Rujak Cingur

For me come back from another country where you work and live to your home and eat one of the most delicious food is HEAVEN. And food that you eat is cooked by your Mom, it’s another HEAVEN AGAIN.

I’m so lucky having a super Mom who cooks well for her family. I don’t have a doubt to say that she is superb when she cooks in our small kitchen. I’ve been craving one of the most delicious food from my region, East Java, for a long, like three months before I left Africa for my leave, it’s Rujak Cingur. I tweeted about Rujak Cingur as one of MUST-EAT when I came back. And she made it for me a week ago. You can say Rujak is another kind of traditional salad from Indonesia apart of Gado-gado.

Basicly we are Indonesian have two type of Rujak, Fruit Rujak (many kind of fresh fruits, sliced, and served with spicy and sweet sauce made from brown sugar, tamarind, chili, salt, and fried peanut) and Rujak Cingur. Rujak Cingur is made from fresh veggies (short boiled) like bean sprouts, water spinach, cucumber, bengkoang, served with rice cake, fried tempeh and tofu. The sauce of Rujak Cingur is made from fried peanut, fried garlic, chili, salt, petis (fermented shrimp paste), and sometimes we add terasi (shrimps cake), so the taste of the sauce is totally different from Fruit Rujak. Its spicy and a bit salty. Could you imagine the taste of Rujak Cingur?.

Oh let me tell you the meaning of Cingur in Indonesian. Cingur is kind of cartilage and meat of the nostrils and ears of cow (sounds scary? disgusting? :P). Nope! it’s not. The taste is something else. Like what I said, Rujak Cingur is one of MUST-EAT food from East Java, Indonesia.

RujakCingur1

RujakCingur3

RujakCingur4

Rindu Makan (ini).

Sekeren apapun karya koki di atas piring saji, seenak apapun makanan Italia yang pernah saya nikmati, tak ada satupun yang bisa menggantikan masakan negeri sendiri.

Saya tak bisa memungkiri bahwa salah satu tantangan hidup di negeri asing adalah harus bisa beradaptasi menahan rindu makanan negeri sendiri. Ini bukan Belanda, dimana saya mungkin bisa dengan mudah menemui kedai ataupun restoran Indonesia. Ini Nigeria di Afrika, tempat dimana saya hanya bisa menghitung dengan jari berapa banyak restoran Asia, adapun hanya restoran Cina, Thailand dan beberapa yang menawarkan masakan Jepang. Dan sungguh, hanya bisa dihitung jari. Selebihnya restoran kebarat-baratan ala Inggris, pengaruh Afrika Selatan, dan gempuran imigran-imigran Lebanon seperti jamur yang tumbuh diantara restoran Nigeria sendiri. Lidah saya sudah cukup mahir beradaptasi menyantap makanan lokal, mencoba English Breakfast, hingga jajajan kebarat-baratan tadi. Tapi apa saya menyukai itu semua? Bisa jadi. Tapi makanan-makanan itu tetap ada di nomer sekian dibanding makanan Indonesia.

Saya tak bisa memungkiri pula, bahwa tahun pertama saya kembali ke Indonesia tidak memanfaatkan waktu dengan baik untuk mengeksplor lagi cita rasa makanan Indonesia. Itu kesalahan dasar, seakan saya lupa saya akan kembali menembuh sebelas bulan hidup tanpa makanan-makanan enak yang mustahil saya temui disini. Saya berjanji, tahun ini, saya akan lebih banyak ‘blusukan‘ ke pasar tradisional, mengunjungi beberapa kedai-kedai masakan Indonesia yang namanya sudah terkenal ‘maknyus‘, mengeksplor beberapa tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, makan, makan dan hanya makan.

Akhir-akhir ini saya hanya bisa menahan rindu dengan melihat beberapa makanan Indonesia ini *glek.

Rindu ini 3

Sate Karak.

