King Halim (bagian 4)

“…Begitulah makanan yang dulu saya masak, saya bawa ke kantor, saya nikmati dengan teman-teman di sana mampu meninggalkan kenangan. Makanan plus kebersamaan sama dengan kenangan. Sederhana sekali :)…” – King Halim (bagian 3)

Suatu pagi saya melihat seseorang yang jelas tak asing bagi saya. Rifda, teman baik selama kuliah di Desain Produk, duduk di bangku yang saya duduki di hari pertama kerja. Sekitar pukul sepuluh, Tomo datang bersama Rifda ke ruang konseptor. Saat Tomo mengenalkan Rifda pada teman-teman desain, saya merasa sedikit kikuk. Bukan kenapa, hanya agak aneh bertemu lagi dengan seorang teman baik yang kemudian menjadi partner kerja di sana. Tapi itu hanya terjadi pada hari pertama, selanjutnya saya senang bisa bertemu lagi dengan Rifda. Pun begitu dengannya. Kami menganggap pertemuan itu seperti sebuah berkah (lagi) yang layak dinikmati.

Sejak Rifda bergabung dengan kami, suasana tim lebih bervariasi. Rifda, Yuriko, dan Edwin (termasuk saya) menemukan koloni baru ; koloni untuk bermalas-malasan pada target desain, koloni yang lebih tertarik dengan gosip-gosip seputar kantor (kalau saja manajer saya dulu membaca tulisan ini, oh Tuhan, maaf ya Ko :P), koloni yang tak pernah semangat melakoni meeting dengan manajemen (maaf lagi Ko :P), dan koloni yang selalu bersemangat saat jam makan siang pun jam pulang. Saya tak termasuk di koloni terakhir. Saat di King Halim, Rifda masih seperti dulu, yang selalu terbuka pada hal-hal baru meski kadang moody sekali perihal tugas dan target. Rifda tentu saja jauh lebih menikmati waktu bersama Yuriko sekedar membahas film favorit masing-masing.

Tak lama setelah Rifda bergabung, kami kedatangan seorang perempuan lagi. Namanya Joan Jeannet, saya memanggilnya Johan (entah, saya lebih nyaman memanggilnya Johan *ditoyor-Joan*). Lulusan Desain Produk Ubaya ini tipikal perempuan yang setara dengan Rifda, mudah menyesuaikan diri dengan kami berlima. Sebagai yang paling muda di tim, kami berkewajiban membimbingnya dengan materi-materi dasar desain perhiasan yang menjemukan :P. Sebulan dengan kami, saya mulai merasa ada yang aneh dengan Johan. ‘Supel’-nya ia mengarah ke ‘gila’. Ternyata ia juga seorang perempuan muda yang bisa diajak gila (ini bahasanya ambigu bukan sih? :|). Maksudnya, ia bisa melebur dengan Yuriko, Edwin, Rifda dan saya untuk sekedar bermalas-malasan. Saya tentu tak menyertakan Tomo dan Jalal yang setiap hari serius bekerja meski ada kalanya mereka bisa diajak gila.

Saya dan Johan memiliki satu kesamaan : kulit wajah kami sensitif untuk urusan pimples (cih!). Untuk yang satu ini, Johan mulai mengikuti aliran ‘ke-Edwin Lau-an’ yang menutup mata pada gorengan, sambal, coklat, dan santan, sama seperti saya. Bedanya ia tak cukup disiplin. Saya masih ingat bagaimana dulu Johan tak bisa menahan nafsunya untuk mencomot beberapa tempe goreng kering saat makan siang. Sehari setelahnya, saat muncul satu pimple di wajahnya, Johan menyalahkan tempe kemarin. Kemudian ia menyesal dan berhenti. Seminggu setelahnya, begitu lagi :P. Sebagai dua ‘dayang-dayang’ di tim, Rifda dan Johan tentu amat dekat layaknya kakak-adik. Mereka berdua seringkali menemukan waktu untuk sekedar membahas masalah wanita, mulai dari baju, make-up, pria, dan tentu saja, gosip.

