The New Wave of Friendship.

A goofydreamer.

Saya ingat betul posisi duduk saya waktu menginjak kelas satu sekolah menengah pertama. Di pojok barisan paling depan, persis dekat pintu masuk. Saat jam pelajaran mulai masuk pukul 3 sore karena saat itu saya masuk sekolah siang hari, angin mulai menyapu wajah dan sejenak bisa mengubah hingar bingar kelas menjadi sunyi. Sunyi bagi saya setidaknya.

Ah itu dulu, jangan disamakan dengan sekarang. Dulu saat pertama kali masuk SMP saya jelas teramat pendiam hingga hanya memiliki beberapa teman yang bisa dihitung jari. Saya bukan termasuk daftar anak gaul yang populer. Mungkin dulu saya memang lambat beradaptasi ke dalam lingkungan sekolah yang rata-rata muridnya memiliki nilai akademis diatas rata-rata. Tapi itu hanya bertahan saat kelas satu dan berubah saat kelas dua dan tiga. Teman-teman saya mulai banyak.

Beralih ke SMA saya rasa saya cukup berhasil melalui masa transisi dari seorang murid yang pendiam dengan teman-teman yang terbatas menjadi murid yang banyak teman. Tentu saja saya cukup bersyukur karena mengawali SMA di kelas yang berisi teman-teman super humble. Kelas satu SMA merupakan kelas terbaik yang pernah saya lalui.

Sekarang? Semuanya berbeda. Mencari teman bukan perkara rocket science. Apalagi jaman sudah berubah sejak bermunculan jejaring sosial. Dimulai dari Friendster yang booming sekitar tujuh tahunan yang lalu, kemudian Facebook, Twitter dan yang terakhir Path dan Line. Jejaring sosial macam mereka memang banyak membantu memperluas pertemanan, paling tidak itu yang saya rasakan saat ini.

Sebagai contoh, saya mengenal Winda Savitri berawal saat saya mengurus visa di Jakarta. Saya dan Ruli yang kenal dengan Winda lebih dulu dari Ayos bertemu di Grand Indonesia Jakarta. Siang itu merupakan pertemuan pertama saya dengan Winda. Kami berbincang ringan di salah satu restoran Jepang sembari menikmati menu yang kami pesan. Saat pikir pertemuan itu salah satu awal dari pertemanan yang lebih luas hingga kemudian saya bertemu Maya Wuysang. Pertemuan saya dengan Maya terjadi saat saya, Ruli dan Winda sepakat berlibur singkat ke Bandung bulan Juni tahun lalu. Pertama kali bertemu Maya dengan kepribadian yang easy going saya pikir kami berempat benar-benar klik, bisa gila berempat dengan topik ‘kesogehan’ yang diagung-agungkan Ruli. Kami berteman baik hingga saat ini.

Selepas kenal dengan Maya, saya mulai kenal dengan Nuran Wibisono. Penulis ciamik lulusan Sastra Inggris Universitas Jember yang sekarang menimba ilmu di Magister UGM. Saya mengenalnya saat tak sengaja masuk ke blog miliknya, Foi Fun. Saat itu saya membuka blog Nuran dari link travel blog super kece Hifatlobrain milik The One and Only, Ayos Purwoadji. Blog dengan bahasan ringan namun berbobot itu cukup sering saya sambangi apalagi saat ia memposting tentang kesempatan mengunjungi beberapa negara Eropa hingga ke makam Jim Morisson. Dan memang harus diakui, Hifatlobrain dan Foi Fun adalah dua blog yang membuat saya mulai memberanikan diri membuat blog. Lebih tepatnya rajin memperbarui blog dengan konten yang berbobot. Dan saya rasa menulis di blog jauh lebih menyenangkan daripada nongkrong didepan Facebook dan melihat beberapa orang sibuk berkomentar di status orang lain. Coba buka blognya deh, saya jamin kontennya menarik. Saya dan Bang Nuran (begitu saya memanggilnya, karena dulu saya kira ia berusia 27-an, eh ternyata…beda setahun lebih tua dari saya, ealah!) lebih sering berkicau di twitter tentang makanan, resep, hingga battle masak yang belum kesampaian sampat saat ini. Oh ya, Bang Nuran ternyata juga memiliki  hobi masak. Mungkin suatu saat nanti kita bedua akan battle membuat sushi, hehehe.

