Less celebration of Adha.

Lagos, 25 Oktober 2012, 9:15 pm.

Seharusnya hari ini saya pulang lebih awal untuk menyambut Idul Adha. Tapi sayang, saya masih diganggu oleh pekerjaan di bulan-bulan sibuk ini. Apalagi tadi sore sebelum pulang, ada jadwal meeting dadakan yang harus dihadiri besok. Ah, bagaimana bisa meeting di hari libur saya! Membuat rasa malas saya menumpuk merayakan Idul Adha kali ini.

***

Sampai di flat pukul 6.35pm tidak serta merta membuat saya santai. Saya bergegas menaruh tas kulit kerbau super berat di meja makan kemudian menuju kamar mandi mengambil air wudhu. Maghrib sudah lewat sepuluh menit.

Selepas sholat saya berpikir mau masak apa malam ini. Pikiran saya bercabang harus mendahulukan yang mana, antara mensortir target harian yang tercapai hari ini dan target esok yang saya tulis di sketchbook atau memasak menu untuk besok. Ya, besok sudah hari raya Idul Adha. Flatmate saya, mas Andhi baru tiba di Jakarta. Ia beruntung tahun ini bisa liburan pas dengan momen Idul Adha dan ini artinya saya disini harus merayakannya sendiri. Meskipun ada flatmate saya, mas Manito namun ia tinggal di flat bawah dan memilih menghabiskan waktunya sendiri. Masih sama dengan lagu yang selalu saya dengarkan di momen lebaran, ‘Selamat lebaran’ yang berisi takbir, malam ini paling tidak saya masih merasa terhibur dengan takbir yang rancak meskipun dari komputer tablet. Sungguh, sebenarnya anda beruntung jika masih bisa mendengarkan magisnya gema takbir langsung dari masjid.

Saya bergegas ke dapur dengan pikiran yang masih setengah bingung. Mau diapakan dua potong paha ayam yang terbeli seharga N780. Saya memutuskan untuk memasak paha ayam dengan bumbu instan yang saya bawa dari Indonesia. Entah bagaimana malam ini gairah yang saya bangun untuk memasak menu lebaran kemudian hangus. Bahkan untuk sekedar mengupas garlic, onion, pepper dan teman-temannya. Seharusnya saya mengolah puding coklat dan sate kambing seperti rencana semula karena paling tidak masih ada yang bisa dinikmati.

Sketchbook dengan catatan harian kembali saya buka sambil mengingat apa saja yang harus disiapkan untuk meeting sialan besok sore. Perut saya lapar. Ayam yang masih mandi didalam air mendidih dengan bumbunya masih belum bisa disantap karena saya masih harus memanggangnya sebelum siap dihidangkan. Saya pikir akan menyantapnya besok saja untuk menu Idul Adha.

Sepiring Indomie dengan nasi dan daging berbumbu sisa kemarin menjadi menu makan malam saya, ah kali ini saya terjebak oleh Indomie karena rasa malas.

Melewati malam takbiran dengan setumpuk target!
Sketsa…sketsa…
Makan malam seadanya, maklum tanggal tua :D

***

Lagos, 26 Oktober 2012. 5:45 pm.

Subuh sudah lewat dua puluh menitan.Tak lama setelah sholat subuh saya menuju meja makan. Masih melihat laptop, sketchbook dan kertas-kertas sketsa di atas meja membuat saya memalingkan pandangan sembari berpikir, “sebentar, apa yang salah dengan pagi ini?” Bukankah ini hari raya, biarkan saya menikmati momen ini dulu. Kenapa mesti berpikir pekerjaan terus”. Saya bergegas kembali ke dapur untuk memanggang ayam kemarin. Oven dengan api bawah sudah saya nyalakan dan membiarkan mereka kepanasan didalam sana.

Sebenarnya tak afdol jika belum makan daging kambing di Idul Adha kali ini, namun hmmm kenapa momen ini terjadi di minggu akhir bulan disaat duit saya menipis. Di Lagos harga daging kambing yang memang tinggi membuat saya memilih ayam sebagai pengganti hidangan Idul Adha kali ini. Beruntungnya saya masih bisa membeli sepotong cheese cake dan choco peanut cake untuk cemilan. Tak ada nastar, tak ada putri salju. Cukup wafer Loacker dan es krim Haagen-Dazs. Tak terlalu buruk bukan?

