Heavenly Sunday Lunch

When I was in elementary school, I loved to see an illustration showing breakfast/lunch/dinner scene inside my textbook. Where a Dad spending time by reading newspaper, his son and daughter playing their toys on the floor while their Mom preparing food for them. It is such a beautiful scene in real life, huh?. Even right now, I love to see that kind of picture which makes me think about a quality time at home.

I’m lucky enough since I landed here six days ago, I had a normal working time when I always go by 8am and back on 6pm. That chance makes me feel like “I’m a normal man live in a normal life” (it is true, when I had a lot of works and events, I have to work in the office on daily working time and overnight in the venue! :|). Since six days ago I’ve tried to spend mostly of my time in my flat. Cleaned up my room (after a month :|), cooking for sure, and back to blogging.

Yesterday I spent my Sunday totally in my flat. Woke up by 6am and started cleaning a whole kitchen from 6.30 until 9.30, then I cooked for lunch. I had an idea a day before to enjoy ‘Pecel Paste’ that I brought from Indonesia. Pecel such a compulsory food/spice I always bring every year when I’m back from my home country. My mom always make it for her last child :P cause she knows I love Pecel so much. There was the same story behind Pecel paste like last year when I was half-hearted to put it in my suitcase because of the weight (This post was written in Bahasa last year about Pecel, what? last year? time flies!).

I wasn’t listened to my last sister when she told me to bring Pecel and also, Serundeng, even just a half kg. If you always travel abroad you’ll know what is my reason behind it. In the end I brought Serundeng even yes, half kg only (now, I want more! :(). I’m not trying to let myself feel “Oh, I’m homesick, I’m missing Indonesian food” yet I realised, yesterday noon I thanked God for that Serundeng cause it made my lunch was so superb. I cooked chicken in pepper sauce and beef in sweet onion sauce to be eaten with Pecel and Serundeng. Even veggies in this Pecel wasn’t authentic enough but I did want to say it was a super heavenly lunch I had. Oh, I want to hug my sister cause she brought me ‘Kering Tempe’ (crispy Tempeh in spicy caramel) as well :). She and my Mom are brilliant in cooking and never fail in taste. I think it isn’t because they really can cook well (only), the love behind it speaks also :).

Heavenly-Pecel1

Heavenly-Pecel7

Heavenly-Pecel2

Heavenly-Pecel3

Heavenly-Pecel4

Heavenly-Pecel5

Here, how it looked when I added everything on my plate :)

Heavenly-Pecel6

What I love from that is a chance to tweak Pecel sauce to be added to dissimilar ingredients and it will change into a different dish :). I think I just had an idea to enjoy with.

P.S. Behind the scene of pics above, if you are interested :P.

Pecel, Cinta, dan Ibu

Kadangkala lucu juga bisa merasakan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang mampu membuat saya tersenyum sendiri. Tak perlu mendapatkan sesuatu yang menyilaukan mata, cukup makanan enak yang saya pun tak bisa menjelaskan seenak apa. Saking enaknya.

Saya akan mencoba mengingat bagaimana hati dan pikiran tak selaras saat pada salah satu bumbu favorit saya, Pecel.

Tujuh belas hari yang lalu rasa malas memasukkan bungkusan bumbu ini ke dalam koper yang-sudah-teramat-sesak menghinggap di otak saya. Tak ada lagi ruang di antara tumpukan yang rata-rata baju, sepatu dan buku, pikir saya. Rasa malas seperti itu apalagi jika bukan akibat packing dadakan yang seharusnya tidak saya ulangi tahun ini. Pagi itu, pukul enam pagi, saya masih berseliweran di ruang tengah yang bertambah sesak karena volume koper yang semakin gemuk. Bumbu-bumbu instan yang selalu punya ruang tentu saja sudah duduk manis di dalam sana. Tapi Pecel? Saya masih bimbang. Pikiran saya sedikit menolak. Alasannya karena selain akan merepotkan saat harus mengangkat koper melewati screening di bandara domestik, biaya kelebihan per-kilo pastinya akan membuat dompet saya sedikit demi sedikit mengempis.

Untung hati berkata lain. Kira-kira begini katanya “bawa saja, karena kamu tak akan tahu kapan rasa rindu itu muncul”.