Kenal dengan Nuran berlanjut dengan Slamet Utomo Rukmono atau biasa dipanggil Panjul. Teman bang Nuran ini seorang penggila sepak bola yang tak henti-hentinya berkicau tentang bola di akun twitternya. Saya juga sempat membaca beberapa tulisan bagusnya di blog miliknya. Mungkin suatu saat nanti saya bisa membuat si Panjul super iri jika bisa bertemu dengan suku magis Dogon di Mali. Kalau saya sampai bisa bertemu mereka saya janji akan memamerkan kisah perjalanan saya padanya. Masih satu line dengan Nuran, saya juga kenal dengan bang Sukmadedetraveler yang tak lelah mempromosikan Indonesia di setiap perjalanannya, simak cerita-cerita bapak satu anak ini disini. Sepertinya sekarang bang Sukma sedang gencar mempromosikan kids travelling, agar anak Indonesia mengenal negerinya sedini mungkin. Keren ya!

Pertemanan saya semakin melebar dan mulai kenal dengan traveler sekaligus writer cewek yang juga tak kalah kece, Dwi Putri Ratnasari atau mudahnya panggil saja Putri. Lulusan Airlangga ini sudah menyelusuri beberapa spot menarik di Indonesia, salah satu yang membuat saya iri ketika ia berkesempatan mengeksplor Sumba. Putri ini sepertinya juga seorang easy going dan kerennya lagi cewek ini pernah jadi salah satu traveler pilihan ACI bersama Ayos. Ia berkesempatan mengeksplor Kalimantan. Kunjungi blognya disini.

Baru-baru ini teman saya bertambah, namanya Fahri Zakaria. Ia punya blog yang memuat postingan spesifik tentang musik yang, yah ia bisa disebut music blogger. Baru-baru ini blognya sempat masuk nominasi blog musik terbaik yang dihelat salah satu provider telekomunikasi. Sepertinya Masjaki ini paham betul dan mengikuti perkembangan musik Indonesia dari era ke era. Ia juga pernah berkesempatan mengunjungi Iran officially (Keren!). Satu lagi, si mbak lucu Ririn Datoek. Ah belum bertemu saja kami sudah klik. Mbak satu ini saya kenal juga lewat blognya WOWnderfulife saat kesasar membaca postingannya tentang ibadah umrah yang pernah ia jalani. Kami sempat chatting di ym beberapa waktu lalu hingga larut malam. Mbak Ririn ini sepertinya orang super sibuk. Hari-harinya dipenuhi meeting dengan klien2nya di perusahaan advertising tempat ia hidup sekarang, Jakarta. Yang terakhir mas Immanuel Sembiring. Bapak ini gila! Sudah hampir keliling dunia sepertinya, dan salah satu yang membuat saya iri, ia pernah ke Macchu Picchu di Peru dan tempat-tempat eksotis lainnya, coba cek disini. Keren euy!

Mungkin akan lebih menyenangkan jika saya bisa bertemu langsung dengan bang Nuran, Panjul, bang Sukma, Fahri, Putri, mbak Ririn, Maya, Winda, Ayos, Ruli, bang Immanuel dan teman-teman kami lainnya di kesempatan yang sama suatu saat nanti. Semeja, menikmati keakraban, makanan yang enak, bertukar cerita, kemudian berfoto bersama! Sepertinya bakal menyenangkan. Semoga saja tahun depan kami tak hanya saling berkicauan di twitter, tapi bisa benar-benar bertemu. Semoga.

Ah, kali ini mungkin saya bisa mengejek balik bapak saya yang dulu sering sekali meremehkan pertemanan saya. Kata beliau saya tidak cukup pandai bergaul karena terlewat pendiam, sekarang ‘Hey dear Dad, I changed!’.

Ranukumbolo Accomplished {Day 2}

Pagi sudah datang. Hari kedua untuk Ranukumbolo.

Saya terbangun dengan dada sesak. Tulang-tulang saya sepertinya marah karena beban lima belas kilo kemarin. Saya tak pernah merasakan sakit di dada yang cukup menyiksa seperti pagi itu. Hawa dingin yang masih saja tak mau pergi menambah remuk tulang dan persendian. Saya berusaha bangun meski tulang belakang saya sepertinya juga marah besar.
Saya melihat Ayos dan Ruli masih terlelap disamping saya, Maya dan Winda pun begitu di kamar mereka. Pukul tujuh pagi kami semua benar-benar bangun kemudian sibuk mengatur kembali ransel-ransel kami. Beberapa potong roti, Energen dan kopi tak lupa kami santap agar memiliki cukup tenaga untuk kembali menyusuri sepuluh kilometer. Kali ini kami tak ingin menghabiskan energi berlebih seperti hari pertama dengan ransel-ransel super berat. Maya bergegas mencari potter yang akan membantu membawakan ransel terberat sampai di Ranukumbolo. Hawa dingin sudah mulai mereda saat sinar mentari meninggi. Pagi itu langit semakin cerah.