Tapi tidak, pagi ini belum juga bersahabat karena hujan. Ya, hujan membuat saya mengurungkan niat keluar rumah untuk sholat Ied. Pukul sembilan hujan agak mereda meski gerimis belum berhenti jatuh. Niat sholat Ied saya urungkan karena setau saya muslim di Lagos menyelanggaran sholat di lapangan dan tak pernah di masjid. Yah, saya harus ikhlas Idul Adha terasa seperti hari biasa yang lewat begitu saja. Sial! Kenapa pula hujan datang pagi ini.

Ayam panggang bumbu rujak.
Mari makan, sayang bukan sate atau gule kambing ya?! Bersyukur sajalah, Alhamdulillah.
Choco peanut cake saat masih utuh.
Monggo icip-icip.
Es krim Häagen-Dazs Belgian Chocolatenya…..Heavenly! Trust me fellas.
Pengganti putri salju dan nastar, Best ever wafer, Loacker!

Saya berharap bisa menikmati lebaran-lebaran lainnya tahun depan dengan lebih berkesan!

Jollof Rice, Nigerian Fried Rice

20121001-182724.jpg
Nasi goreng ala Afrika!

Saya masih ingat sensasi pertama menyantap olahan nasi ini ; aneh!. Rasanya tasty paduan antara asam dan sedikit manis.

Jollof rice merupakan salah satu resep andalan bangsa Nigeria yang mirip sekali dengan nasi goreng. Resep ini mulanya berasal dari Gambia, kemudian menyebar ke beberapa negara di Afrika Tengah seperti Liberia, Nigeria, dan Ghana. Etnis Wollof yang ditemukan di Gambia, Mauritania dan Senegal juga mengakui resep ini sebagai bagian dari menu asli mereka. Etnis Wollof menyebut Jollof Rice ‘Benachin’ yang artinya ‘satu pot’ sesuai dengan cara menyajikannya nasi ini didalam baskom besar.
Seperti yang saya sebut tadi rasa nasi ini agak masam, manis dan asin yang dihasilkan dari paduan tomat, peppeh (pepper ; cabe, orang Nigeria menyebutnya peppeh) dan bumbu-bumbuan. Bumbu yang digunakan untuk olahan nasi berwarna jingga kemerahan ini terdiri dari saus tomat, bawang putih, bawang merah, bumbu kari, nutmeg, garam, dan daun thyme. Cara memasaknya hampir sama dengan cara kita memasak nasi goreng. Bumbu yang dihaluskan ditumis dulu ke dalam minyak panas hingga harum kemudian nasi yang telah masak diuleni hingga bumbu merata.
Setahu saya mereka mengolah jollof rice dari beras lokal dan basmati. Mungkin jika saya merasakan olahan yang menggunakan beras basmati lidah saya bisa lebih bersahabat dibanding beras lokal. Beras lokal disini bijinya besar dan rasanya agak ampyang. Karena saya agak rewel untuk urusan makanan sehingga lidah saya semakin manja menolak rasa beras lokal. Bukannya jumawa, tapi beras basmati yang berasal dari India lebih enak karena teksturnya renyah dan bentuknya yang panjang dan ramping. Untuk makanan sehari-hari saya menggunakan beras basmati yang sangat mudah ditemukan disini semudah menemukan orang India yang bekerja di Nigeria. Harga beras basmati disini jauh lebih terjangkau dibanding di Indonesia. Untuk satu pak seberat lima kilo dihargai N1800 atau setara dengan Rp.108.000 (N1 = Rp.60). Di Indonesia anda bisa menemukan di supermarket yang menyediakan bahan makanan impor semacam Ranch Market seharga seratus ribu rupiah untuk satu kilo. Mahal ya? :)
Jollof rice biasa dihidangkan dengan beef ataupun ayam dengan stew yang rasanya hampir mirip rasa campuran krengsengan dan bumbu bali. Hanya porsi tomat yang melebur dengan bahan lainnya agak banyak sehingga rasanya cenderung lebih kecut. Stew olahan masyarakat disini murah akan minyak yang lagi-lagi membuat saya agak susah menyantap jollow rice. Adapula yang menyajikan nasi ini dengan pisang, ya, pisang segar. Rasanya? Bayangkan sendiri saja :)

20121001-183043.jpg
Ini porsi saya, sedikit sekali ya?
20121001-183128.jpg
Cara makan yang unik, nasi dimakan dengan pisang! Saya lebih memilih pisang saja lah :)

I love you Sunset!

