Kadangkala lucu juga bisa merasakan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang mampu membuat saya tersenyum sendiri. Tak perlu mendapatkan sesuatu yang menyilaukan mata, cukup makanan enak yang saya pun tak bisa menjelaskan seenak apa. Saking enaknya.
Saya akan mencoba mengingat bagaimana hati dan pikiran tak selaras saat pada salah satu bumbu favorit saya, Pecel.
Tujuh belas hari yang lalu rasa malas memasukkan bungkusan bumbu ini ke dalam koper yang-sudah-teramat-sesak menghinggap di otak saya. Tak ada lagi ruang di antara tumpukan yang rata-rata baju, sepatu dan buku, pikir saya. Rasa malas seperti itu apalagi jika bukan akibat packing dadakan yang seharusnya tidak saya ulangi tahun ini. Pagi itu, pukul enam pagi, saya masih berseliweran di ruang tengah yang bertambah sesak karena volume koper yang semakin gemuk. Bumbu-bumbu instan yang selalu punya ruang tentu saja sudah duduk manis di dalam sana. Tapi Pecel? Saya masih bimbang. Pikiran saya sedikit menolak. Alasannya karena selain akan merepotkan saat harus mengangkat koper melewati screening di bandara domestik, biaya kelebihan per-kilo pastinya akan membuat dompet saya sedikit demi sedikit mengempis.
Untung hati berkata lain. Kira-kira begini katanya “bawa saja, karena kamu tak akan tahu kapan rasa rindu itu muncul”.
Ibu saya dengan pelan memasukkan bumbu yang ia olah ke dalam plastik gula. Beliau setengah memaksa saya untuk tetap membawanya. Sesekali saya merapikan kembali posisi baju dan sepatu agar saya yakin ada ruang disana. Saya melirik bagaimana tangan Ibu saya luwes sekali memasukkan bumbu ke dalam plastik gula yang semakin penuh. Dari rekaan saya, kira-kira, satu kilo lebih sudah berhasil masuk. Tapi tunggu, dengan koper yang masih terbuka dan nampak semua tertumpuk lebih rapi, akhirnya saya meminta beliau untuk menguranginya. “Berat Bu, lagian kadang ia hanya akan mendekam di dalam kulkas beberapa minggu” saya berujar lagi. Ibu menguranginya kembali hingga kira-kira tersisa setengah kilo, cukup lah. Ya, karena setahun lalu, saya membawa bumbu yang sama. Bisa dihitung jari saya berhasil menikmatinya. Sisanya, bumbu yang sudah encer dengan seduhan air panas mengeras di dalam kulkas. Mengeras diantara perasaan sayang untuk dihabiskan dan malas mengencerkannya lagi.
Suara hati dua minggu lalu itu ternyata lebih tepat dari alasan yang berasal dari pikiran saya.
Bumbu semacam Pecel selalu berhasil menjadi obat mujarab ketika saya, yang masih memiliki sepuluh bulan kedepan, tiba-tiba rindu beliau. Dua hari yang lalu, sedari siang, saya sudah membayangkan mengolah bumbu Pecel dengan beberapa potongan empal daging dan sayuran yang saya punya di kulkas. Saya hanya punya kangkung, sawi dan wortel. Oh ya, ada sisa brokoli dan jamur dari eksperimen-ala-ala-Italia-super-cepat yang saya lakukan hari Minggu kemarin (akan saya posting nanti! :)). Selepas pukul enam sore, saya bergegas pulang. Untung minggu ini pekerjaan saya belum cukup padat, jadi saya masih punya waktu memasak. Sampai di rumah secepat kilat saya mengganti baju dan langsung ke dapur.