Pukul delapan kami kembali semangat. Hari kedua kami lewati dengan awal yang mudah. Jalan setapak yang memiliki arah yang jelas menuntun kami menuju setiap pos di depan. Ternyata kemarin kami memang melewati jalur yang salah. Pantas saja tak ada satupun jalan setapak yang menandakan kami berada di jalur yang benar. Pagi itu formasi kami masih sama, Ayos dan Winda memimpin di depan, saya di barisan ketiga sedang Maya dan Ruli di barisan selanjutnya. Perjalanan menuju pos pertama memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam dengan jarak sekitar empat kilo. Saya, Maya dan Ruli cukup kewalahan menyusuri tanjakan dan landaian naik turun yang menguras energi. Ayos dan Winda sudah berada di depan. Saya berusaha mengejar dengan mengatur kecepatan langkah kaki dan nafas hingga sampai di pos pertama. Disana kami bertemu beberapa pejalan lain yang menikmati makan siang mereka masing-masing, beberapa diantaranya memasak mie instan dalam satu wadah. Kami menghabiskan sekitar setengah jam hanya untuk meluruskan kaki sembari mengeluarkan beberapa snack dan air mineral dari ransel. Kami butuh energi untuk bisa sampai di pos kedua yang jaraknya pun lumayan.

Setelah istirahat sejenak, kami memulai perjalanan kembali menuju pos kedua dengan formasi yang sama, saya di belakang Ayos dan Winda. Ruli dan Maya bersama saya. Jalan yang kami tempuh memang lebih pendek dibanding dari pos satu ke pos dua namun medannya mulai memiliki tanjakan yang lumayan menguras tenaga. Pukul sebelas, kami tiba di pos kedua. Kami masih perlu meregangkan kaki sebentar. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan pejalan-pejalan lain dengan alur berlawanan, tanda mereka telah berhasil menikmati Ranukumbolo. Perjalanan dari pos dua ke pos tiga memaksa saya seringkali berhenti dari langkah-langkah pendek. Maya dan Ruli pun begitu. Kami kelelahan.

***

Kali ini kami bertiga benar-benar tertinggal dari Ayos dan Winda yang sudah lebih dulu mengawali start dari pos kedua. Jarak dari pos dua ke pos tiga sebenarnya tidak terlalu jauh, namun tanjakan yang mulai meninggi kemudian melandai kembali benar-benar tidak mudah. Namun itu belum seberapa hingga saya menemui tanjakan yang lebih menantang menuju pos keempat. Di pos ketiga, saya benar-benar lapar hingga tak kuasa merampas meises coklat dan selai kacang si Maya untuk dioleskan diatas roti tawar yang kami bawa. Sembari menikmati makanan, tentu kami mulai mengabadikan perjalanan ini dengan kenarsisan masing-masing. Di pos tiga saya ingat satu hal, si Ruli dengan entengnya melempar kamera saya (kurang ajar!!!). Awalnya kami bertiga bergurau dengan teknik menyombongkan diri ala si Ruli (sigh!). Maya dan saya mulai menyombongkan  diri dengan membandingkan komputer tablet milik kita berdua dengan milik Ruli. Saya tak tahu kenapa saat itu Ruli kemudian berubah perasa dan melempar kamera saya. Mungkin, karena milik si Ruli bukan si buah itu! :D. Maya pun tertawa namun mulai khawatir saya dan Ruli akan bertengkar. Tapi Ruli benar-benar barbar! :D

***

Kabut mulai menebal siang itu dan kami masih harus berjuang menaklukan medan yang lebih terjal di depan. Perjalanan dari pos tiga ke pos empat benar-benar bagian tersulit. Medannya menanjak tinggi kemudian melandai cukup curam persis seperti yang sering dilontarkan pejalan lain yang berpapasan dengan kami. Perjalanan menuju pos empat yang terjal membuat saya agak khawatir dengan stamina Maya. Tapi saya akui ia begitu menikmati perjalanan ini. Semangat kami kembali membara saat mulai melihat danau dan tenda-tenda perkemahan dari ketinggian pertanda kami hampir sampai di Ranukumbolo. Kami bertiga menghabiskan waktu istirahat singkat di pos keempat sembari menikmati kabut yang masih cukup tebal. Meninggalkan pos keempat kemudian turun melalui jalan setapak yang cukup landai adalah salah satu hal terbaik yang kami lalui dari perjalanan ini. Kami sampai di tenda perkemahan yang telah didirikan oleh Ayos dan Winda setelah menghabiskan sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari pos empat.

