“…ada ritual yang selalu kami lakukan setelah berdoa, saya lupa kami menyebutnya apa. Semacam sharing kecil-kecilan tentang apa yang kami rasa dan kami alami setiap pagi sebelum bekerja. Setelahnya, kami mulai membahas pekerjaan, target harian, target hari kemarin yang selalu meleset, proyek-proyek baru, dan hal-hal semacam itu…” – King Halim bagian 1 –
Setelah satu bulan saya mulai bekerja di meja kerja sendiri. Meja kerja kami berbentuk huruf L, saya duduk di paling pojok. Di atas meja ada seperangkat komputer, alat tulis, kalender duduk, beberapa buku pribadi yang biasa saya baca saat jam istirahat, serta rak plastik kecil tempat menyimpan barang-barang pribadi. Dinding depan dan samping kiri adalah tempat dimana saya selalu menempel beberapa print-out designs, figur-figur inspiratif, beberapa reminder di atas post-it (dan tiba-tiba saya rindu akan meja saya). Dibanding meja Jalal yang lebih minimalis tanpa print-out desain menempel di dinding, atau meja Edwin yang agak istimewa dengan seperangkat speaker untuk musik dan radio (sampai saat ini saya masih penasaran box yang ada didekat meja Edwin, persis di titik ‘L’ dari meja kami :P), atau meja Yuriko yang dipenuhi sekantong makanan-makanan pembentuk otot, apalagi meja Tomo yang seringkali tak berpenghuni, meja saya bisa dibilang paling hits. Meja berlapis vinyl itu tidak hanya tempat menghabiskan waktu dengan ide-ide mengambang, tapi sering pula saya sulap menjadi studio terselubung tiap jam istirahat. Studio untuk memotret bekal yang hampir setiap hari ada, bekal?


***
From Foods, There is Memory. Memories.
Jika saya ingat lagi, saya bukan karyawan baik-baik soal poin ‘tidak-diperbolehkan-membawa-makanan-dari-luar’ yang jelas-jelas ada di peraturan perusahaan. Jelas insting ‘food-photographer-wannabe‘ saya yang bahkan saat itu belum segila sekarang, ternyata mampu mendorong saya melanggar aturan, hehe. Mungkin peraturan tadi tidak berlaku untuk makanan dalam bentuk cemilan asal kuantitasnya masih masuk akal, tapi saya? Jangan ditanya. Bekal saya tidak sembarangan.
Bayangkan saja, sebagai bagian dari tim kreatif di perusahaan, saya satu-satunya yang lebih mirip staf dapur dibanding keempat teman-teman di tim. Saya yang selalu repot dengan makanan-apa-yang-akan-dinikmati bersama hari ini, ide bekal apa untuk besok, buah apa yang harus dibeli setelah jam pulang kantor, hal-hal semacam itu saat ini mengingatkan saya akan satu hal. Ternyata makanan bisa menciptakan kenangan bersama orang-orang tertentu di waktu yang lalu.
Dulu setiap pagi, sebagai salah satu karyawan yang paling pagi sampai di kantor, setelah melewati screener sidik jari untuk absen harian, saya sering mampir ke dapur. Saya punya ‘tim’ sendiri yang baik hati mempersilahkan saya mengakses lemari es. Tujuan saya tentu untuk menyimpan bekal-bekal berbahan dasar buah-buahan, es krim, atau semacam puding-pudingan yang memerlukan temperatur dingin, yang akan sangat nikmat sebagai makanan penutup setelah makan siang. Biasanya jika jarum jam menunjukkan angka tiga setelah pukul dua belas, saya menyelinap ke HRD. Memohon ijin mengambil barang di loker, atau ada keperluan untuk menelpon seseorang dari handphone yang juga ada di loker adalah beberapa alasan untuk kembali ke dapur untuk mengambil ‘barang-simpanan’ tadi (oh perusahaan perhiasan tidak akan membiarkan karyawannya membawa handphone kecuali tim marketing dan sales, hihi, kasian ya :P).