Saya sempat mencoba salah satu jenis sate yang saya dapat di sekitaran Ampel ini secara spontan, tak ada rencana hunting kuliner sebelumnya. Sate Karak yang disajikan dengan nasi hitam ini rasanya berbeda. Gurih dan menarik. Sebenarnya saya ini cerewet jika mendengar ‘jeroan’. Saya tidak menyukainya sama sekali. Tapi toh saya mengesampingkan ketidaksukaan itu hanya untuk melampiaskan kerinduan akan sate ini. Meskipun saya hanya menyantap dua tusuk sate saja karena masih terpikir itu jeroan. Sate yang berasal dari usus sapi ini dibumbui dahulu dengan bumbu khusus kemudian dibakar. Nikmatnya seporsi sate karak ini muncul saat poya manis dan parutan kelapa segar menyatu dengan rasa nasi hitamnya yang agak hambar.

Rindu ini 2

Molen dan Onde-onde mini.

Melihat gambar ini saja saya langsung ingat rumah, hehehe. Ya, setiap kali mengitari kawasan Ampel yang tidak jauh dari rumah selepas maghrib, Bapak ataupun Ibu saya biasa minta dibelikan jajanan ini. Onde-onde mini yang rasanya manis dan renyah ini memang paling enak dimakan saat santai hanya ditemani teh tawar hangat. Molen? sama saja, adonan tepung renyah yang membalut potongan pisang rasanya juga *glek. Kecerewetan saya yang lain tentang penganan yang diolah dengan teknik deep-fried tentu saja saya tepis kemarin. Bagaimana saya bisa memenangkan ego untuk menghindari penganan deep-fried seenak onde-onde mini dan molen? Tanya saja bang Nuran enaknya Molen seperti apa.

Rindu ini 1

Terang Bulan atau Martabak Manis?

Ah sama saja. Ada yang menyebutnya Martabak manis ada pula yang menyebutnya Terang bulan. Jajanan ini sempat saya beli kemarin. Saya memilih isian yang full cheese *glek lagi. Yang saya suka dari penganan ini adalah tekstur kulit tepungnya yang lembut, bagian garing yang biasa saya dapat di pinggirannya, serta isiannya yang bisa disesuaikan. Saya selalu memilih bagian paling fat saat terang bulan selesai dipotong setelah dilipat. Kala memesan terang bulan saya selalu meminta penjualnya untuk tidak melumurkan mentega di atas kulitnya. Ya, saya kurang suka jika kulitnya berminyak.

Rindu ini 4

Rujak Cingur.

Aduh, ini kenapa semakin ke bawah foto yang saya ambil tahun lalu semakin membuat saya *glek. Rujak Cingur? Ya, Rujak Cingur. Ada yang tidak suka makanan khas Jawa Timur ini? Kesalahan besar. Paduan bumbu kacang yang diulek dengan petis, pisang mentah, garam, dan cabai ini rasanya ya Tuhan, kenapa bisa enak seperti itu? Apalagi disajikan dengan lontong, sayuran, tahu, tempe, dan cingur. Cingur adalah satu-satunya bagian luar sapi yang lolos dari daftar ‘kecerewetan’ saya. Saya benar-benar bisa lahap menyantap rujak ini.

Sebenarnya saat kembali kesini saya sudah menyiapkan petis untuk membuat rujak versi saya sendiri. Malangnya saya lupa menaruhnya di dalam koper. Petugas di bandara pun menyita petis saya itu, padahal hanya sekotak kecil. Benar-benar sial. Damn! I’m craving you Rujak!

Rindu ini 6

Sop, Perkedel, Empal dan Tempe!

Yang terakhir, masakan Ibu saya. Sop itu satu makanan favorit saya. Berbagai sayuran yang dimasak dengan kuah berbumbu disantap dengan perkedel kentang, empal daging dan tempe. Plus sambal koreknya. Adakah yang lebih enak daripada ini?

Ah andai saja tiket Lagos-Jakarta seharga Jakarta-Singapura, langsung tancap gas deh, pulang! Kemudian hunting makanan-makanan ini hingga kerinduan saya lenyap. *sigh.

A Simply Blissful Monday Night.

Hey ya, hujan baru saja reda. Senin malam yang lumayan menenangkan. Inside my chamber, had time to update this blog, and o yeah, felt blessed masih memiliki makan malam. Makan saya lahap malam ini, sembari berbincang kecil dengan flatmate saya, sedikit sibuk mencari angle foto untuk postingan ini hingga kembali ke dalam kamar dengan segelas Dilmah Vanilla panas dan Dark Chocolate Loacker Wafer.