Ayos dan Winda sudah merebahkan badan masing-masing di dalam tenda begitu pula dengan kami bertiga. Kaki-kaki kami tak sabar untuk bernafas dan meminta untuk diluruskan. Kami tiba sore itu dengan perasaaan lega dan mempersiapkan diri melawan dinginnya malam di Ranukumbolo.

***

Hari mulai gelap dan kami mulai mencari cara menikmati malam. Kami memasak meski tak sekeren rencana saya. Sebelumnya saya berpikir akan memasak makanan yang begitu nikmat disantap malam itu. Namun suhu sekitar -5 derajat celsius melumpuhkan niat saya. Malam itu benar-benar dingin hingga saya harus menebalkan kaki dengan dua tumpuk kamos kaki seperti yang dilakukan Maya, Winda dan Ruli. Sepertinya Ayos lah yang paling tahan dingin. Malam itu kami memasak krim sup instan. Itu ide si Winda yang sepertinya malam itu mulai tak tahan lapar. Krim sup dengan tambahan potongan sosis dan keju cheddar rupanya cukup berhasil mengenyangkan kami berempat. Ruli sudah terlalu capai hingga tak bernafsu menyantap sup gurih itu.

Sebelumnya, kami berlima mulai narsis didalam tenda. Kami mengabadikan kebersamaan kami dengan gaya tren tahun ini, ‘unyu-unyu’ :P. Di dalam tenda, kami benar-benar menikmati senda gurau yang berhasil membuat kami benar-benar ngakak. Topik yang diangkat tentang si Zaenal, teman Ayos dan Ruli yang menjadi trending topic selama perjalanan.

Saya benar-benar menikmati malam itu terlebih saat saya bergabung dengan Ayos yang sibuk menangkap momen dengan kameranya. Malam itu benar-benar indah dengan beribu bintang memenuhi langit yang amat tenang. Cahaya api unggun yang diciptakan beberapa pejalan lain menambah keindahannya. Saya tak mau ketinggalan untuk mengabadikan langit. Dengan bantuan Ayos saya berhasil menangkap bintang-bintang itu. Merebahkan diri sebentar untuk menikmati langit yang sungguh luar biasa indah tak mungkin saya lewatkan meski badan tak kuasa menahan dingin.

Kami mengakhiri malam yang tenang dengan tidur lelap di tenda dan bersiap menyambut matahari esok pagi.

Maya kecapaian :D
Yey meises yang dibawa oleh Maya! Yummy!
Ini pos ketiga, tempat Ruli melempar kamera saya! Dasar barbar :(
Ayo foto-foto dulu dong, biar di gunung harus tetap eksis :D
Kita sudah bisa melihat Ranukumbolo dari ketinggian meski kabut masih tebal siang itu.
Tenda-tenda sudah banyak yang berdiri, lihat yang berwarna biru, itu tenda kami :)
Maya bersemangat karena kami semakin dekat :D
Maya masih sempat-sempatnya berpose :D
Ruli pun tak mau ketinggalan berpose :p
Sepertinya berfoto dengan signage sudah seperti keharusan ya? Saya dan Maya pun sempat berfoto di entrance :D
Wah Winda mencuri start istirahat :D Tapi tak apalah ia dan Ayos mendirikan tenda buat kami :)
Yey akhirnya kami bisa sampai dan menikmati Ranukumbolo siang itu.
View yang menenangkan!
Mereka senjata rahasia untuk tetap bersih di lingkungan yang dingin seperti Ranukumbolo.
Ini foto pesanan Maya, kakinya sudah ingin cepat-cepat bernafas! :D
Allahuakbar, bintang-bintangnya sempurna!
Foto-foto didalam tenda sebelum hoaaammm :D
Berunyu-unyu ria, ini ide si Maya! :D

 

Masih ada esok hari, hari ketiga di Ranukumbolo sebelum kami pulang ke rumah :).