20120930-122401.jpg

Bagi saya sore punya maknanya sendiri. Dia memiliki keindahan luar biasa. Bagai pergantian waktu yang menenangkan saat matahari berpamitan menyudahi tugas hariannya.

Pekerjaan di industri event memperkosa waktu saya. Baru bisa disebut bayi di industri ini, namun satu tahun bagi saya cukup untuk bisa menyimpulkan bahwa pekerjaan yang saya pilih ini luar biasa menguras tenaga. Tidak, bukan tenaga saja, pikiran pula. Saya melewati tahun pertama dengan kesibukan luar biasa di Afrika. Mungkin jika boleh melebih-lebihkan kesibukan saya saat ini lima kali lipat dibanding saat saya bekerja di Surabaya. Ya, saya cukup sibuk. Bahkan bisa dibilang terlalu sibuk.

Saya butuh waktu tenang saat pikiran mulai penat. Dan jawabannya selalu sama, sore hari. Saya tidak peduli dengan cara apa saya menikmati sore. Tidak perlu waktu lama. Tidak perlu duduk di sebuah restoran, memesan makanan penutup dan secangkir kopi. Tidak pula duduk diatas pasir pantai meluruskan kaki telanjang dan menghadap ke arah barat. Bahkan sekedar melihat dari jendela kamar saat matahari mulai turun itu saja sudah cukup. Menghela nafas sambil bersyukur bahwa hari masih cerah untuk mengejar apa yang saya sebut sebagai cita-cita.

Dari dulu saya mengagumi saat dimana matahari mulai tenggelam dan berubah jingga. Bulatan besar yang memiliki pandaran warna yang selalu cantik menyatu dengan langit. Tuhan sungguh Maha Besar.

Saya rindu warung, rindu makanannya!

Warung menurut saya memiliki kekhasannya sendiri. Dan makanannya bisa jadi salah satu makanan terenak di dunia.

Sejak tinggal di Lagos, beberapa kali saya tersiksa kerinduan itu. Pergi ke warung, memesan apa yang saya inginkan, merasakan atmosfer sekitar dan carut marut yang menyertainya. Sebuah epik kehidupan yang berbanding lurus dengan budaya, adat dan lingkungan. Saya merindukannya namun sial tak banyak menebus kerinduan itu dua bulan yang lalu saat pulang. Terlalu banyak menuruti ego dengan beberapa hal yang tentunya sekarang, saya sesali. Sungguh.
Saya tak menyediakan cukup waktu untuk sekedar hunting makanan-makanan warung yang sejatinya memiliki keunikannya sendiri. Di Lagos tak pernah sekalipun melihat apa yang saya anggap ‘warung’ meskipun beberapa tempat mungkin bisa dikatakan warung. Namun bagi saya warung di Indonesia tak ada tandingannya. Sebagai perantau munafik jika saya tak menyebutkan warung sebagai salah satu tempat khusus yang dirindukan. Terlebih makanannya. Di Indonesia, kita bisa leluasa menemukannya kemudian duduk. Memesan apa yang ingin kita pesan. Merasakan atmosfer yang selalu berbeda di setiap warung. Mengeluarkan lembaran rupiah untuk menu yang rata-rata masih murah.

Kerinduan-kerinduan itu kemudian mulai saya tepis. Berusaha keras membuat daftar makanan warung yang saya ingin saya makan, kemudian melampiaskannya dengan memasak. Jalan keluar apa lagi yang bisa saya patahkan jika bukan memasak sendiri makanan yang saya rindukan. Tidak seperti di Amsterdam restoran Indonesia menjamur, jangan berharap banyak menemukannya di Lagos. Lagos lebih banyak menyediakan restoran cina disamping kedai-kedia makanan yang menawarkan olahan lokal. Sesekali jika capai dan bosan dengan masakan sendiri saya menyempatkan ke restoran cina sekedar hanya memesan salah satu tom yam terenak yang mereka jual. Jelas tidak setiap hari karena jika iya, dompet saya akan sekarat karena harga yang mereka kenakan pada rata-rata porsi mereka tiga kali lebih mahal dari makanan restoran di Indonesia. Sejatinya memasak makanan di rumah jauh lebih hemat meskipun tingkat kecapaian dan kerepotan tidak mudah untuk beberapa makanan. Tapi kecapaian dan kerepotan itu akan pupus jika kerinduan akan makanan warung, seperti yang saya bilang, makanan terenak di dunia berhasil disantap. Meskipun minus atmosfer. Makanan yang seringkali saya rindukan, bukan saya saja, teman flat saya pun begitu seperti mereka ini.