Ibu saya dengan pelan memasukkan bumbu yang ia olah ke dalam plastik gula. Beliau setengah memaksa saya untuk tetap membawanya. Sesekali saya merapikan kembali posisi baju dan sepatu agar saya yakin ada ruang disana. Saya melirik bagaimana tangan Ibu saya luwes sekali memasukkan bumbu ke dalam plastik gula yang semakin penuh. Dari rekaan saya, kira-kira, satu kilo lebih sudah berhasil masuk. Tapi tunggu, dengan koper yang masih terbuka dan nampak semua tertumpuk lebih rapi, akhirnya saya meminta beliau untuk menguranginya. “Berat Bu, lagian kadang ia hanya akan mendekam di dalam kulkas beberapa minggu” saya berujar lagi. Ibu menguranginya kembali hingga kira-kira tersisa setengah kilo, cukup lah. Ya, karena setahun lalu, saya membawa bumbu yang sama. Bisa dihitung jari saya berhasil menikmatinya. Sisanya, bumbu yang sudah encer dengan seduhan air panas mengeras di dalam kulkas. Mengeras diantara perasaan sayang untuk dihabiskan dan malas mengencerkannya lagi.

Suara hati dua minggu lalu itu ternyata lebih tepat dari alasan yang berasal dari pikiran saya.

Bumbu semacam Pecel selalu berhasil menjadi obat mujarab ketika saya, yang masih memiliki sepuluh bulan kedepan, tiba-tiba rindu beliau. Dua hari yang lalu, sedari siang, saya sudah membayangkan mengolah bumbu Pecel dengan beberapa potongan empal daging dan sayuran yang saya punya di kulkas. Saya hanya punya kangkung, sawi dan wortel. Oh ya, ada sisa brokoli dan jamur dari eksperimen-ala-ala-Italia-super-cepat yang saya lakukan hari Minggu kemarin (akan saya posting nanti! :)). Selepas pukul enam sore, saya bergegas pulang. Untung minggu ini pekerjaan saya belum cukup padat, jadi saya masih punya waktu memasak. Sampai di rumah secepat kilat saya mengganti baju dan langsung ke dapur.

Saya memulai dari empal. Daging sapi yang dibeli sopir saya mudah sekali diiris tebal (saya ‘nitip’ sopir untuk mampir ke supermarket dekat kantor pukul lima agar menghemat waktu, jadi saat jam kantor berakhir, saya tinggal ‘cus’ langsung ke rumah :P). Setelah diiris saya mencucinya lagi sebelum mereka masuk ke penggorengan yang sudah ada tumisan bumbu instan. Bumbu yang saya pakai bumbu ayam goreng, tinggal ditambah ketumbar (saya menambah banyak sekali ketumbar tumbuk) membuat rasa empalnya pun tak kalah nikmat. Memasak dengan bumbu instan sebenarnya jalan keluar yang tidak cukup baik, bukannya saya malas, tapi karena ada beberapa bahan makanan yang tidak bisa didapat disini yang membuat saya layu ; bertekuk lutut pada bumbu jadi. Bagi saya yang penting jangan sering-sering (!!!), makanan yang bisa saya masak dengan bumbu alami tetap menjadi primadona.

Setelah empal saya masak, saya menyiapkan sayuran-sayuran tadi untuk direndam sebentar di dalam air panas. Oh ya, ada pula jagung manis kalengan. Sayurannya tidak matching? Kedengaran aneh untuk sebuah Pecel kan? Saya tak peduli. Toh rasa bumbu Pecel Ibu saya ini kuat sekali, campuran sayuran apapun tak akan bisa mematahkan rasanya. Racikan kacang tanah yang disangrai kemudian ditumbuk dengan rempah-rempahnya seperti punya rahasia.

Sayuran selesai, seduhan air panas di mangkok persegi bercampur sempurna dengan bumbu Pecel. Tiga kali saya menambahkan sedikit air mineral kedalamnya agar keencerannya sempurna. Semuanya sudah siap!. Selepas Isya’ sembari menunggu flatmate saya pulang meeting, saya menikmati Pecel itu sendiri sebelum akhirnya porsi saya sisa separuh, ia datang dan reflek “Aw, It’s heaven!”.  Makan malam kami dua hari yang lalu sungguh spesial.

Oh Tuhan, beberapa kali saya bersyukur saat rasa bumbunya bercampur dengan sayuran pun empalnya. Nikmat sekali di lidah. Sungguh (!). Apalagi bumbu Pecel-nya mendapat dukungan dari salah satu sayuran inti yang harus ada di Pecel : Kangkung (!!!). Kangkung disini cukup langka, hanya bisa saya dapat di Lekki, satu-satunya pasar tradisional seantero Lagos yang menjual sawi dan kangkung. Sesekali saya teringat wajah Ibu saya saat mengoles bumbu di atas empal yang sebelumnya digoreng dengan minyak secukupnya. Hingga akhirnya sisa-sisa bumbunya saya tuntaskan dengan beberapa jilatan di jari-jari saya. Ya! Saya menikmatinya dengan tangan, bukan sendok dan garpu.

