadang, bukan jarak dan waktu yang membuat pertemuan nampak sulit. Justru kesibukan-kesibukan yang bisa disela yang membuat momen merayakan persahabatan nampak seperti ilmu kalkulus, no?. So, if you have an opportunity to see your best friends, spend your time with them cause you know, it shows that you are a person who understand that spending a moment with them is a bless :).

3HariItu5

3HariItu6

3HariItu7

Saya sungguh suka foto di atas ini :).

***

Setelah menghabiskan siang dengan mbak Ika, mas Dwi, mas Andhi, mbak Susan dan Joan dengan cerita dan tawa, akhirnya saya harus kembali ke rumah. Berat rasanya mengakhiri momen siang itu namun saya tak memiliki pilihan lain untuk merelakan rindu-rindu yang masih tersisa untuk mereka dengan salam dan pelukan perpisahan. I really wish I had more time, I really did.

Saya pun pulang untuk menciptakan momen berharga lainnya. Kali ini dengan orang-orang terpenting, keluarga. Saya memiliki niatan untuk makan malam sekeluarga sejak kepulangan pertama tiga tahun lalu, tapi baru terjadi tahun lalu. I know it sounds ridiculous cause I had spent so many events with my best friends but once with my family. Tapi lagi-lagi, saya tidak perlu menghardik diri sendiri karena itu. Saya hanya pantas bersyukur karena akhirnya, saya berkesempatan mewujudkan momen penting dan bermakna sesederhana makan malam.

Keluarga saya bukan tipe keluarga yang sering keluar rumah hanya untuk makan malam. We are very, very conservative. Mungkin itu salah satu sebab makan malam bersama was such a big deal. Sedari siang, saat saya bercengkrama dengan mbak Ika dan mas Dwi, saya memesan meja di salah satu restoran yang paling nyaman untuk keluarga. Memiliki menu beragam dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah agar kami memiliki waktu yang cukup untuk menikmati makanan plus ambiance-nya.

Saat tiba di rumah, saya mendapati momen yang sedikit membuat saya sedih. There was a little quarrel antara ibu dan bapak. Well, memang tak jarang ibu dan bapak bertengkar hanya karena masalah sepele, tapi kenapa harus sore itu, sigh. Ibu saya berwatak keras, jika beliau sudah bilang tidak, ya tidak. Bahkan iming-iming macam “Ini malam terakhir saya di rumah lo, Bu” tidak cukup mempan. Bahkan kakak-kakak saya yang ikut membujuk ibu untuk mengganti pakaiannya untuk kemudian bersiap-siap tidak juga berhasil. Sedih? jelas. Malam terakhir yang seharusnya bisa saya nikmati secara lengkap satu keluarga, malah minus ibu. Tapi mau tak mau saya harus menghormati keputusan beliau. Kadang saya berusaha menganggap kejadian-kejadian seperti itu bagai bumbu-bumbu romantis antara suami dan istri yang biasa terjadi dalam sebuah keluarga. Well, maybe. Pada akhirnya, kami semua tetap berangkat, d’ show must go on. Dengan dandanan sederhana tapi rapi, saya mulai mendapati wajah-wajah bahagia yang mampu mengikis sedikit demi sedikit perasaan sedih lantaran esok sore, saya tidak akan melihat mereka lagi. But then, I had to remember that God blessed me with a very beautiful family, and I have to thank for it.

Tiba di restoran, kami langsung menuju meja dan duduk di kursi masing-masing. Tak lama, kami mulai memesan makanan yang ingin kami santap. Macam-macam. Momen malam itu sungguh lekat di ingatan saya hingga kini, bagaimana lucunya bapak menahan rasa pedas dari nasi goreng kambing yang beliau pilih. Keponakan yang gembira dengan steak panas berlumur butter dan saus, kakak terakhir yang duduk di samping saya yang terus-menerus meledek bapak dengan nasi goreng pedasnya, pun Sohib yang nampak tidak cukup menguasai standart dining manner, lol :P. Oh ya, malam itu Sohib hadir di acara makan malam kami. Ia tidak hanya hadir sebagai sahabat saya sedari kecil, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Tadinya saya berandai jika saja Sohib bisa hadir dengan umiknya, paling tidak ibu saya tidak terlalu kikuk jika ada teman seumurannya. It was what I hoped before. Keceriaan, kehangatan, kebersamaan yang tercipta dari acara makan malam itu menyadarkan saya satu hal. Mungkin anda sering mendapati saya menyebut kutipan Ronan Keating di blog ini, tapi lirik ini benar adanya. Hindarilah keadaan saat anda tidak memiliki kesempatan kedua untuk menunjukkan perasaan pada orang-orang tersayang. So tell that someone that you love, just what you’re thinking of, if tomorrow never comes :).

Malam itu saya sungguh bersyukur akan kesempatan menciptakan momen sederhana yang bisa jadi, salah satu malam paling berharga tahun lalu.

3HariItu8

Satu lagi, abadikanlah setiap momen yang berharga dengan foto, cause “What I like about photographs is that they capture a moment that’s gone forever, impossible to reproduce”, Karl Lagerfeld.

-bersambung-

Lagos, 10 : 29 pm.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.