Pecel.

Bisa makan pecel di Afrika? Wow!

Sebagai perantau dari jawa timur, saya tidak kangen pecel selama disini? Bullshit! Pecel salah satu makanan andalan yang ada dibarisan depan makanan favorit saya. Rasa bumbu yang unik dan paduan sayur mayur sebagai bahan dasar tidak akan pernah bisa saya hiraukan. Saya beruntung memiliki ibu yang jago masak dan berbaik hati membuatkan anak bungsunya bumbu pecel siap pakai meskipun sebelumnya saya malas menyesakkan bumbu ini dikoper. Bumbu pecel ini sungguh obat mujarab menepis kerinduan akan makanan warung dan ibu saya tentunya.

Daging sapi diselimuti bumbu balado. Nendang!

Suatu sore saya kerasukan rindu akan pecel. Saya dan flatmate kemudian setuju memasak menu pecel semirip mungkin dengan pecel yang ada di warung. Kami memasak daging bumbu balado sebagai temannya. Daging sapi berbalur bumbu merah keemasan yang pedas sangat cocok disandingkan dengan pecel. Kami menyertai sayuran untuk pecel kami minus daun kemangi yang memang susah didapat di Lagos. Timun juga. Kami lupa membelinya. Ini bentuk nasi pecel yang kami santap malam itu.
Menyantap menu Indonesia di negara orang itu salah satu bentuk syukur yang teramat besar. Jika tinggal di negara yang masih menyediakan restoran Indonesia lain cerita, tapi menikmati pecel di Afrika tentu luar biasa indahnya.

Sate.

Menemukan sate sebenarnya tak sulit di Lagos. Restoran cina dan beberapa restoran fushion milik lebanese umumnya selalu menyediakannya. Tentu dengan harga selangit. Di malam yang berbeda saya melontarkan ide sate sebagai menu makan malam bersama kedua flatmate saya. Sate ayam!

Sate ayam.

Memasak sate yang tidak terlalu sulit akhirnya kami lakukan. Memulai dengan menyiapkan daging ayam yang ditusuk rapi dibalur dengan sedikit garam, jeruk nipis untuk menetralisir bau amis, dan bahan andalan, kecap! Bahan makanan yang mustahil saya temukan di Lagos. Jangan berharap bisa menemukan kecap disini karena yang saya temukan hanya soy sauce buatan Hongkong ataupun Cina yang bentuknya cair dan lebih mirip kecap asin.

Olah sate ala-ala.
Bumbu pecel buatan ibu tercinta :) nyum! Mencampurnya dengan selai kacang untuk bumbu cocolan sate, rasanya? no doubt on it!
Lihat tampilan sate saya, seperti beli di warung khan? Hehehe.
I cant live without Bango! :p

Kecap kedelai macam kecap Bango? Forget it. Hanya satu tempat kecap kedelai tinggal, di kedutaan! Itupun harganya ampun. Orang-orang kedutaan menjualnya dengan harga tinggi. Itulah kenapa setiap saya pulang kecap selalu memiliki ruang dikoper saya. Saya tak akan bisa hidup di Afrika tanpa kecap. Sate ayam buatan kami dibakar diatas teflon karena kami tak memiliki panggangan. Membakar diatas teflon dengan kompor sedikit mengurangi nilai kenikmatannya dibanding dengan membakarnya di tungku arang seperti di warung. Bumbu sate didapat dari perpaduan selai kacang dan bumbu pecel saya. Rasanya! Wow! Pasta kacang mensubtitusi bumbu kacang yang biasa dibuat penjual sate dan rasanya tak buruk. Kreatif ditengah keterbatasan. Rasanya tetap enak! Mungkin karena bawaan mood dan rindu, semuanya jadi nyum! :)

Ayam goreng kering.

Nyum! Crunchy!
Damn this is hot!