Next.

Semangkuk Pineberry untuk Dhani.

Saya teringat Dhani, seorang teman asal Aceh yang saya kenal dua tahun lalu saat masih bekerja di perusahaan perhiasan di Surabaya. Dhani seorang yang amat lurus, mungkin salah satu teman yang paling taat beragama yang pernah saya punya.

Dhani seorang perantau yang pernah hidup dan belajar di Yogyakarta selama tiga tahun sebelum mengadu nasib di Surabaya. Ia menyelesaikan pendidikan politeknik jurusan jewelry berbekal beasiswa. Satu hal yang saya ingat dari seorang Dhani adalah kecintaannya pada buah nanas. Dulu saat sekantor dengannya hampir setiap kali membawa cemilan yang saya masak sendiri, nanas segar selalu ada buatnya. Dhani memang fanatik dengan nanas hingga bisa mendeteksi keberadaan nanas yang saya simpan di laci penyimpanan dari jarak kurang lebih satu hingga dua meter. Bukan tanpa alasan saya menyisipkan buah nanas di setiap cemilan yang saya buat. Karena saya ingat betul ekspresi Dhani saat menceritakan kerindukan akan kampung halamannya Aceh dimana ia tinggal bersama ibu dan adik-adiknya. Tentu bukan hanya kampung halaman yang ia rindukan, lebih dari itu. Ia merindukan ibunya. Ia sempat menceritakan bagaimana ia rindu es buah racikan sang ibu. Es buah sederhana campuran sirup lokal dengan potongan melon dan tentu saja, nanas.

Setiap kali ia menyebut ibunya, saya terenyuh dan sadar bahwa cintanya pada ibunya sangat besar. Sepeninggal almarhum ayahnya, Dhani hanya memiliki seorang ibu dan adik-adiknya. Dan merantau di tanah jawa tidak serta membebaskannya mudah mengunjungi Aceh. Mengunjungi keluarganya.
Sejak saat itu nanas selalu saya siapkan untuk Dhani meski hanya potongan nanas segar dengan garam dan cabe rawit sebagai temannya. Kadangkala campuran sirup, nanas, strawberry, kiwi dan jelly yang terendam seharian didalam lemari es kantor menjadi menu segar untuk buka puasa. Dhani amat menjaga puasa sunnah senin kamis, dan tak hanya itu, sholat Dhuha di kantor pun ia jalani. Saya salut dengan keteguhannya memegang ajaran Islam.

Saya ingat pesan Dhani di hari terakhir saya bekerja dengannya. Dhani mengetahui rencana kepindahan saya ke Afrika sore itu sesaat setelah saya selesai berpamitan pada semua rekan kerja disana. Ia kaget saat saya mengutarakan akan pergi melanglang hingga ke benua lain. Dhani berpesan agar saya harus bisa menjaga sholat lima waktu di luar sana, ini persis dengan pesan yang disampaikan ayah saya sebelum berangkat kesini. Dhani juga berpesan jika saya harus bisa kuat menghadapi rintangan di negeri orang dengan tekad dan ikhtiar. Satu lagi pesannya, jika saya merindukan keluarga saya, cukup ambil air wudhu, sholat kemudian baca ayat Al-Quran. Pesannya mujarab, membaca Al-Quran saat hati dan pikiran bermasalah memang menenangkan. Saya belajar banyak dari Dhani tentang keseimbangan hidup di dunia dan setelahnya bahwa keduanya harus bisa diraih. Selamat di dunia, dan bahagia di Akhirat.

Kini Dhani berdomisili di Semarang, bekerja di perusahan lain sebagai staf desainer perhiasan. Ia memilih bekerja di kota yang lebih dekat dengan istri dan putri kecilnya yang tinggal di Solo.
Semoga tahun depan saat saya kembali ke Indonesia bisa menyempatkan silaturahmi dengan Dhani dan keluarga kecilnya. Semoga.

Ranukumbolo Accomplished {Day 1}

Ranukumbulo sudah kami perbincangkan dua bulan sebelum saya pulang ke Indonesia. Saya, Maya, Winda dan Ruli memilih Ranukumbolo sebagai tujuan pendakian tahun ini. Apakah saya seorang pendaki? Tentu bukan, hanya saja tahun ini saya sangat ingin merasakan alam terbuka dari negeri yang memiliki berjuta pesona. Ternyata butuh kecerdasan lebih untuk membagi waktu cuti saya yang hanya sebulan di Indonesia. Setelah lebih dari sebulan kami berempat chatting bout’ Ranukumbolo, tanggal 13 Juli tahun ini kami pun berangkat.