Sesekali saya takut jika kepala HRD memergoki saya membawa satu kantong besar makanan dari dapur hingga kemudian ide lain muncul di benak saya. Bekerja sama dengan mbak-mbak yang selalu menyiapkan makan siang staf di pantry tentu solusi terbaik. Mereka selalu leluasa melewati gerbang pemisah lorong dengan entrance pabrik saat jam makan siang. Saat itulah saya bisa mendapatkan bekal-bekal yang tadi disimpan di lemari es. Sebentar, bukan hanya mereka yang bekerja sama dengan saya, tiba-tiba saya ingat teman saya di customer service dulu, Nanik, dan salah satu staf marketing, Ratna. Mereka berdua seringkali membantu menyimpan bekal-bekal saya di lemari es di ruang marketing. Mereka berdua juga sering saya undang ke ruang konseptor saat waktu menikmati bekal-bekal itu tiba. Nanik, Ratna, apa kabarmu sekarang? :) (saya yakin mereka ingat betul bekal-bekal saya, hehe).
Lemari es memang saya perlukan untuk bekal-bekal tadi, tapi tempat penyimpanan teraman adalah di ruangan sendiri. Tepat di depan meja meeting, ada meja panjang yang memiliki sekat-sekat didalamnya. Disanalah tempat saya menyimpan bekal-bekal ‘kering’. Roti, sereal coklat (Edwin pasti ingat, ia sering mencuri sereal coklat saya. Gah!), Energen, garnish-garnish kering semacam choco chips dan kismis, oh tidak hanya bekal, ada beberapa peralatan dapur. Mulai dari cangkir beragam bentuk, parutan keju, piring saji, nampan, sendok, garpu, pisau, hingga saringan teh yang biasa saya gunakan untuk menabur gula bubuk pun ada. Gila, parah ya? Haha, saya sadar dulu seharusnya saya melamar posisi staf dapur, bukan di tim kreatif.
Lewat makanan pula saya memiliki beberapa kenangan pribadi. Salah satu bekal yang paling sering saya bawa adalah jeli dan puding. Selain paling mudah dan cepat dimasak sepulang kerja, jeli paling bisa dimainkan dengan bahan makanan lain. Ditambah aneka buah dan yogurt, jeli bisa berubah menjadi salad buah. Direndam di dalam larutan Nutrisari dengan tomat segar selama dua jam sama nikmatnya. Disantap biasa juga tak kalah nikmat. Jika saya tidak sedang malas, puding jadi pilihan lain. Dua makanan itu tentu mengingatkan kenangan saya pada Yuriko. Ia pecinta jeli pun puding. Tak jarang jatahnya selalu lebih banyak dari yang lain.
Yuriko dan saya sama-sama menyukai olahan berbahan dasar buah, pernah suatu siang saya ‘nyeletuk’ blueberry. Buah yang masih terbilang mahal di Indonesia itu mencuri perhatian saya saat berkunjung ke Ranch Market. Saya hanya membolak-balik kemasannya sekedar ingin tahu apa saja nutrisi di balik blueberry dan dari mana asalnya, saya beli? Tidak!. Haha, mahal (!!!). Dengan gaji seadanya di King Halim dulu, kemungkinan kecil saya rela membuang lima puluh ribu lebih hanya untuk segenggam blueberry. Stroberi lokal yang biasa didapat di Hero atau Giant masih affordable untuk kantong saya. Setelah ‘nyeletuk’ blueberry tadi, esoknya di ruang tempat loker karyawan berada, Yuriko memberi saya sekotak buah yang sebenarnya berwarna ungu itu (bukan biru!). Saya pulang, di benak saya sudah ada ide mau diapakan blueberry tadi. Pisang Cavendish (itu pisang saya pikir stylish sekali, entah kenapa bisa semulus itu ya :P *ngelindur), sekotak stroberi dan yogurt saya pikir teman terbaik blueberry. Esok paginya, smoothies segar sudah menjadi bekal saya hari itu. Tidak seperti biasanya bekal saya bagi, kali ini smoothies mahal itu cuman kami nikmati berdua. Ya iyalah, masak smoothies seharga seratus ribu lebih yang hanya cukup untuk dua orang dibagi-bagi? Haha, sounds stingy huh? :P
Oh iya, dulu saat saya masih jadi pengikut Edwin Lau kemudian bertemu Yuriko di kantor, sifat-sifat memilih makanan sempat hinggap. Everything fried? najis, boiled jauh lebih baik. Susu rendah lemak tentu pilihan bijaksana. MSG snacks? stay away from me :P.