Saya memulai dari empal. Daging sapi yang dibeli sopir saya mudah sekali diiris tebal (saya ‘nitip’ sopir untuk mampir ke supermarket dekat kantor pukul lima agar menghemat waktu, jadi saat jam kantor berakhir, saya tinggal ‘cus’ langsung ke rumah :P). Setelah diiris saya mencucinya lagi sebelum mereka masuk ke penggorengan yang sudah ada tumisan bumbu instan. Bumbu yang saya pakai bumbu ayam goreng, tinggal ditambah ketumbar (saya menambah banyak sekali ketumbar tumbuk) membuat rasa empalnya pun tak kalah nikmat. Memasak dengan bumbu instan sebenarnya jalan keluar yang tidak cukup baik, bukannya saya malas, tapi karena ada beberapa bahan makanan yang tidak bisa didapat disini yang membuat saya layu ; bertekuk lutut pada bumbu jadi. Bagi saya yang penting jangan sering-sering (!!!), makanan yang bisa saya masak dengan bumbu alami tetap menjadi primadona.
Setelah empal saya masak, saya menyiapkan sayuran-sayuran tadi untuk direndam sebentar di dalam air panas. Oh ya, ada pula jagung manis kalengan. Sayurannya tidak matching? Kedengaran aneh untuk sebuah Pecel kan? Saya tak peduli. Toh rasa bumbu Pecel Ibu saya ini kuat sekali, campuran sayuran apapun tak akan bisa mematahkan rasanya. Racikan kacang tanah yang disangrai kemudian ditumbuk dengan rempah-rempahnya seperti punya rahasia.
Sayuran selesai, seduhan air panas di mangkok persegi bercampur sempurna dengan bumbu Pecel. Tiga kali saya menambahkan sedikit air mineral kedalamnya agar keencerannya sempurna. Semuanya sudah siap!. Selepas Isya’ sembari menunggu flatmate saya pulang meeting, saya menikmati Pecel itu sendiri sebelum akhirnya porsi saya sisa separuh, ia datang dan reflek “Aw, It’s heaven!”. Makan malam kami dua hari yang lalu sungguh spesial.
Oh Tuhan, beberapa kali saya bersyukur saat rasa bumbunya bercampur dengan sayuran pun empalnya. Nikmat sekali di lidah. Sungguh (!). Apalagi bumbu Pecel-nya mendapat dukungan dari salah satu sayuran inti yang harus ada di Pecel : Kangkung (!!!). Kangkung disini cukup langka, hanya bisa saya dapat di Lekki, satu-satunya pasar tradisional seantero Lagos yang menjual sawi dan kangkung. Sesekali saya teringat wajah Ibu saya saat mengoles bumbu di atas empal yang sebelumnya digoreng dengan minyak secukupnya. Hingga akhirnya sisa-sisa bumbunya saya tuntaskan dengan beberapa jilatan di jari-jari saya. Ya! Saya menikmatinya dengan tangan, bukan sendok dan garpu.
Memang tak ada yang menandingi nikmatnya makanan Indonesia yang-memang-sudah-nikmat di negeri orang. Luar biasa bahagianya bisa menikmati hasil racikan Ibu sendiri yang super-duper-yummy. Saya menyimpan sisa bumbu Pecel-nya di dalam kulkas, sedikit sayang untuk sekedar menjadikannya cemilan :). Ah, sungguh, saya ingin memeluk beliau saat ini karena saya semakin sadar Ibu saya briliant. Karena tak mungkin memeluknya dari sini, mungkin foto yang saya ambil dengan iPhone ini mewakili perasaan saya padanya :).





P.S. Foto-foto ini hasil jepretan kemarin pagi, saat saya dengan semangat ingin mengulangi kenikmatan bumbu Pecel untuk sarapan, tanpa nasi. Hanya sayuran-sayuran yang sama. Memasak sayuran-sayuran itu membuat saya harus bangun sedikit lebih awal. Tak enak kan jika sayurannya tak segar? :). Oh, foto terakhir, saya ambil tadi pagi, karena kemarin saya lupa dan baru sadar tak akan lengkap jika tidak menyertakan bentuk fisik bumbu Pecel-nya sendiri sebelum diseduh. Saya terpaksa menggunakan kemeja hitam yang belum disetrika sebagai background, hehe, saya kehabisan props, toh hasilnya tidak buruk bukan?. Bagaimana, apa saya berhasil membuat anda menelan ludah kali ini dengan Pecel racikan Ibu saya? :). -Azis-