***

Hari pertama.

Jumat malam saya masih sibuk mencari kebutuhan untuk bekal kami selama tiga hari di supermarket, memilih beberapa bahan makanan yang sekiranya akan nikmat disantap selama disana. Packing saya lakukan setelahnya. Sabtu selepas subuh saya dijemput Ruli. Kami langsung menuju kos Ayos ,traveler kawakan sekaligus penulis handal yang namanya sudah beredar luas di komunitas pejalan. Saya, Ruli, dan Ayos sudah siap berangkat setelah berhasil repacking menghemat barang bawaan kita. Berbeda dengan saya, mereka sudah beberapa kali naik gunung. Mereka berdua lebih paham bagaimana seharusnya traveler mengatur barang bawaan dan membaginya dalam ruang ransel yang amat terbatas. Winda dan Maya yang berdomisili di ibukota, berhasil menempuh perjalanan selama hampir empat belas jam menuju Surabaya. Mereka berdua diantar kereta eksekutif dari stasiun Pasar Senen ke stasiun Pasar Turi. Mereka tiba pukul 8 pagi. Setelah Ayos, Ruli dan saya selesai repacking dan mampir ke tempat persewaan tenda, kami langsung menuju titik pertemuan yang kami sepakati, terminal Bungurasih. Setibanya disana kami mempersiapkan diri dengan bekal dasar untuk ketahanan fisik, sarapan! Maya, Winda dan Ayos memilih soto ayam dan es teh. Saya dan Ruli tak terlalu tertarik sarapan. Kita hanya memilih segelas teh panas.

Setengah jam setelahnya kami berlima sudah duduk manis di bangku bis paling belakang menuju Malang. Sepanjang perjalanan Maya, Winda, saya dan Ruli sibuk mengoceh di twitter masing-masing. Sesampainya di terminal Malang setelah dua jam didalam bis, kami langsung menuju Tumpang dengan angkot. Saya masih ingat Maya tertawa mendengar saya menirukan salah satu hits Rita Sugiarto yang kami dengar dari radio angkot. Suasana itu tak membuat saya malu karena saking menikmati suasana terminal. Kami membutuhkan setengah jam untuk sampai di Tumpang. Sesampainya disana kami berhasil menyewa jeep yang akan membawa kami ke desa Ranupani. Kami tak sendiri, masih ada beberapa kelompok traveler lain yang juga akan menuju Ranupani. Kami membayar tiga pulu ribu rupiah per-orang. Saya, Ruli dan Ayos berdiri dibelakang, Maya dan Winda duduk didepan disamping sopir. Menumpang jeep dengan posisi berdiri selama dua jam lebih merupakan pengalaman pertama yang cukup berkesan. Ayos sempat menanyakan apakah saya menikmati perjalanan itu, jelas iya. Hampir setahun hidup di negara orang kemudian kembali dan menikmati keindahan alam negeri sendiri yang saya dapat sepanjang perjalanan menuju Ranu, apakah saya harus berpikir dua kali untuk berkata tidak? :)).

Jalanan naik turun membuat kami beberapa kali hilang kestabilan dari posisi berdiri. Bererapa kali perut kami dihantam iron bar jeep. Kadangkala dada juga sempat bersentuhan keras dengan pipa besi yang juga berfungsi sebagai handle untuk menjaga kestabilan posisi. Pemandangan yang memanjakan mata sepanjang jalan cukup menghibur, sayangnya saya tidak bisa mengambil gambar sepanjang perjalanan.

Saya sempat memotret Ayos bersama Winda, saya suka latar belakang foto ini :)
Maya dan Winda sebelum naik jeep.
Ransel-ransel kami, banyak ya!