Hujan, semilir angin dari luar, sepiring nasi panas dan lauknya. Ah, kadangkala hal sederhana seperti malam ini membuat saya merasa kaya. Enjoy the pics! 

Blissful Monday Night

Blissful Monday Night 2

Blissful Monday Night 3

Sour & Sweet Es Campur.

Es Campur 1

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berkicau tentang ‘perandaian’ bisa menikmati semangkuk kesegaran es campur di twitter. Baru sempat saya lumpuhkan perandaian itu kemarin meski es campur saya kali ini sedikit berbeda. 

Nasib sebagai perantau di negeri asing seperti Afrika ini membuat saya harus dan wajib bisa mandiri. Tak hanya dalam urusan sehari-hari seperti pekerjaan, target harian, urusan rumah dan pengeluaran bulanan, craving my Indonesian foods kerap kali membentuk kangennya sendiri. Kalau di Indonesia saya bisa dengan mudah mendapatkan jajanan yang sedang saya inginkan, hidup disini lain cerita. Es campur, adalah salah satu hidangan penutup yang sedang saya rindukan. Apalagi akhir-akhir ini panasnya Afrika luar biasa.

Kemarin, saya sengaja membuat es campur sedikit berbeda, bahasa kerennya ‘tweaked‘ (hiks). Umumnya isian es campur itu tidak ada aturan khusus, namun biasanya berisi kelapa muda, nangka, pacar cina, kolang-kaling, cendol, alpukat, cincau, tape dihidangkan dengan kuah manis yang berasal dari susu kental manis dan sirup. Nikmatnya es campur menjadi semakin sempurna dengan kehadiran es serut di atas tumpukan isian tadi. Nah, kali isian es campur tadi sengaja saya ganti dengan rasa yang lebih segar. Memadukan rasa manis dan asam bersamaan.

Rasa asam segarnya saya pilih dari jeruk mandarin, delima dan lemon. Sedang rasa manisnya dari semangka dan susu kental manis. Saya tak akan mengesampingkan alpukat untuk es campur. Bagi saya teksturnya yang lembut dan rasanya yang yahud (lemak maksudnya, hiks) harus ada dalam semangkuk es campur.

Coba saya deskripsikan rasa es campur yang saya racik kemarin siang. Paduan manisnya semangka berbanding nikmat dengan teksturnya yang crunchy dan watery. Delima, selain warnanya yang membuat saya amazed saking cantiknya, teksturnya yang renyah pun membuatnya nampak sempurna diantara tumpukan buah lainnnya. Alpukat? jangan ditanya. Asal ia memiliki tingkat kematangan sempurna, buah kaya lemak baik itu tak akan pernah mengecewakan untuk isian es campur. Jeruk mandarin yang saya dapat kemarin rasa manis dan asamnya sempurna. Bagaimana dengan buah lemon? Eits, saya tak memasukkan lemon begitu saja. Saya hanya membutuhkan sedikit perasan lemon untuk menciptakan rasa asam segarnya. Jangan terlalu banyak agar rasa manis dari susu kental manis tidak rusak.

Apa yang saya buat untuk menggantikan cincau di dalam es campur kemarin? Tak lain tak bukan adalah jelly. Saya membuatnya terlebih dahulu dari jelly yang sengaja saya bawa dari Indonesia (Yup, I couldn’t find perfect jelly here even imported ones). Jelly rasa jeruk itu lantas saya dinginkan terlebih dahulu di dalam freezer untuk menciptakan sedikit tekstur layaknya es serut. Ini salah satu trik untuk menciptakan sensasi es serut dari jelly bagi yang tidak punya mesin es serut seperti saya. Dengan catatan jangan sampai lalai menaruh jelly di dalam freezer hingga ia beku karena o yes! tekstur kenyalnya akan rusak dan menjadi ‘kekenyalan’. Memang ada yang kurang dari semangkuk es campur tanpa cincau, namun seperti yang saya sebutkan di awal, I need to think differently dan mandiriAh, andai saya bisa menemukan cincau di Lagos, bisa jadi itu salah satu ‘perandaian’ saya berikutnya.