Tak hanya Rifda dan Johan, ada seorang perempuan lagi yang dari dulu ingin masuk geng konseptor. Namanya Ika Siswi, panggil saja mbak Ika. Sebagai rekan kerja tamu-tak-diundang saya, si Dimas, mbak Ika kerap mondar-mandir ke ruangan kami. Sebagai orang produksi, mbak Ika selalu terlibat di tim desain. Tapi sebentar, saya pikir bukan itu alasan yang masuk akal. Ia hanya mengikuti kelakuan Dimas ; berpura-pura sibuk mondar-mandir ke ruang konseptor agar nampak seperti bekerja, namun sebenarnya ia hanya ingin terlibat ke dalam pesta-pesta bekal yang selalu saya adakan :P. Saya ingat sekali, dulu, saat mulai dekat dengan mbak Ika, gantian saya yang sok sibuk mondar-mandir ke ruang produksi. Selain untuk meninjau proses produksi desain, saya kerap mengamati bagaimana pekerja-pekerja di sana menghabiskan harinya.

Ingatan saya kemudian melayang pada seorang ibu setengah baya yang bekerja di bagian produksi selama lima belas tahun lebih. Saya lupa namanya, yang saya ingat, saya pernah memberinya kue. Tidak hanya sekali, beberapa kali. Kadang saya sampaikan sendiri, kadang saya menitipkannya kepada mbak Ika. Saya iba melihat beliau, entah kenapa. It was such an ‘Oprah’ effect, hehe. Satu hal yang cukup mengejutkan bagi saya, ibu itu tahu nama saya. Apakah dulu saya terkenal itu? tidak, hehe. Hanya lucu saja, bekal saya kok ya sampai hingga ke ruang produksi yang letaknya di ujung. Ngomong-ngomong bagian produksi, saya baru tahu, ternyata ada seorang perempuan yang memikat hati seorang Edwin. Perempuan manis yang beruntung memikat hati koko-koko setampan Edwin itu bekerja di bagian produksi. Saya kira, hanya kepala HRD kami dan dua staf lawas purchasing saja yang terpikat dengan ketampanan Edwin :P *ditoyor-Edwin*. Perempuan manis itu bukan perempuan yang melirik Edwin di foto terakhir (lihat di bawah, kalau mbak Ika mah semua pria dilirik :P).

Saya pikir, saya harus menyertakan nama Ika yang lain di tulisan ini. Di tulisan pertama saya tentang King Halim, saya menyebut teman-teman desainer yang kebanyakan direkrut dari Jogja. Ika Winarti, satu dari sekian desainer di sana, termasuk yang cukup beruntung pernah menangani desain-desain saya. Bekerja dekat dengan saya artinya, akan selalu ada kudapan gratis yang bisa Ika dapat. Saya masih ingat keluhan Ika pada menu-menu yang ia dapat di dorm pabrik tempat ia tinggal dengan teman-temannya yang lain. Telur triplek (sebutan mereka untuk telur yang didadar saking tipisnya) sering ia dapat saat makan malam atau sarapan pagi sebelum masuk pabrik. Cerita Ika tentang telur tripleknya itu membuat saya iba hingga saya sering memasukkan nama Ika di daftar ‘undangan-pesta-di-ruang-konseptor’ yang sering kami adakan saat jam istirahat.

Ada beberapa hal yang membuat saya kagum pada Ika. Selain apa adanya dan ceria, ia tak pernah sekalipun sombong. Saya ingat sekali disela Ika mengerjakan desain saya di meja kerjanya. Ia bercerita tentang ayahnya yang kocak sebagai tanda rindu akan keluarganya di Jogja. Ada perasaan sayang yang teramat dalam pada sosok ayahnya. Mendengarnya bercerita membuat saya tersenyum, ternyata jarak membuat ia semakin menyayangi keluarganya. Saya, yang saat itu masih tinggal bersama orang tua, belum paham arti sebuah rindu bagi seorang perantau.

KingHalim4-1

KingHalim4-2

-bersambung-

Lagos, 9 : 23 pm.

2 thoughts on “King Halim (bagian 4)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.