Memang tak ada yang menandingi nikmatnya makanan Indonesia yang-memang-sudah-nikmat di negeri orang. Luar biasa bahagianya bisa menikmati hasil racikan Ibu sendiri yang super-duper-yummy. Saya menyimpan sisa bumbu Pecel-nya di dalam kulkas, sedikit sayang untuk sekedar menjadikannya cemilan :). Ah, sungguh, saya ingin memeluk beliau saat ini karena saya semakin sadar Ibu saya briliant. Karena tak mungkin memeluknya dari sini, mungkin foto yang saya ambil dengan iPhone ini mewakili perasaan saya padanya :).

Pecel

Pecel2

Pecel3

Pecel4

Pecel5

P.S. Foto-foto ini hasil jepretan kemarin pagi, saat saya dengan semangat ingin mengulangi kenikmatan bumbu Pecel untuk sarapan, tanpa nasi. Hanya sayuran-sayuran yang sama. Memasak sayuran-sayuran itu membuat saya harus bangun sedikit lebih awal. Tak enak kan jika sayurannya tak segar? :). Oh, foto terakhir, saya ambil tadi pagi, karena kemarin saya lupa dan baru sadar tak akan lengkap jika tidak menyertakan bentuk fisik bumbu Pecel-nya sendiri sebelum diseduh. Saya terpaksa menggunakan kemeja hitam yang belum disetrika sebagai background, hehe, saya kehabisan props, toh hasilnya tidak buruk bukan?. Bagaimana, apa saya berhasil membuat anda menelan ludah kali ini dengan Pecel racikan Ibu saya? :). -Azis-

Saya rindu warung, rindu makanannya!

Warung menurut saya memiliki kekhasannya sendiri. Dan makanannya bisa jadi salah satu makanan terenak di dunia.

Sejak tinggal di Lagos, beberapa kali saya tersiksa kerinduan itu. Pergi ke warung, memesan apa yang saya inginkan, merasakan atmosfer sekitar dan carut marut yang menyertainya. Sebuah epik kehidupan yang berbanding lurus dengan budaya, adat dan lingkungan. Saya merindukannya namun sial tak banyak menebus kerinduan itu dua bulan yang lalu saat pulang. Terlalu banyak menuruti ego dengan beberapa hal yang tentunya sekarang, saya sesali. Sungguh.
Saya tak menyediakan cukup waktu untuk sekedar hunting makanan-makanan warung yang sejatinya memiliki keunikannya sendiri. Di Lagos tak pernah sekalipun melihat apa yang saya anggap ‘warung’ meskipun beberapa tempat mungkin bisa dikatakan warung. Namun bagi saya warung di Indonesia tak ada tandingannya. Sebagai perantau munafik jika saya tak menyebutkan warung sebagai salah satu tempat khusus yang dirindukan. Terlebih makanannya. Di Indonesia, kita bisa leluasa menemukannya kemudian duduk. Memesan apa yang ingin kita pesan. Merasakan atmosfer yang selalu berbeda di setiap warung. Mengeluarkan lembaran rupiah untuk menu yang rata-rata masih murah.

Kerinduan-kerinduan itu kemudian mulai saya tepis. Berusaha keras membuat daftar makanan warung yang saya ingin saya makan, kemudian melampiaskannya dengan memasak. Jalan keluar apa lagi yang bisa saya patahkan jika bukan memasak sendiri makanan yang saya rindukan. Tidak seperti di Amsterdam restoran Indonesia menjamur, jangan berharap banyak menemukannya di Lagos. Lagos lebih banyak menyediakan restoran cina disamping kedai-kedia makanan yang menawarkan olahan lokal. Sesekali jika capai dan bosan dengan masakan sendiri saya menyempatkan ke restoran cina sekedar hanya memesan salah satu tom yam terenak yang mereka jual. Jelas tidak setiap hari karena jika iya, dompet saya akan sekarat karena harga yang mereka kenakan pada rata-rata porsi mereka tiga kali lebih mahal dari makanan restoran di Indonesia. Sejatinya memasak makanan di rumah jauh lebih hemat meskipun tingkat kecapaian dan kerepotan tidak mudah untuk beberapa makanan. Tapi kecapaian dan kerepotan itu akan pupus jika kerinduan akan makanan warung, seperti yang saya bilang, makanan terenak di dunia berhasil disantap. Meskipun minus atmosfer. Makanan yang seringkali saya rindukan, bukan saya saja, teman flat saya pun begitu seperti mereka ini.

Pecel.

Bisa makan pecel di Afrika? Wow!

Sebagai perantau dari jawa timur, saya tidak kangen pecel selama disini? Bullshit! Pecel salah satu makanan andalan yang ada dibarisan depan makanan favorit saya. Rasa bumbu yang unik dan paduan sayur mayur sebagai bahan dasar tidak akan pernah bisa saya hiraukan. Saya beruntung memiliki ibu yang jago masak dan berbaik hati membuatkan anak bungsunya bumbu pecel siap pakai meskipun sebelumnya saya malas menyesakkan bumbu ini dikoper. Bumbu pecel ini sungguh obat mujarab menepis kerinduan akan makanan warung dan ibu saya tentunya.

