Tahun kedua untuk Afrika.

Perjalanan panjang akan kembali diulang. Perjalanan merantau (lagi), perjuangan, cerita, kerinduan, dan berbagai carut marut hidup akan dihadapi untuk kedua kalinya. Kembali ke Afrika setelah sebulan bersenang-senang (yang terasa seperti seminggu) di tanah kelahiran telah usai.

Agustus tanggal satu, menuju bandara Juanda tepat pukul dua siang dari rumah. Keinginan saya untuk pergi sendiri akhirnya pupus. Tahun ini kembali diantar keluarga, bapak, ibu, kedua kakak, keponakan, dan sahabat sedari kecil, Sohib. Perjalanan satu setengah jam yang membuat saya kembali sedikit mengeluh. Kemacetan pasalnya.

Bukan, bukan kemacetan, hanya ego besar yang menuntut kenyamanan terganggu dengan koper besar yang juga duduk tepat disamping. Sesak. Sesampainya di Juanda ingatan saya seperti kembali setahun lalu. Kala itu saya juga diantar sebelum mengarungi perjalanan panjang ke Afrika. Bedanya saat itu selepas subuh. Hiruk pikuk bandara lebih parah dibanding tahun kedua. Bedanya lagi saya tak menggunakan jasa penerbangan low price yang kadang menyebalkan, kali ini bisa terbang dengan Garuda. Bukan jumawa, tapi kenyamanan sangat dibutuhkan dari awal perantauan. Afrika jauh. Capek yang akan dihadapi bukan main-main. Apalagi, saya kembali berangkat sendiri dengan satu koper besar seberat 34 kilo, dua tas jinjing berisi oleh-oleh pribadi yang beratnya juga lumayan, dan satu ransel berisi gadget-gadget juga tak ringan. Garuda pun langsung mendarat ke terminal dua Soekarno Hatta, artinya saya tak perlu ganti terminal seperti kedatangan tahun pertama sebulan yang lalu. Ganti terminal hanya menyisakan kekesalan. Saya tak memiliki tradisi pamitan yang dramatis. Semuanya teramat santai. Hanya mencium tangan kedua orang tua, menyalami kakak-kakak kemudian berpamitan.

Pamitan dramatisir hanya membuat hati dan pikiran lemah, karena bagaimanapun, sejauh apapun kita pergi, kerinduan akan keluarga itu jelas tak akan bisa ditepis. Setelah berpamitan saya langsung menuju gate. Tak cukup lama setelah menyempatkan sholat ashar saya masuk kedalam pesawat. Perjalanan sejam menuju ibukota saya lalui sendirian. Perasaan saya seperti biasa, santai. Namun itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba perasaan menjadi aneh. Aneh dan cukup mengganggu.

Saya yang duduk disamping jendela kiri merasakan hati dan pikiran mendadak kacau. Tak tenang seperti biasanya. Pikiran saya terbang dan seakan ingin menukik kembali ke Surabaya. Tak seperti biasanya, kali ini saya nampak gelisah. Kedua orang tua ada di urutan pertama yang mengisi pikiran sore itu. Kemudian kakak. Setelah itu sahabat dan teman-teman.

Sebisa mungkin saya mencoba menghibur diri dengan cara-cara sederhana. Kadangkala mata menatap sekumpulan awan yang cantik sore itu. Mentari sedikit demi sedikit berpamitan dengan sopannya. Awan-awan sore itu nampak jauh lebih cantik saat mereka bermandikan cahaya mentari.

Kegelisahan saya sore itu berdampak pada konsentrasi hingga lupa buka puasa sebelum waktunya. Seperempat jam lebih awal dari waktu yang seharusnya, waktu Jakarta setengah jam lebih lama dari Surabaya.

Sesampainya di Soekarno Hatta, saya harus kembali konsentrasi. Tak boleh membiarkan perasaan gelisah menguras pikiran. Selesai dengan urusan bagasi saya kembali keluar bandara menyaksikan kesibukan manusia sore itu. Apa yang saya lihat saat itu kembali mengingatkan akan perjuangan hidup. Berbagai macam manusia sibuk dengan carut marut kehidupan mereka masing-masing.

***

Sembari menunggu kedatangan tiga teman saya, Mario, Maya dan Winda, saya putuskan menunggu sambil memperhatikan tingkah laku manusia di bandara. Hampir sejaman saya menunggu dan memutuskan memesan meja di Solaria. Tempat terdekat dari pintu kedatangan. Akhirnya Mario tiba juga disana. Kita memang punya janji bertemu sebelumnya. Mario punya beberapa titipan untuk mas Andhi –senior saya di Lagos– yang harus saya bawa. Tak lama setelah bertemu Mario, kedua teman yang tahun lalu ikut mengantarkan saya hingga terminal D, Winda dan Maya datang. Alhamdulillah paling tidak mereka tak membiarkan saya kesepian di bandara. Seperti biasa, Maya dan Winda kembali bergurau. Gurauan dan nada khas kita bertiga. Sayang tak ada Ruli, karena kita berempat sepertinya memiliki nada kebangsaan yang mempengaruhi cara kami berbicara. Hampir sejam setelah Mario merapikan barang-barang titipannya ia pun pamit pulang.

Akhirnya saya kembali bertiga seperti tahun lalu bersama Maya dan Winda. Setelah kami berbuka puasa di Solaria, kita langsung menuju ke atas. Menuju Terminal D. Tujuan kita ke Starbucks. Pesan kopi sembari mengobrol. Namu sayangnya malam itu Starbucks sudah tutup. Padahal masih pukul sembilan malam. Alternatif kita jatuh pada Coffee Bean. Bolehlah, saya juga belum pernah ngopi di Coffea Bean. Maya memesan sepotong Tiramisu dan segelas frozen black forest. Winda berbeda. Dia memilih cheese cake dan segelas caramel. Sedang saya cukup smoothie dari pisang dan mangga dan sebuah chocolate muffin.

Malam itu saya merasa bersyukur paling tidak ada teman yang sukarela menemani sebelum saya meninggalkan negaraku untuk kedua kalinya. Tak lama kita mengobrol ‘ngalor ngidul‘ hanya sekitar tiga puluh menitan. Karena Winda masih memiliki PR membuat slide presentasi untuk keesokan harinya. Tepat pukul sepuluh malam kami berpamitan. Maya dan Winda mengantarkan hingga didepan pintu masuk check in. Kami tak lupa mengambil gambar dari kamera dengan pose dan latar belakang yang sama. Seperti nostalgia.

Tak terasa malam itu kembali datang. Seperti pengulangan yang amat cepat. Tak terasa setahun yang lalu kami juga bertemu di tempat yang sama, di waktu yang sama. Soekarno Hatta, terminal D, pukul 10 malam. Sebelum berpisah, ritual mengambil gambar merupakan hal yang wajib. Tak ada yang bisa menggantikan gambar sebagai bagian terbaik dari momen perjalanan hidup.

Saya bersyukur bisa bertemu mereka lagi tahun ini. Kadangkala kekhawatiran saya masih sama, apakah bisa di waktu yang akan datang memiliki kesempatan bertemu dengan mereka dan teman-teman yang lain.

Hidup kadangkala sungguh tak bisa diduga.

Maya dan Winda di Coffee Bean. Mereka berhasil mengompas saya. Lagi. hihihi.
Saya dan Winda berfoto dengan pose yang sama tahun ini.
Saya dan Maya berpose dengan koper dan tas yang sama :)
Saya dan Winda setahun yang lalu.
Saya dan Maya setahun yang lalu.

2 thoughts on “Tahun kedua untuk Afrika.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.