Alright, enjoy pics that I took yesterday! 

Es Campur 2

Es Campur 3

Es Campur 4

Es Campur 5

Es Campur 6

Es Campur 7

Es Campur 8

Saya rindu warung, rindu makanannya!

Warung menurut saya memiliki kekhasannya sendiri. Dan makanannya bisa jadi salah satu makanan terenak di dunia.

Sejak tinggal di Lagos, beberapa kali saya tersiksa kerinduan itu. Pergi ke warung, memesan apa yang saya inginkan, merasakan atmosfer sekitar dan carut marut yang menyertainya. Sebuah epik kehidupan yang berbanding lurus dengan budaya, adat dan lingkungan. Saya merindukannya namun sial tak banyak menebus kerinduan itu dua bulan yang lalu saat pulang. Terlalu banyak menuruti ego dengan beberapa hal yang tentunya sekarang, saya sesali. Sungguh.
Saya tak menyediakan cukup waktu untuk sekedar hunting makanan-makanan warung yang sejatinya memiliki keunikannya sendiri. Di Lagos tak pernah sekalipun melihat apa yang saya anggap ‘warung’ meskipun beberapa tempat mungkin bisa dikatakan warung. Namun bagi saya warung di Indonesia tak ada tandingannya. Sebagai perantau munafik jika saya tak menyebutkan warung sebagai salah satu tempat khusus yang dirindukan. Terlebih makanannya. Di Indonesia, kita bisa leluasa menemukannya kemudian duduk. Memesan apa yang ingin kita pesan. Merasakan atmosfer yang selalu berbeda di setiap warung. Mengeluarkan lembaran rupiah untuk menu yang rata-rata masih murah.

Kerinduan-kerinduan itu kemudian mulai saya tepis. Berusaha keras membuat daftar makanan warung yang saya ingin saya makan, kemudian melampiaskannya dengan memasak. Jalan keluar apa lagi yang bisa saya patahkan jika bukan memasak sendiri makanan yang saya rindukan. Tidak seperti di Amsterdam restoran Indonesia menjamur, jangan berharap banyak menemukannya di Lagos. Lagos lebih banyak menyediakan restoran cina disamping kedai-kedia makanan yang menawarkan olahan lokal. Sesekali jika capai dan bosan dengan masakan sendiri saya menyempatkan ke restoran cina sekedar hanya memesan salah satu tom yam terenak yang mereka jual. Jelas tidak setiap hari karena jika iya, dompet saya akan sekarat karena harga yang mereka kenakan pada rata-rata porsi mereka tiga kali lebih mahal dari makanan restoran di Indonesia. Sejatinya memasak makanan di rumah jauh lebih hemat meskipun tingkat kecapaian dan kerepotan tidak mudah untuk beberapa makanan. Tapi kecapaian dan kerepotan itu akan pupus jika kerinduan akan makanan warung, seperti yang saya bilang, makanan terenak di dunia berhasil disantap. Meskipun minus atmosfer. Makanan yang seringkali saya rindukan, bukan saya saja, teman flat saya pun begitu seperti mereka ini.

Pecel.

Bisa makan pecel di Afrika? Wow!

Sebagai perantau dari jawa timur, saya tidak kangen pecel selama disini? Bullshit! Pecel salah satu makanan andalan yang ada dibarisan depan makanan favorit saya. Rasa bumbu yang unik dan paduan sayur mayur sebagai bahan dasar tidak akan pernah bisa saya hiraukan. Saya beruntung memiliki ibu yang jago masak dan berbaik hati membuatkan anak bungsunya bumbu pecel siap pakai meskipun sebelumnya saya malas menyesakkan bumbu ini dikoper. Bumbu pecel ini sungguh obat mujarab menepis kerinduan akan makanan warung dan ibu saya tentunya.

Daging sapi diselimuti bumbu balado. Nendang!

