
Perjalanan sesungguhnya pun dimulai malam itu. Dua jam sebelum pergantian hari menuju 2 Agustus 2012.
Layar kecil menunjukkan angka 31. Saya lega mengetahui berat koper saya tak overload. Satu dua kilo melebihi 30 kg (berat maksimal aturan internasional untuk bagasi) tak mengapa. Lebih dari itu, $50 per kilo harus direlakan untuk membayar biaya kelebihan bagasi ke Afrika. Ke Eropa? Lebih mahal lagi, sekitar tujuh puluh dolar. Selesai check-in saya menuju ke imigrasi. Saya berjalan terpingkal-pingkal. Tas-tas yang saya bawa tak ringan. Kesalahan dasar yang terpaksa saya buat untuk menghindari kelebihan bagasi yang semula 34 kilo.
***
Pemeriksaan terakhir sebelum masuk pesawat menyisakan sedikit kerelaan yang harus saya lakukan. Salah satu benda bawaan tak lolos. Sekotak kecil berisi petis. Ya, petis. Mungkin kedengaran norak, tapi membawa bahan makanan asli negeri sendiri yang mustahil bisa ditemukan di negara lain hukumnya fardhu ain. Petis pemberian ibunda si Sohib. Perasaan kecewa memang tidak terlalu besar meski menyesal karena lalai tak menaruhnya di koper. Tapi ya sudahlah, angan-angan membuat rujak petis harus dikubur.
Lepas dari pemeriksaan terakhir langsung menuju gate D1. Kali ini sama seperti tahun lalu, sesak dengan bule-bule yang akan pergi ke negara tujuan masing-masing. Saya pun tak dapat tempat duduk. Karena tak kuasa menahan beban di pundak dengan tas-tas berat yang masih harus dibawa sampai ke Dubai, bahkan Lagos, akhirnya dengan cueknya saya duduk di lantai. Ponsel saya masih menunjukkan angka 23.25. Masih ada waktu untuk berpamitan teman-teman dekat. Tak semua bisa dihubungi. Mungkin terlalu malam. Tak apalah.
***
Menu yang disajikan memang disesuaikan dengan menu khas negara asal saat pesawat hijrah. Menu yang saya dapat saat penerbangan kembali dari Nigeria menuju Dubai adalah Jollof Rice, nasi khas Nigeria. Bisa dibayangkan jika saya terbang dari Italia, mungkin mereka akan menyajikan Lasagna.
***
Sesampainya di Dubai saya jauh lebih percaya diri dibanding kali pertama sampai di bandara yang lebih mirip mall. Saya tak lagi pusing mencari gate 213 menuju Lagos. Tas-tas saya masih menjadi pengganggu perjalanan. Saya mulai menggerutu tak akan pernah lagi mengulangi kesalahan dasar yang bodoh.
Kali ini saya tak sibuk melihat banyaknya barang-barang indah yang dijual di bandara. Itu tentu akan berbeda saat kepulangan saya tahun depan. Saya akan memanfaatkan waktu transit lebih maksimal dari kepulangan tahun pertama. Pagi itu saya lebih memilih menunggu di gate dan membuka Mac. Tujuannya? Untuk membagi daya baterai kepada ponsel. Ya, ponsel saya saat itu sedang sekarat. Saya terpaksa harus menjaga daya baterai karena sewaktu-waktu saya membutuhkan ponsel sesampainya di Lagos. Di bandara sebenarnya ada fasilitas charger baterai untuk ponsel. Cuma jarak yang terlalu jauh dari gate membuat saya berpikir dua kali untuk memanfaatkan fasilitas itu.
Setelah transit sekitar tiga jam, saya kembali memasuki pesawat yang akan menerbangkan saya hingga ke Lagos. Lagi-lagi saya duduk disamping jendela. Kali ini di sebelah sepertinya seorang Belanda. Sepanjang perjalanan hanya saya isi dengan tidur. Merenggangkan kaki dan leher. Hanya sekali saya sempat memainkan layar sentuh memutar film The Lucky One. Perjalanan sekitar sembilan jam menuju Lagos saya masih sempat berpuasa. Artinya saya menolak semua menu selama di pesawat. Croissant super enaknya Emirates kali ini tak saya hiraukan.
Sesampainya di bandara Lagos, saya langsung mengaktifkan nomer-nomer lokal. Kali ini tak seperti tahun pertama dimana dulu saya masih harus mencari penolong yang mau meminjamkan telepon selularnya. Kali ini lancar jaya menghubungi mas Andhi untuk konfirmasi penjemputan. Alhamdulillah tahun ini Sammie, salah seorang operation manager di kantor, menjemput saya di depan pintu kedatangan pesawat. Ini jauh lebih mudah. Tak lama setelah lolos dari imigrasi dan merampungkan urusan bagasi, saya kembali harus berhadapan dengan salah satu petugas imigrasi yang bertugas mengecek koper. Petugas sialan itu kembali menahan paspor saya sesaat setelah ia memeriksa isi dalam koper. Alasannya, ada kerajinan yang saya bawa yang semestinya harus dilengkapi dengan surat-surat. Alasannya sungguh tak masuk akal. Setelah Sammie membantu saya menjelaskan kerajinan yang saya bawa, akhirnya ia mau mengembalikan paspor tanpa bayaran sepersen pun.
***
Keluar dari bandara kembali saya bertemu dengan mas Andhi. Semuanya lancar hingga saya, mas Andhi, Sammie menuju kantor dengan mobil yang dikendarai oleh sopir kita, pak Magnus. Tak lama kita menyempatkan ke kantor hanya untuk menyapa orang-orang disana. Semuanya senang melihat saya kembali, dan……beberapa langsung menanyakan oleh-oleh (dimana-mana sama, hihihi). Dengan cueknya saya bilang tak sempat membawakannya. Kenyataannya saya hanya membawa beberapa untuk orang yang cukup dekat. Lainnya? Tak mungkin lah menyesakkan koper yang sudah overload.
Sampai di Lagos dengan selamat, artinya, welcome back to reality! Selamat berjuang (kembali) menghadapi banyak hal selama sebelas bulan kedepan di Nigeria. Negara dimana fisik dan mental harus siaga menghadapi tantangan hidup.
Just one word Kerenn!! :]
Thanks for coming.
Saya mau tanya kalo dari nigeria ke dubai berapa jam penerbangan ya?thank sebelumnya……
Hi Yani its pleasure, kalau dari Nigeria ke Dubai rata-rata penerbangannya sekitar 8 jam, bisa hingga 10 jam-an sih kalau ada delay :)