Ayam goreng kampung yang biasa saya dapatkan di warung dekat rumah, ah yang ini murah dan memanjakan. Ayam yang dilumuri garam, lada, jeruk nipis dan cabe bubuk kemudian digoreng kering. Dimakan dengan nasi panas dan sambal! Wow! Serasa makan di warung sungguhan. Dan cara makan terenak, seperti ini! Pakai tangan :D

Ini cara makan ternikmat! Pakai tangan!

Tahu goreng plus sambal!

Ya tahu. Makan nasi panas dengan tahu dan sambal terasi nikmatnya mengalahkan menu restoran dengan aneka platting dan namanya yang aneh2. Makanan sederhana ini luar biasa dengan harga yang ‘mahal’.

Tahu, menu sederhana namun jadi ‘mahal’ jika anda hidup di Afrika!

Tahu di Lagos bisa saya beli seharga 140 naira alias 8400 rupiah sepotong ukuran 5 x 15 cm dengan tinggi hanya 4 cm. Mahal sekali dibandingkan tahu yang sering saya beli di pasar tradisional di Indonesia seharga 300 rupiah dan dua kali lebih tebal dibandingkan tahu disini. Ya, semakin jarang bahan makanan ditemukan harganya semakin tinggi. Sayangnya saya hanya menemukan tahu dan memupus harapan bisa menemukan temannya, karya kuliner terenak di dunia, apalagi jika bukan tempe.

Lebaran di Negeri Orang (lagi)

Selamat Lebaran!

Dulu, selepas subuh bapak selalu sibuk menyiapkan pakaian yang akan dipakai untuk ke masjid. Ibu sibuk menyeduh opor ayam, dan kakak memotong puding sama rata untuk kemudian dihantar ke tetangga. Rumah yang kecil selalu riuh. Suara takbir dari radio tua semakin menyemarakkan suasana pagi seperti tahun-tahun biasanya. Suasana itu kembali tidak saya rasakan dua kali. Tahun lalu saya melewati Idul Fitri di Abuja, ibukota Nigeria. Kota yang jauh lebih tenang dari Lagos.

***

Pagi ini saya bangun lebih awal. Selepas subuh mulai menyiapkan baju yang akan dikenakan untuk sholat Ied. Berusaha melakukan hal yang sama seperti apa yang Bapak saya lakukan. Keceriaan lebaran memang pantas dibangun pagi hari sesaat sebelum ke masjid. Sialnya tahun ini saya tidak menemukan baju koko. Sepertinya baju itu tertinggal di Indonesia. Entah saya ingin mengenakan baju baru pagi ini. Kemeja coklat susu lengan panjang dan celana panjang warna camel untuk bawahan. Saya tak memilih sarung seperti yang saya kenakan saat Idul Adha tahun lalu. Sekedar mengingat apa yang saya kenakan saat itu, baju koko putih tulang dipadu dengan sarung merah hati. Tak dinyana apa yang saya kenakan menjadi perhatian banyak orang. Saya baru tahu ternyata disini mereka tidak mengerti sarung, dan jika adapun sarung dipakai oleh wanita. Bukan pria. Pantaslah, saat itu hampir semua mata tertuju pada sarung saya. Tak hanya muslim Afrika, muslim dari negara Arab semacam Iran pun melihat pakaian yang saya kenakan.

Pukul delapan kami bertiga berangkat menuju lapangan tempat kami sholat Ied saat Idul Adha. Sebuah police camp yang memiliki beberapa lapangan yang amat luas. Kali ini kami tak ingin mengambil resiko terlewat momen sholat Ied. Tahun lalu saya kurang beruntung, terlambat datang ke masjid akbar Abuja. Tahun pertama saya tidak merayakan lebaran di Lagos, melainkan di ibukota Abuja. Saat itu saya dan mas Andhi tak menyangka sholat Ied dimulai lebih awal dari biasanya. Kita tersadar saat melihat lautan manusia semburat ke arah berlawanan. Ah! Sedih rasanya. Melewati lebaran pertama di negeri orang dan tidak bisa sholat Ied. Pagi itu hujan rintik-rintik menambah kesedihan saya merayakan lebaran tanpa keluarga.

