Bahagianya Pulang! (Bagian 1)

Tadi pagi hampir siang, sekitar pukul 11, saya baru mendapat kabar salah satu teman saya disini akhirnya sampai juga di Jakarta. Penerbangannya hampir sama dengan apa yang saya punya tahun lalu, pukul 5 sore berhasil mendarat di Jakarta. Darinya kemudian membuat saya tergerak untuk menulis secuil perjalanan pulang saya tahun lalu. Kepulangan pertama.

Yang namanya pulang kampung untuk seorang perantau bisa jadi salah satu momen istimewa. Bagi anda yang merantau di kota lain untuk bekerja, momen pulang kampung itu indah. Terlebih saat hari raya, saya amini momen itu sebagai momen penting. Penting dan indah bukan?. Jika kota tempat anda bekerja masih dalam satu negara yang sama, pulang kampung bisa sepenting itu, maka perantau macam saya yang tinggal dan bekerja di negara orang, momen itu berkali-kali lipat pentingnya. Saking pentingnya, momen itu berhasil membuat saya gelisah tahun lalu. Gelisah yang membahagiakan.

Tiga hari sebelum kepulangan, bayangan-bayangan kebahagiaan sudah terekam jelas di ingatan. Kadang agar tidak lupa, sesekali saya bubuhkan tinta di atas buku catatan. Sebenarnya, bukan dari tiga hari sebelum kepulangan bayangan-bayangan itu datang. Sebulan sebelum hari H sepertinya waktu yang tepat untuk menandai excitements on exciting mind. Saking bahagianya, bayangan-bayangan itu mengganggu daya konsentrasi padahal saya ingat, saat itu target pekerjaan sebelum saya cuti cukup banyak. I had a lot on my plate.

Bayangan itu bermacam-macam, dari hal besar yang ingin saya kerjakan hingga hal-hal kecil yang juga tak kalah manisnya. Dari daftar makanan Indonesia yang wajib saya makan, tempat-tempat yang belum pernah disinggahi, orang-orang yang wajib ditemui, hingga belanja pakaian-pakaian baru yang dibutuhkan (baca : diinginkan). Segitu banyaknya.

Waktu yang paling krusial merasakan bahagianya pulang adalah malam sebelum saya benar-benar ‘pulang’. Sebentar, coba saya ingat. Malam itu sekitar pukul delapan saya berada di kamar flatmate saya. Kebetulan hari itu kami pulang tepat waktu karena tidak ada pekerjaan yang mengharuskan kami bekerja overnight. Di dalam kamarnya kami berbincang ringan tentang apa saja yang ingin saya lakukan beberapa jam kedepan. Apa yang akan saya cari di Dubai, saat tiba di Jakarta, hingga dua puluh sembilan hari kedepan. Ya, saya hanya punya waktu sebulan di Surabaya. Malam itu flatmate saya mendapat telepon dari Madam Uche, Bos kami. Sebelumnya mereka berdua berbincang perihal pekerjaan hingga akhirnya saya memiliki kesempatan berpamitan kepadanya. Madam, seperti biasa, berpesan semoga perjalanan saya selamat sampai di rumah, salam untuk keluarga dan hal-hal semacam itu. Kebetulan saya hanya bisa berpamitan melalui telepon karena beliau sedang di Florence, Itali.

Beberapa jam setelahnya, saya kembali ke kamar memandangi koper yang masih terbuka. Beberapa baju dan oleh-oleh sudah hampir tertata rapi hingga akhirnya flatmate saya masuk dan membongkarnya kembali. Ia memberi saya pelajaran packing dadakan. Menata kembali baju-baju, buku, hingga beberapa benda yang harus diselundupkan. Ah, kalimat sebelum ini sepertinya berlebihan. Maksud saya merapikan benda-benda yang kami anggap akan menimbulkan sedikit kendala saat koper saya harus diperiksa petugas bandara. Benda-benda itu pastinya bukan narkotika *rolling-eyes* hanya beberapa craft asli Afrika yang sengaja saya beli sebagai buah tangan. Kenapa barang-barang itu harus ‘diselundupkan’? Nanti saya bahas.

Akhirnya sekitar sejam, koper saya sudah jauh lebih rapi dari sebelumnya. Craft-craft tadi sudah berada di lapisan kedua setelah baju dan tertutup oleh beberapa gulungan kemeja, kaos serta kotak MacBook yang ternyata sangat berhasil menutup benda selundupan tadi. Tatanan koper saya sungguh rapi. Sekali lagi, kata flatmate saya yang sudah empat kali pulang kampung, kerapian itu akan mengalihkan petugas bandara. Ah sebenernya saya malas menyebut mereka troublesome meskipun kenyataannya demikian. Saya ingat betul beberapa menit lepas pukul 12 malam akhirnya packing selesai dan, dan….saya berusaha untuk tidur. Sedikit gagal karena gelisahnya tak karuan.

***

Hari H

Paginya saya bangun dengan mata yang masih terkantuk. Pukul tujuh saya sudah berada di kamar mandi, berdiri di bawah pancuran air dingin agar saraf dan semangat saya terbangun. Tanpa air dingin semangat itu sebenarnya sudah bangun dari sebulan yang lalu, hanya saraf yang harus dilecut agar kantuk saya hilang.

