Saya pernah berjanji pada Rifda, salah satu teman terdekat, bisa pula dikatakan sahabat, untuk menulis tulisan sederhana ini sebagai kado di hari pentingnya. Tepat tanggal enam bulan lalu ia menikah. Postingan ini amat terlambat, tapi bukankah lebih baik daripada tidak sama sekali?
Saya dan Rifda satu angkatan di kampus desain produk delapan tahun lalu. Entah bagaimana awalnya kami akrab. Di angkatan desain produk tahun itu yang hanya memiliki dua perempuan, Rifda termasuk paling mudah akrab dengan teman lelaki. Ia supel sekali.
Lucunya kami tak cukup dekat di semester awal, saya dan Rifda, oh tidak, kami bertiga, saya, ia dan Ruli, kami justru dekat saat semester-semester akhir. Rifda dan Ruli dulu sering memandang saya sebagai mahasiswa yang gemar memilih teman-teman pintar. Kumpulan mahasiswa yang selalu memiliki ritme asistensi tugas mulus. Sedang Ruli dan Rifda biasa mendapatkan wajah murung dosen dan waktu asistensi yang singkat. Hmm tapi itu dulu saat kami bertiga belum cukup dekat. Persahabatan saya dengan mereka berdua masih cukup erat hingga kini meski komunikasi kami sedikit renggang karena kesibukan masing-masing.
Bagi saya Rifda memiliki kelebihannya sendiri, wawasannya cukup luas, pecinta buku, buah apel dan novel bagus. Kerapkali bisa berubah menjadi seorang pemanja dan moody.
Ada beberapa momen dengannya yang masih bisa saya ingat dengan baik hingga kini. Pernah kami menghabiskan suatu malam di rumah Ruli. ‘Sok’ sibuk membantu Ruli yang sedang dikejar deadline tugas akhir. Saya dan Rifda yang berhasil diiming-imingi makan malam gratis oleh Ruli saat itu tancap gas dari Surabaya ke Gresik. Sebenarnya bukan karena iming-iming itu sih, kami berdua sadar hanya punya hari itu untuk membantu Ruli sebelum akhirnya ia ujian. Saya masih ingat sekali bagaimana cerewetnya saya malam itu yang susah menemukan makanan warung yang menawarkan makanan rendah minyak. Saya memang kurang ajar hingga Ruli sempat diam-diam komplain ke Rifda atas sikap mengesalkan saya pada makanan-makanan berminyak itu. Padahal sebenarnya makanan yang saya pilih saat itu hanyalah sepiring Cap Cay kuah. Namun karena Cap Cay-nya ada beberapa bintik hitam sisa penggorengan olahan sebelumnya, nafsu makan saya turun seketika. Oh tapi itu dulu gegara ajaran Edwin Lau, chef yang terkenal dengan kampanye makanan sehat. Sekarang tidak lagi kok, saya pemakan segala, glutton!. Malam itu kami bertiga lebih banyak ngobrol (baca ; nggosipin orang!) daripada benar-benar membantu portofolio si Ruli. Hmm saya baru sadar kami bertiga tidak pernah berfoto bersama, poor me.
Kenangan dengan Rifda saat sekantor dulu juga masih membekas. Awalnya benar-benar aneh saat kami berkenalan ‘lagi’ di hari pertamanya, it was ridiculous!. Seperti biasa, setiap ada karyawan baru sudah jadi ritual pengenalan ke beberapa partner kerja, tapi Rifda? Oh, kami akan bekerja dalam tim yang sama. Di kantor dulu, Rifda dan saya, plus kawan kami yang juga tak selalu serius kerja, Yuriko dan Edwin, lebih banyak bertukar gosip akan banyak hal, mulai dari benda plastik yang menaungi AC kepala HRD, tentang manajer kami, hingga pandai bersandiwara memasang tampang serius saat kami harus duduk di meeting mingguan yang menjemukan. Rifda tak cukup lama bekerja sama dengan saya di tim konseptor, singkat sekali, hanya tiga bulan. Itupun hanya satu bulan setengah yang bisa dihitung aktif karena ia sering sakit hingga akhirnya mengundurkan diri.