Tiba pukul tiga sore di Ranupani kami langsung menuju pos, melaporkan diri pada pihak pengelola untuk mendapatkan ijin. Winda dan Maya bertugas menyelesaikan urusan administratif. Sekitar setengah jam urusan perijinan selesai, kami langsung membekalkan diri dengan makan siang disana. Semangkuk bakso seharga lima ribu rupiah per porsi menjadi pilihan saya. Hawa dingin menusuk tulang sudah mulai terasa. Sore itu kabut lebat mulai berdatangan membuat hari semakin gelap. Dingin dan rintik hujan pun mulai berjatuhan. Kami memulai perjalanan pukul empat sore dengan kesadaran bahwa kami akan menyusuri jalan yang tak mudah hingga sampai di Ranukumbolo. Jarak dari Ranupani hingga titik akhir Ranukumbolo kurang lebih 10 kilometer dengan waktu tempuh normal sekitar enam hingga tujuh jam. Masing-masing dari kami membawa ransel yang beratnya lumayan menguras tenaga. Saya kebagian sekitar lima belas kilo. Maya dan Winda tak kalah beratnya. Ayos membawa ransel paling besar dan tentunya paling berat. Begitu pula dengan Ruli. Perjalanan di hari pertama merupakan salah satu pengalaman yang akan selalu saya ingat. Pengalaman menyusuri jalan-jalan setapak di dalam hutan yang tak mudah untuk menuju apa itu Ranukumbolo.

Setelah dua jam diatas jeep, kami berhasil sampai di Ranupani.
Desa Ranupani, kecamatan Senduro.
Ini urusan Winda dan Maya, kami harus mendapat ijin terlebih dahulu sebelum memulai pendakian.

Berjalan bersama dengan sekelompok pejalan lain saat hari mulai gelap ternyata tak cukup membantu. Kami melewati jalan naik turun yang penuh dengan semak belukar. Semak belukar yang tumbuh liar diatas tanah menjadi semakin licin akibat gerimis. Kondisi medan yang kami tempuh hingga jarak kira-kira tiga setengah kilometer dari titik awal sungguh diluar dugaan. Ayos dan Winda berada didepan memimpin pencarian jalan-jalan berikutnya. Saya dibelakang Winda. Maya dan Ruli diurutan terakhir. Kami benar-benar berusaha keras melewati setiap cekungan, dataran, cekungan lagi dan tanjakan, yang semakin berat saat licin, gerimis dan gelap berpadu. Kami merayap, berjalan, menanjak, melompat untuk melewati setiap tantangan medan malam itu. Kami mencari bantuan ditengah kegelapan dengan meraba setiap ranting-ranting liar yang kami pikir kuat sebagai pegangan. Penerangan kami hanya bergantung pada lampu senter. Setelah berjuang hampir lima jam didalam kesulitan itu kami memutuskan kembali karena tak ada titik terang menemukan Ranukumbolo. Kami tersesat dan bertekad melanjutkan perjalanan esok pagi. Kembali lagi setelah mencapai jarak tiga setengah kilometer berarti kami harus berjuang melewati setiap tanjakan, cekungan dan jalan-jalan landai itu kembali.

Baru pukul empat sore, tapi kabut membuat hari lebih gelap.
Saya tertawa jika ingat saat saya mengambil gambar ini, Winda dan saya bercanda. Bertanya pada Maya “Mama Dedeh ada tahlilan dimana? Di gunung?” :D
Meskipun ransel yang dibawa paling berat, Ayos nampak fine.
Winda masih sempat bergaya meski sudah sakit punggung karena ranselnya :D
Saya dan Maya meski capek harus tetap eksis :D

Malam itu kami memutuskan menginap di rumah salah satu petugas asli Maluku yang sudah menetap di desa Ranupani, namanya Bapak Sinambela. Malam itu teramat dingin, bahkan telapak kaki saya tidak akur dengan lantai rumah. Ayos dan Ruli bercengkrama dengan bapak Sinambela dan teman baru kami. Saya membantu Winda dan Maya memasak menu seadanya malam itu. Memasak nasi, sup dari wortel, buncis, kentang plus sosis, dan telur orak-arik bercampur kornet ala Winda.

Sup sayur, menu makan malam kami saat itu.
Telur plus kornet ala Winda.

Pukul sepuluh setelah selesai makan malam kami memutuskan merebahkan tubuh diselimuti sleeping bag masing-masing. Saya tak habis pikir bagaimana bisa malam itu saya amat santai melewati setiap rintangan pencarian jalan di dalam hutan yang gelap, licin dan dataran yang tak tentu. Mungkin karena di malam itu kami berlima benar-benar bekerja keras membantu satu sama lain. Bantuan yang terbungkus dengan nilai persahabatan.

Esok pagi kami akan kembali mengumpulkan niat untuk menyambangi kembali Ranukumbolo.