Pukul delapan saya sudah siap dengan koper yang beratnya melebihi tiga puluh kilo. Saya turun ke bawah karena memang flat saya di lantai dua. Pagi itu gerimis. Saya dibantu sopir menaikkan koper hitam itu ke dalam bagasi. Berat.

Saya dan flatmate saya mampir ke kantor. Ia harus kembali bekerja sementara saya menunggu sekitar sejaman lagi sebelum saya meninggalkan kota ini. Tepat pukul sepuluh pagi saya meninggalkan kantor. Setelah sebelumnya berpamitan kecil dengan orang-orang disana, akhirnya saya menuju bandara ditemani Sammie, seorang asli Ghana yang bekerja sebagai head manager of operation (sayangnya sekarang ia sudah resign). Saya diantar Sammie hingga memasuki antrian kemudian….pemeriksaan koper!. Tak seperti di Indonesia dimana koper cukup melewati scanner. Disini, sebelum melewati scanner, koper harus dibuka untuk pemeriksaan. Nah ini yang tadi saya bilang proses yang sedikit membuat saya dag-dig-dug. Kenapa?

Petugas bandara disini benar-benar rgghh troublesome. Mereka sedemikian hingga akan mencari celah untuk menemukan masalah dan memojokkan kita. Seperti yang saya alami hari itu. Beberapa buah tangan sudah rapi tertata di koper sudah lolos pemeriksaan karena sewaktu mereka melihat tatanan rapi, mereka akan berpaling dan menutup koper seketika. Terus? Ah! Saya lupa memasukkan salah satu patung kayu yang terbungkus koran di tas jinjing. Selain koper dan ransel berukuran sedang di punggung, saya membawa tas jinjing. Nah, petugas itu bertanya apa yang saya bawa. Ia meminta saya menunjukkan tas dan yah! ia tahu saya membawa craft. Sialnya, ia menahan tas itu, alasannya? Saya harus menunjukkan sertifikat atau berkas-berkas apa saja yang menunjukkan kalau craft itu bukan warisan budaya. Damn it was so stupid and fucking ridiculous *cursed.

Saya agak was-was jika sampai ia menahan tas dan tak mengembalikannya. Saya tak mungkin merelakan benda-benda keren itu disita. Tas jinjing saya itu isinya bukan hanya patung kayu, ada telur burung unta berlapis peta Afrika pula yang harganya juga tak murah. Dibalik sialnya saya pagi itu, masih ada Sammie di samping. Berkat bantuannya menjelaskan apa yang saya bawa dengan campuran bahasa Inggris dan bahasa lokal, lengkap dengan tetek bengeknya akhirnya tas saya kembali. Tapi…ada salam tempelnya. Untungnya hanya seribu Naira. Fiuh!

Setelah melewati pemeriksaan tadi saya kembali harus melewati pemeriksaan lainnya sendiri. Tanpa Sammie. Setelah berpelukan, saya berpamitan padanya. Ia sempat bilang “Enjoy your leave, enjoy Soto Ayam”. Hehe, ia tau apa itu Soto Ayam. Setelahnya saya duduk di depan terminal tempat saya menunggu boarding time. Saat itulah saya menelpon flatmate saya terakhir kalinya untuk mengabari bahwa saya sudah di dalam, tinggal menunggu pesawat saja. Saya mengabari kakak, yang menjadi satu-satunya orang rumah yang tahu saya pulang hari itu. Dua jam di bandara, jam tangan saya mulai menunjukkan pukul dua belas. Beberapa menit lagi petugas maskapai penerbangan asal Uni Emirat Arab yang akan membawa saya pulang, mengumumkan terminal sudah dibuka.

Didalam terminal saya duduk, sembari setengah tidak percaya memandang ada pesawat besar yang akan membawa saya pulang. Sembari menunggu sebentar, saya sempat berbincang dengan gadis asal Iran. Saya lupa namanya. Ia akan naik pesawat yang sama dengan tujuan Malaysia. Ia sebulan di Lagos untuk mencari kemungkinan berbisnis di sini. Hari itu sesuai dengan visa yang didapat, ia akan kembali ke negara dimana ia tinggal selama lima tahun. Saya sempat bertanya tentang negara asalnya, Iran. Apa yang menarik disana, makanannya, pariwisatanya. Saya juga menceritakan bagaimana Indonesia. Ia belum pernah mengunjungi nusantara meski jaraknya sangat dekat dengan negara dimana ia tinggal dengan ibu dan adik-adiknya sedang ayahnya memilih tetap bekerja di Iran. Dengan perasaan bersemangat saya memberitahunya kepulangan pertama saya ini begitu spesial karena tidak ada yang tahu saya pulang selain kakak saya. “It’s gonna be surprising moment for all” ujar saya padanya.

Ah, menutup hari dimana saya akan pulang pada banyak orang itu rencana brilian!

Oke, petugas maskapainya sudah mempersilahkan saya masuk. Delapan jam kedepan saya sudah akan berada di Dubai.

-bersambung-

Lagos, 9:52 PM. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.