Saya dan Rifda pernah bermimpi suatu saat bisa hidup di daratan biru. Ia terkesima dengan kemajuan teknologi Jerman, sedang saya yang tak pernah berhenti membayangkan artistiknya Italia dan Perancis. Kami pernah bermimpi bisa belajar disana. Bermimpi menjadi mahasiswa pasca sarjana yang mampu menghadang tekanan tugas-tugas berbahasa asing yang menumpuk, merasakan perubahan musim yang tak bisa kami dapatkan di negeri sendiri, berkunjung ke museum saat musim perkuliahan cukup renggang, belajar aksen bahasa setempat, hingga bermimpi bisa menjadi borjuis dadakan. Borjuis? Ya, Rifda pernah bermimpi bisa melenggang bebas masuk mengunjungi (baca ; belanja) butik-butik ternama sedang saya lebih memilih berburu makanan enak di restoran-restoran mahal. Ah, semoga suatu hari nanti mimpi-mimpi itu bisa menemukan jalannya sendiri.
Saya bahagia akhirnya Rifda menikah. Dulu saat kami intens bercakap di bbm, menikah adalah salah satu yang ia impikan dalam waktu dekat, selain perihal beasiswa master ke Jerman yang selalu ia impikan. Kini ia tak perlu lagi gelisah akan jodohnya. Tuhan telah memberinya jawaban dari hal besar yang selalu ia resahkan dulu.
Sayangnya saya tahu ia akan menikah bukan dari ia sendiri. Ia tak mengabari saya langsung, entahlah, mungkin karena terlalu bahagia sehingga lupa. Undangan virtual pun tak pernah sampai. Mungkin Rifda sadar betul saya tidak akan datang karena berada di benua yang berbeda. Kecewa iya, tapi itu terhapus dengan perasaan bahagia, karena akhirnya, doa yang dulu pernah saya panjatkan untuknya telah dijawab Tuhan di waktu yang sempurna. Menyedihkan memang tidak bisa menghadiri hari penting teman baik, but I had to face up reality that day.
Bukan saya terlalu kritis atau sensitif, tapi mungkin kita berdua harus belajar lagi bahwa persahabatan tidak seharusnya seperti bayangan, yang hanya ada saat terang namun hilang saat gelap. Kalimat didepan seperti curhat colongan ya, maaf ;). Saya akan terus memanjatkan doa untuknya agar apapun yang ia jalani di masa mendatang selalu dirahmati Tuhan. Amin.
Oh ya, masih ingat lirik lagu ini Rifda? Lirik dari lagu yang sering kita putar bersama Yuriko dan Edwin saat jarum jam kantor mendekati pertengahan angka empat dan lima? “..Engkau sangat berarti, istimewa di hati, selamanya rasa ini…jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing…ingatlah hari ini…”
Semoga kamu tak lupa.
Ah buku ini! Ini buku bagus dari Rifda yang ia hadiahkan untuk saya karena membantu menyusun laporan tugas akhirnya, one of my fav book from Paul Arden! Oh tidak, itu tujuh tahun yang lalu? Time flies.
P.S. Finally I had time untuk menghubungi Rifda dari sini sekedar mengucapkan selamat atas pernikahannya dua hari yang lalu. Terlambat sekali tapi saya yakin ia bahagia bisa mendengar suara saya dan ngobrol beberapa menit lewat telepon, terbukti she was screaming di pembicaraan awal kami. I love to make people happy. Rifda, jangan pernah lupa lirik ini “..Engkau sangat berarti, istimewa di hati, selamanya rasa ini…jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing…ingatlah hari ini…”. Maaf, saking sukanya saya pada lirik jenius dari P Project saya mengulangnya tiga kali. Well, like what was Henry David Thoreau said ; The language of friendship isn’t words but meanings.
Lagos, 2;39 pm.