Jika Yuriko yang hampir setiap hari membawa roti gandum, dada ayam yang direbus sebagai pengganti nasi, pisang, atau snack-snack impornya, itu karena saat itu ia sedang menjalani program pembentukan otot, saya? Haha, saya hanya murid baru chef yang gencar mempromosikan gaya hidup sehat itu. Program televisinya di MetroTV dulu selalu saya tonton, saya hanya terkesima ajarannya ; kok makan saja teliti benar. Kalori, nutrisi, hal-hal semacam itu hampir setiap hari merasuk di pikiran saya untuk kemudian saya bagi di kantor. Jika dibandingkan dulu dengan sekarang, setelah saya pikir-pikir, dulu saya cukup ‘kemalan’. Sebelum jadi ‘a-little-glutton’ dan ‘food-photographer-wannabe’, saya jauh cermat memilih makanan. Tomo pasti ingat apa tagline saya saat itu “hargai tubuhmu dengan makanan bergizi” haha.
Lain Yuriko lain Edwin. Sahabat Yuriko ini jauh lebih fleksibel untuk urusan makanan. Ia masih bisa menerima lemak-lemak jahat dari sebatang coklat, atau pisang goreng dengan taburan gula bubuk diatasnya, atau donat kentang yang saya tweaked sedikit dengan isian pisang dan coklat. Beda jauh dengan Yuriko, Edwin, saya pikir lebih bisa menghargai pemberian makanan berlemak yang jelas-jelas, saya dan Yuriko pasti menolaknya secara halus :P. Seingat saya Edwin suka sekali coklat hingga sering sekali mencuri sereal coklat saya :P (ingat Win?), ia lebih suka puding dibanding jeli, pecinta ceker ayam sama seperti Jalal. Oh, jika saya membawa salad buah, mulai anggur, kiwi, stroberi, apel, jeruk mandarin yang tentu menggoda tidak hanya dari paduan warnanya di mangkuk besar, Edwin pasti memilih buah dengan nutrisi tertinggi (cih! -____-).
Pernah suatu pagi ada perbincangan lucu antara saya, Yuriko dan Edwin. Sembari menikmati jus jambu segar yang lagi-lagi bekal saya pagi itu, Edwin ‘nyeletuk’, ini jus masih ada bijinya. Saya dengan PD-nya menanggapi celetukannya dengan “Eh, bijinya itu juga bagus”. Yuriko menampani, “Iya, pahit-pahit gimana gitu rasa bijinya”. Saya semakin menjadi, “Eh bener, setahu saya ‘gapapa’ kok diminum sama bijinya, disamping vitamin C-nya yang sangat tinggi dari dagingnya, bijinya juga bagus. Tahu tidak, vitamin C-nya jauh lebih tinggi dari jeruk”. Kemudian saya serasa ditampar Edwin “ngawur, itu biji ga bisa dicerna dan bisa bikin usus buntu”. Haha, saya mau ketawa saat itu tapi saya tahan, murid baru Edwin Lau yang sok tahu :P.
-bersambung-
Lagos, 9 ; 52 pm.