Suatu sore saya kerasukan rindu akan pecel. Saya dan flatmate kemudian setuju memasak menu pecel semirip mungkin dengan pecel yang ada di warung. Kami memasak daging bumbu balado sebagai temannya. Daging sapi berbalur bumbu merah keemasan yang pedas sangat cocok disandingkan dengan pecel. Kami menyertai sayuran untuk pecel kami minus daun kemangi yang memang susah didapat di Lagos. Timun juga. Kami lupa membelinya. Ini bentuk nasi pecel yang kami santap malam itu.
Menyantap menu Indonesia di negara orang itu salah satu bentuk syukur yang teramat besar. Jika tinggal di negara yang masih menyediakan restoran Indonesia lain cerita, tapi menikmati pecel di Afrika tentu luar biasa indahnya.

Sate.

Menemukan sate sebenarnya tak sulit di Lagos. Restoran cina dan beberapa restoran fushion milik lebanese umumnya selalu menyediakannya. Tentu dengan harga selangit. Di malam yang berbeda saya melontarkan ide sate sebagai menu makan malam bersama kedua flatmate saya. Sate ayam!

Sate ayam.

Memasak sate yang tidak terlalu sulit akhirnya kami lakukan. Memulai dengan menyiapkan daging ayam yang ditusuk rapi dibalur dengan sedikit garam, jeruk nipis untuk menetralisir bau amis, dan bahan andalan, kecap! Bahan makanan yang mustahil saya temukan di Lagos. Jangan berharap bisa menemukan kecap disini karena yang saya temukan hanya soy sauce buatan Hongkong ataupun Cina yang bentuknya cair dan lebih mirip kecap asin.

Olah sate ala-ala.
Bumbu pecel buatan ibu tercinta :) nyum! Mencampurnya dengan selai kacang untuk bumbu cocolan sate, rasanya? no doubt on it!
Lihat tampilan sate saya, seperti beli di warung khan? Hehehe.
I cant live without Bango! :p

Kecap kedelai macam kecap Bango? Forget it. Hanya satu tempat kecap kedelai tinggal, di kedutaan! Itupun harganya ampun. Orang-orang kedutaan menjualnya dengan harga tinggi. Itulah kenapa setiap saya pulang kecap selalu memiliki ruang dikoper saya. Saya tak akan bisa hidup di Afrika tanpa kecap. Sate ayam buatan kami dibakar diatas teflon karena kami tak memiliki panggangan. Membakar diatas teflon dengan kompor sedikit mengurangi nilai kenikmatannya dibanding dengan membakarnya di tungku arang seperti di warung. Bumbu sate didapat dari perpaduan selai kacang dan bumbu pecel saya. Rasanya! Wow! Pasta kacang mensubtitusi bumbu kacang yang biasa dibuat penjual sate dan rasanya tak buruk. Kreatif ditengah keterbatasan. Rasanya tetap enak! Mungkin karena bawaan mood dan rindu, semuanya jadi nyum! :)

Ayam goreng kering.

Nyum! Crunchy!
Damn this is hot!

Ayam goreng kampung yang biasa saya dapatkan di warung dekat rumah, ah yang ini murah dan memanjakan. Ayam yang dilumuri garam, lada, jeruk nipis dan cabe bubuk kemudian digoreng kering. Dimakan dengan nasi panas dan sambal! Wow! Serasa makan di warung sungguhan. Dan cara makan terenak, seperti ini! Pakai tangan :D

Ini cara makan ternikmat! Pakai tangan!

Tahu goreng plus sambal!

Ya tahu. Makan nasi panas dengan tahu dan sambal terasi nikmatnya mengalahkan menu restoran dengan aneka platting dan namanya yang aneh2. Makanan sederhana ini luar biasa dengan harga yang ‘mahal’.

Tahu, menu sederhana namun jadi ‘mahal’ jika anda hidup di Afrika!

Tahu di Lagos bisa saya beli seharga 140 naira alias 8400 rupiah sepotong ukuran 5 x 15 cm dengan tinggi hanya 4 cm. Mahal sekali dibandingkan tahu yang sering saya beli di pasar tradisional di Indonesia seharga 300 rupiah dan dua kali lebih tebal dibandingkan tahu disini. Ya, semakin jarang bahan makanan ditemukan harganya semakin tinggi. Sayangnya saya hanya menemukan tahu dan memupus harapan bisa menemukan temannya, karya kuliner terenak di dunia, apalagi jika bukan tempe.