Jika bicara tentang mimpi, jelas saya masih punya satu kotak besar yang masih penuh. Puji syukur, beberapa mimpi besar sudah terbang dua tahun lalu. Salah satu yang terpenting sudah saya share di tulisan ini. Sebelum saya mulai bermimpi akan mimpi-mimpi besar lainnya, ijinkan saya flashback tentang mimpi sederhana yang saya punya sedari kecil. Mimpi pada sebuah kamar.
Dulu sekali, saat menginjak SMP saya mulai mendambakan sebuah kamar pribadi. Kamar yang tak perlu luas betul, tak perlu pendingin ruangan, cukup kasur sederhana dan meja belajar. Saya ingin sekali memiliki meja kayu berwarna gelap yang di atasnya bisa saya tata beberapa buku pelajaran, sebuah lampu belajar mungil berwarna putih, dan sebuah pigura. Mejanya menghadap jendela yang setiap kali hujan turun, rintikannya membuat suasana kamar semakin nyaman. Tepat di sebelah kiri jendela, ada beberapa poster yang tertata rapi. Poster klub Manchester United, foto kota Paris, hingga poster David Beckham, figur yang pengaruhnya besar sekali bagi saya dalam menggapai mimpi. Bila menjelang sore, ada radio kecil yang bisa menemani saya mengerjakan PR.
Saat SMP pula saya memiliki mindset apa itu ‘a dream life’ tiap melihat beberapa teman yang datang dari keluarga mampu dan memiliki prestasi bagus. Entah, saya terkesima dengan ritme harian kumpulan teman yang sepertinya selalu siap menghadapi hari-hari di sekolah. Yang setiap sore tiba, mereka mendapat tambahan ilmu dari lembaga bimbingan belajar. Dan saat pulang ke rumah setelah kursus, bisa menghabiskan sisa harinya dengan PR-PR untuk esok di kamarnya sendiri-sendiri. Saya membawa mindset sederhana pada kamar pribadi yang nyaman sebagai salah satu kriteria ‘a dream life’ hingga masa SMA. Beberapa kali saat ada tugas kelompok di rumah teman, saya hanya mampu membiarkan angan-angan terbang begitu saja kala melihat kamar-kamar mereka. Poster idola pun klub bola kesayangan yang tertempel rapi di dinding kamar, kasur yang begitu empuk, meja belajar yang nampak penuh dengan buku pelajaran dan komik, plus radio stereo yang bisa memutar lagu-lagu remaja. Belum lagi beberapa teman yang saat itu sudah memiliki seperangkat komputer. I never had that piece of ‘a dream life’ then. A piece berupa kamar pribadi.
Tidak, anda tidak salah baca. Saya tidak memiliki kamar pribadi sejak kecil hingga lulus SMA.
“Trus, dimana kamu tidur Jis? Dimana kamu belajar Jis?”
Di sofa. Di ruang tamu sembari menikmati acara televisi hingga tertidur. Belajar? biasanya di lantai di ruang tengah. Tak jarang pula di atas kasur di dalam kamar orang tua.
Jika saya tak salah ingat, a piece of ‘a dream life’ dari masa SMP itu sempat terwujud di tahun ketiga masa kuliah. Saat itu saya mulai berpikir, “I can’t stay like this, I need my own bedroom”. Adakadabra singkat cerita, saya berhasil memiliki kamar sendiri. Letaknya di lantai satu, bekas kamar kakak kedua yang sudah pergi untuk memulai keluarganya sendiri. I felt like I had a dream life then karena akhirnya saya memiliki ‘ruang’ pribadi. Meski kamar saya kecil, paling tidak saya memiliki kasur sendiri berupa matras yang cukup empuk meski berbahan kapuk. Bukan jenis spring bed. Dinding kamar dari plywood bercat putih menjadi tempat saya memajang poster Manchester United dan tentu saja, David Beckham. Ada pula televisi berukuran 14” yang menemani saya tiap kali selesai mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam.
Flashback macam begini, membuat saya teringat kembali untuk menghargai arti sebuah mimpi dan semoga, Anda tidak menganggap apa yang akan saya tulis setelah kalimat ini sebagai bentuk dari riya’. Bismillah.
“Saya memang pernah punya mimpi memiliki sebuah kamar sejak enam belas tahun yang lalu. Dan detik ini pun, saya seperti masih hidup dalam mimpi bahwa seorang Azis saat ini resmi memiliki sebuah rumah. Bukan hanya sebuah kamar pribadi”
***
Dua tahun yang lalu sesaat setelah berhasil menghadiahi kedua orang tua berdiri di depan Ka’bah, impian yang ingin saya gapai bukan berbentuk rumah. Impian saya saat itu masih seputar Perancis, seputar Paris. Saya ingat betul bagaimana dua puluh empat bulan yang lalu saya amat menggebu ingin menghabiskan apa yang dipunya untuk pergi ke Perancis. Untuk menyusuri Paris. Bukan hanya berbentuk liburan, melainkan menimba ilmu melalui kursus musim panas di bidang desain. Saya terus mencoba menguatkan diri pada fatwa “that I deserved” pun “you’re still young, go travel and enjoy your life”. Dengan pergi ke Perancis, saya menganggap impian itu macam investasi berbentuk traveling. Dan kursus desain di sana macam investasi berbentuk pendidikan. Setelah mempertimbangkan apa yang harus saya gapai lebih dulu, akhirnya saya memalingkan diri pada Paris dan memilih membeli rumah. Truly, it wasn’t an easy decision to say ‘hold’ to Paris.