Daging sapi diselimuti bumbu balado. Nendang!

Suatu sore saya kerasukan rindu akan pecel. Saya dan flatmate kemudian setuju memasak menu pecel semirip mungkin dengan pecel yang ada di warung. Kami memasak daging bumbu balado sebagai temannya. Daging sapi berbalur bumbu merah keemasan yang pedas sangat cocok disandingkan dengan pecel. Kami menyertai sayuran untuk pecel kami minus daun kemangi yang memang susah didapat di Lagos. Timun juga. Kami lupa membelinya. Ini bentuk nasi pecel yang kami santap malam itu.
Menyantap menu Indonesia di negara orang itu salah satu bentuk syukur yang teramat besar. Jika tinggal di negara yang masih menyediakan restoran Indonesia lain cerita, tapi menikmati pecel di Afrika tentu luar biasa indahnya.

Sate.

Menemukan sate sebenarnya tak sulit di Lagos. Restoran cina dan beberapa restoran fushion milik lebanese umumnya selalu menyediakannya. Tentu dengan harga selangit. Di malam yang berbeda saya melontarkan ide sate sebagai menu makan malam bersama kedua flatmate saya. Sate ayam!

Sate ayam.

Memasak sate yang tidak terlalu sulit akhirnya kami lakukan. Memulai dengan menyiapkan daging ayam yang ditusuk rapi dibalur dengan sedikit garam, jeruk nipis untuk menetralisir bau amis, dan bahan andalan, kecap! Bahan makanan yang mustahil saya temukan di Lagos. Jangan berharap bisa menemukan kecap disini karena yang saya temukan hanya soy sauce buatan Hongkong ataupun Cina yang bentuknya cair dan lebih mirip kecap asin.

Olah sate ala-ala.
Bumbu pecel buatan ibu tercinta :) nyum! Mencampurnya dengan selai kacang untuk bumbu cocolan sate, rasanya? no doubt on it!
Lihat tampilan sate saya, seperti beli di warung khan? Hehehe.
I cant live without Bango! :p

Kecap kedelai macam kecap Bango? Forget it. Hanya satu tempat kecap kedelai tinggal, di kedutaan! Itupun harganya ampun. Orang-orang kedutaan menjualnya dengan harga tinggi. Itulah kenapa setiap saya pulang kecap selalu memiliki ruang dikoper saya. Saya tak akan bisa hidup di Afrika tanpa kecap. Sate ayam buatan kami dibakar diatas teflon karena kami tak memiliki panggangan. Membakar diatas teflon dengan kompor sedikit mengurangi nilai kenikmatannya dibanding dengan membakarnya di tungku arang seperti di warung. Bumbu sate didapat dari perpaduan selai kacang dan bumbu pecel saya. Rasanya! Wow! Pasta kacang mensubtitusi bumbu kacang yang biasa dibuat penjual sate dan rasanya tak buruk. Kreatif ditengah keterbatasan. Rasanya tetap enak! Mungkin karena bawaan mood dan rindu, semuanya jadi nyum! :)

Ayam goreng kering.

Nyum! Crunchy!
Damn this is hot!

Ayam goreng kampung yang biasa saya dapatkan di warung dekat rumah, ah yang ini murah dan memanjakan. Ayam yang dilumuri garam, lada, jeruk nipis dan cabe bubuk kemudian digoreng kering. Dimakan dengan nasi panas dan sambal! Wow! Serasa makan di warung sungguhan. Dan cara makan terenak, seperti ini! Pakai tangan :D

Ini cara makan ternikmat! Pakai tangan!

Tahu goreng plus sambal!

Ya tahu. Makan nasi panas dengan tahu dan sambal terasi nikmatnya mengalahkan menu restoran dengan aneka platting dan namanya yang aneh2. Makanan sederhana ini luar biasa dengan harga yang ‘mahal’.

Tahu, menu sederhana namun jadi ‘mahal’ jika anda hidup di Afrika!

Tahu di Lagos bisa saya beli seharga 140 naira alias 8400 rupiah sepotong ukuran 5 x 15 cm dengan tinggi hanya 4 cm. Mahal sekali dibandingkan tahu yang sering saya beli di pasar tradisional di Indonesia seharga 300 rupiah dan dua kali lebih tebal dibandingkan tahu disini. Ya, semakin jarang bahan makanan ditemukan harganya semakin tinggi. Sayangnya saya hanya menemukan tahu dan memupus harapan bisa menemukan temannya, karya kuliner terenak di dunia, apalagi jika bukan tempe.