Ada tiga hal yang pasti akan saya ingat jika bicara tentang mie instan.
Pertama, sebelum pindah dan bekerja di Afrika, saya pernah stop makan mie instan selama tiga hingga empat tahunan. Saat itu, saya sedang giat-giatnya belajar tentang kandungan warna pada buah-buahan, nutrisi apa saja yang terkandung dalam sekantong snack (saya bisa menghabiskan sepuluh menit sendiri membaca bahan-bahan yang terkandung dalam sekantung snack sebelum membelinya), dan hal-hal random yang berkaitan dengan makanan dan kesehatan. Selama empat tahun itu, saya disiplin mengkonsumsi makanan yang dikukus, direbus, menghindari minyak sebisanya, memilih buah berwarna gelap, tanpa tergoda untuk menyentuh apa itu mie instan.
Kedua, sebelum stop makan mie instan selama empat tahun itu, saya memiliki mie instan favorit yang sering saya nikmati dengan ibu, Indomie rasa Coto Makasar. Saya masih ingat betul nikmatnya semangkuk panas mie instan berkuah dengan irisan cabe dan bawang goreng. Menikmatinya dengan ibu, terlebih saat hujan turun selepas maghrib adalah salah satu quality time paling sederhana yang sering saya lakukan dulu. Tentu tidak setiap minggu, hanya jika sedang ingin.
Ketiga, iya, sejak ke Afrika dan sadar akan bekerja di industri seperti ini, mie instan kerap menjadi salah satu alternatif paling praktis untuk mengisi perut. Tentu perlu proses yang tidak mudah untuk kembali berkenalan dengan mie instan setelah empat tahun lamanya. Saya pun tidak akan pernah lupa hari pertama bekerja di sini, flatmate saya menghidangkan mie instan berkuah sesaat sebelum kami ke kantor. Can’t you believe it? Seorang Azis yang dulu picky sekali harus makan mie instan di pagi hari? Sarapan mie instan lo ini :|
Semua orang tahu mie instan bukan makanan sehat, minim nutrisi dan bisa berdampak buruk jika dikonsumsi berlebihan. Maka dari itu, saya tidak akan ngoceh tentang kandungan mie instan di postingan ini ;P. Instead, saya hanya ingin berbagi sedikit cerita tentang bawang goreng.
***
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kembali dari Indonesia berarti harus ada tempat untuk kecap, bumbu pecel, saus sambal, terasi, agar-agar, jeli, dan beberapa bumbu instan yang saya memang belum bisa masak macam rawon, soto, dan yang susah-susah itu di koper. Yang terakhir paling sedikit saya bawa kemarin. Bumbu pecel racikan ibu saya selalu memiliki ruangnya sendiri sejak lima tahun lalu, tapi bawang goreng? baru tahun ini saya merasa penting alias wajib bawa. Saya rekues khusus pada ibu untuk membekali saya dengan bawang merah dan putih yang digoreng. Alasannya, saya sering rindu makan telur dadar dengan lumuran kecap yang dicampur irisan cabe, perasan jeruk nipis dan bawang goreng. Sederhana dan nikmatnya luar biasa. Sesekali, menikmati jasmine rice bersama telur dadar dengan racikan kecap plus perasan jeruk nipis, cabe, dan bawang goreng menjadi salah satu andalan jika saya malas masak. Tentu lebih nikmat dan mungkin lebih sehat dibanding mie instan :P.
Foto di atas diambil di suatu siang di hari Minggu. Saya sengaja meracik Indomie yang terkenal sekali di sini dengan saus sambal, minyak zaitun (jika tak punya, saya ganti dengan minyak sayur) plus tentu saja, kecap. Menambahkan saus sambal plus kecap membuat Indomienya lebih Indonesia :P, apalagi jika ditabur bawang goreng. Karena Indomie di sini lebih salty dibanding yang ada di Indonesia, saya selalu memakai separuh bumbu bubuknya plis itu MSG Jis, iya MSG yang dulu kau benci ;|. Oh satu lagi, FYI saya masih membatasi waktu mengkonsumsi mie instan. Satu bungkus tidak lebih dari satu hingga dua minggu. Setelah minim satu atau dua minggu barulah saya boleh menikmatinya lagi. And I always rinse mie instannya dengan air panas terpisah hingga genangan air rebusannya jernih lagi. Untuk hal-hal begitu, saya akui saya ribet sekali.
***
Seperti tulisan tentang pecel, saya merasakan ada cinta ibu yang turut terkandung dalam bawang goreng yang beliau buat. Cinta yang membuat nikmatnya berkali-kali lipat. Oh ya, kenapa saya memberi judul tulisan ini ‘Bawang Tersayang’, karena believe it or not, saya menyimpannya di lemari es hingga hampir dua bulan setengah setelah saya kembali ke sini. Dan menambahkannya pada masakan yang saya masak pun sedikit demi sedikit. Eman yo. Bahkan, sampai hari ini, bawang gorengnya masih sisa sedikit dan tersimpan rapat di dalam tupperware di lemari es . Tidak seperti bumbu pecel yang sudah lama habis karena saya nikmati sebagai pecel atau batagor ala-ala. Mungkin saya sayang jika bawang gorengnya habis. Mungkin pula, saya ingin cinta dan rindu ibu saya selalu hadir di mana saja :).
Memang tidak semua makanan cocok ditaburi bawang goreng. Tapi makanan sesederhana ini, ini, apalagi ini, membayangkannya saja perut saya langsung keroncongan. Terutama ikan bandeng goreng kering dicocol kecap pedas dengan remasan bawang goreng yang melimpah. Duh, pengen pulaaaang!.