Proses mencari hingga memiliki rumah meninggalkan pengalaman-pengalaman tersendiri bagi saya. Tentu saja saya tidak akan melupakan salah satu orang penting yang menyemangati untuk membeli rumah. Mas Andhi, yang seringkali saya sebut di blog ini, adalah orang yang menjadi cerminan pada apa yang harus diwujudkan di tahun ketiga di Afrika. Selain didukung mas Andhi, saya seakan mendapat dukungan virtual dari mas Fakhri dan bang Nuran. Cuitan mereka berdua di twitter dua tahun lalu tentang suramnya menyicil rumah via KPR karena rentan waktu yang cukup lama, menyadarkan saya untuk segera membeli selagi punya. Mas Fakhri dan bang Nuran mungkin kaget membaca ini, tapi benar adanya bahwa cuitan mereka tentang KPR mendorong saya untuk memalingkan diri lebih jauh pada indahnya Paris untuk sementara.
Saya dan mas Andhi memiliki pattern yang hampir sama. Kami membeli rumah pribadi setelah tiga tahun bekerja di sini. Bedanya ia mampu menyelesaikan rumah hanya dalam waktu sepuluh bulan. Sedang saya sepuluh kali dua. Dan Alhamdulillah, kami sama-sama membeli dengan bulk door payment dan menyicil sisanya. I couldn’t imagine jika saya harus mengambil rumah lewat KPR. Bukan bermaksud jumawa, tapi dua puluh bulan mengikat pinggang demi menyelesaikan rumah membuat saya beberapa kali harus berpuasa pada gaya hidup. Boro-boro mau beli jam tangan baru meski dua kali kebobolan ;P, memutuskan untuk membawa pulang seperempat kilo kale, sekotak blueberry, rasberry, dan blackberry, plus cake-cake dari restoran Lebanon di hari Minggu harus berpikir dua tiga kali :P. Eh tapi iya lo, merasakan dua puluh bulan dengan tagihan bulanan yang tidak sedikit mampu mengubah gaya hidup, hehe.
Proses mencari rumah yang cocok dengan selera dan kantong pun ternyata bukan perkara mudah. Dan untuk hal ini, saya harus berterima kasih pada sahabat saya, Ruli, yang bersedia menemani saya berburu rumah selama lima hari. Setiap siang kami keluar masuk kantor developer, membawa pulang brosur-brosur, hingga akhirnya mendapati tipe dan harga yang sesuai kemampuan. Saya sempat khawatir jika saja saat itu kami tidak menemukan rumah yang cocok karena saya hanya memiliki satu bulan di Indonesia. Tapi toh saya selalu percaya pada “a big thing will happen at the right time”. And luckily, rumah yang saya beli letaknya tak jauh dari rumah Ruli dan rumah Ayos & Winda, sahabat-sahabat dekat saya. Lengkap sudah :). Oh tentu saja, support dari orang-orang terdekat yang membantu saya selama proses cicilan tidak akan saya lupakan. Sohib, thank you sudah repot-repot setiap bulan keeping the record of my payment, dan kakak saya yang mau direpotkan setiap bulan dengan urusan administrasi :P, dan tak lupa doa kedua orang tua. Eh, sebentar, ini kok rasanya saya seperti habis dianugerahi award apa gitu, hahah kok tulisannya malah macam winning speech :P.
***
Rumah lunas, sekarang masuk tahapan selanjutnya yang harus dihadapi. Mengisi rumah sesuai dengan kepribadian dan tentu saja budget. Yang kedua, saya akui belum ada, haha. Tapi jika Anda menebak seperti apa impian saya akan interiornya, oh lupakan saja dulu kalau rumah saya ini tidak terlalu besar sepertinya inspirasi-inspirasi dari Pinterest ini jawabannya. Saya akan menulis lebih jauh tentang impian interior yang saya idam-idamkan di postingan terpisah. Tapi yang jelas, tidak jauh-jauh dari konsep monochrome, simple, clean and stylish.
Ah, Azis mulai bermimpi lagi :P
Oh, saya tahu saya terlalu banyak cuap-cuap di postingan ini but I hope you guys don’t mind for this beautiful quote :). Oh wait, now, it’s time to concentrate more to see Paris, right? Please don’t judge me wrong but I really had no interest to be backpacker there :P, I wanna go in a proper waaaaaay! hehe!
Let’s dream again!
Cheers,
Azis.