Saya termasuk seorang yang menikmati hampir segala jenis musik. Dari soft rock, ballad, pop, country, reggae, klasik, etnik, bahkan dangdut. Iya, dangdut (bukan dangdut jaman sekarang ya, dangdut tahun 80-90an :)). Asal mendapati lagu yang enak didengar, pasti saya nikmati. Mungkin hanya jenis musik metal yang ga nyambung buat saya, pernah sekali mencoba menikmati setiap dentumannya, tapi well, I couldn’t lie I didn’t enjoy it. Hiks.
Dari sekian jenis musik, bagi saya ballad adalah yang paling enak didengar, lebih-lebih jika lagunya macam ballad acoustic. Mungkin karena personality yang cenderung quite dan tak suka hingar-bingar, lagu-lagu ballad selalu memiliki tempat di iPhone. Ada satu lagu dari album 25 milik Adele yang langsung mengena saat pertama kali mendengarnya, A Million Years Ago. Lagu itu konon ditulis Adele untuk mengungkapkan bagaimana hal-hal sederhana bisa pudar karena hingar bingar kesuksesan. Orang-orang terdekat yang perlahan menjauh, sikap dan pandangan sekitar yang berubah, hingga rasa rindu pada seorang Ibu, sahabat dan udara bebas. Salah satu lirik yang paling mengena dari lagu itu adalah ini ;
Lirik di atas seakan menegaskan apapun yang kita pilih di dunia ini semua ada resiko dan harga yang harus dibayar.
Saya kerap merasakan hal yang sama. Memilih bekerja dan hidup di negeri orang, jauh dari semuanya. Mau tak mau saya harus menikmati tantangan dan pekerjaan di sini, merasakan pahit manisnya hidup sebagai perantau meski sering merasa sepi. Yang kerap berbangga hati tiap berhasil menyenangkan orang-orang tersayang dari jerih payah sendiri. To earn my stripe I’d have to pay and bear my soul.
Pagi ini saya bangun bersama kenyataan yang seringkali makes me restless. Umur bertambah dan kali ini menginjak angka yang semakin mendekati tiga puluh. Saya akui saya sering merasa restless dan insecure tiap kali bertambah umur. Seringkali merasa masih lari di tempat, belum berada di titik yang seharusnya, belum menginjak Eropa, menikah, dan bayang-bayang kelabu lainnya. Tapi sekarang, saya mencoba berdamai dengan diri untuk lebih dewasa baik dari sikap dan pemikiran. Tidak merasa resah berlebihan akan jalan masa depan dan berusaha hidup dengan rasa syukur dan keyakinan.
Bukankah bertambahnya umur adalah hadiah dari-Nya agar saya bisa merayakan hidup lebih panjang lagi? Bersama orang-orang penting yang telah Tuhan kirimkan untuk mewarnai hidup bak pelangi? :)
Meski sebelas Mei kali ini berjalan tanpa perayaan warna-warni, tapi saya amat bersyukur karena banyak hal manis yang saya terima sedari pagi. Ucapan-ucapan selamat dari sahabat-sahabat dekat, keluarga, rekan-rekan kerja, pun beberapa teman-teman di luar sana yang bahkan belum pernah bertatap muka. Dari ucapan jenaka kemarin hari (Yuriko!), wishes via WhatsApp (thank you mas Andhi, oh I heart your wishes Tre!), Line (oh Geng Sugeh :*), Twitter (mbak Ririn :*), Facebook yang jelas-jelas notif tanggal lahir sudah saya matikan dari bulan lalu tapi kok ya masih kebaca :|, serta wishes via telepon yang baru saja saya terima dari seorang yang pernah menjadi teman kerja di sini (thank you Aunty Funmi!).
Oh, and this beautiful piece for sure :)
It really, really means a lot for me. I wish them the same, a beautiful and blessed life ahead.
And I should say a ton of thanks to my parents yang telah melahirkan saya ke dunia. Merawat, membimbing, dan mendoakan setiap malam hingga tumbuh seperti ini. Semoga, anak ragilmu ini semakin cemerlang ya, agar bisa membahagiakan lebih sering lagi :) (oh Gosh, I know this last sentence is so tacky :P).
Salam,
Azis.
Lagos, 9 : 20 pm.
omggg!!!!!! suka bangedd zis kata2 ini… Saya kerap merasakan hal yang sama. Memilih bekerja dan hidup di negeri orang, jauh dari semuanya. Mau tak mau saya harus menikmati tantangan dan pekerjaan di sini, merasakan pahit manisnya hidup sebagai perantau meski sering merasa sepi. Yang kerap berbangga hati tiap berhasil menyenangkan orang-orang tersayang dari jerih payah sendiri. To earn my stripe I’d have to pay and bear my soul. 😱😱😍😍😍😍😍👍🏼👍🏼👍🏼
#senasib!
Aw thank you! ✌🏼️