Namun, alhamdulillah kesedihan tahun lalu terbayarkan tahun ini. Sholat Ied disini dimulai amat siang, tidak seperti di Indonesia yang biasanya dimulai pukul enam – setengah tujuh pagi, disini, sholat Ied dimulai pukul sepuluh pagi. Untung cuaca bersahabat. Tak terik seperti biasa. Mendung dan teduh. Takbiran dikumandangkan sebelum sholat dimulai meski nadanya berbeda. Nada takbir surau-surau di Indonesia jauh lebih indah. Tahun ini sholat Ied nya amat meriah. Jauh lebih ramai dari sholat Ied saat Idul Adha. Saya cukup tersentuh dengan apa yang saya lihat disini, berbagai macam rupa, warna kulit, strata, semuanya menyatu di satu tempat untuk merayakan hari yang kita sebut puncak kemenangan. Sebuah selebrasi tahunan yang menyentuh. Saya mengamati beberapa anak kecil semangat datang bersama orang tua mereka masing-masing. Sungguh berwarna.

Suasana sholat Ied di Police Camp.
Anak afrika mengenakan peci saat sholat Ied.
Orang Afrika menyukai pakaian vibrant! :)
Mas Andhi dan mas Manito berfoto dengan Muhammad, security perusahaan, selepas sholat Ied.

Setelah sholat Ied selesai kami langsung menuju rumah. Pikiran kami hanya makan! Ya, makan. Opor ayam yang sudah kami masak sejak tadi malam siap disantap. Apalagi dua keik yang kita beli kemarin. Buah untuk dessert pun ada. Ah! Makan makan dan makan! Tradisi ini hampir sama seperti apa yang biasa saya lalui setiap lebaran dirumah. Mulai memakan opor setelah selesain sholat, bedanya tahun ini saya tak menyertakan puasa sunnah sebelum sholat Ied.
Opor ayam kali ini lebih terasa nikmat dibanding tadi malam, mungkin karena bumbunya sudah kawin dengan ayam dan santannya. Menikmatinya dengan sambal terasi dan serundeng benar-benar mengingatkan akan masakan Ibu yang super maknyus. Sungguh paduan yang sempurna meskipun basicly saya tak terlalu suka makan makanan bersantan. Setelah opor selesai saatnya menyerbu dua jenis cakes, cheese cake dan triple chocolate cakes. Dua keik itu benar-benar memanjakan lidah bagi penggemar dessert seperti saya. Cheese cake medium yang kami beli seharga N3300 atau sekitar 198 ribu rupiah (1 naira = 60 rupiah) rasanya tak terlalu eneg. Tak seperti cheese cake biasa yang kadang terlalu creamy. Untuk keik coklat lapis tiga sama, rasanya seimbang. Tak terlalu memuakkan seperti keik coklat biasa. Yang ini kami beli seharga N2200 atau sekitar 132 ribu rupiah untuk ukuran 30 x 20 cm. Mereka tidak cukup murah tapi worth untuk disantap di hari raya. Lagipula mereka berdua sesuai selera saya, keik yang tak terlalu manis untuk ukuran dessert. Perfect!.
Apakah kami berhenti sampai di keik? No! Kami melanjutkannya dengan mint ice cream limited edition dari Walls produksi Perancis. Es krim yang kami beli seharga N2000 cukup mahal untuk ukuran satu setengah liter. Namun kembali lagi, ini lebaran! ;) no worries for three of us. Coklat menjadi pelengkap lebaran sebagai camilan yang mantap. Sepanjang hari ini kami bertiga hanya ingin menikmati rumah dan terus makan! :) Benar-benar menikmati hari libur yang terbatas dengan makan.

Opor ayam untuk lebaran tahun ini! Yaiy! Yummy!
Triple choco cake!
Tiga lapis coklat yang yummy!
Cheese cake :)
Cheese cake, anyone :) ?
Mint ice cream dari Walls.
Limited edition! Heavenly!
Dessert, jelly dan buah! Segar!
Coklat! Camilan andalan :)
Sup sayur, empal dan telur asin untuk makan malam :)

Karena kami tak memasak opor dalam porsi besar, sore ini saya memasak menu paling mudah untuk makan malam dari bahan makanan yang masih ada di lemari es. Dan saya memilih sup sayur disantap dengan empal sapi yang saya masak basah, tanpa digoreng, dan…..telur asin! Ya, telur asin yang saya bawa hanya sepuluh biji. Makan malam yang lengkap! :) Sungguh bersyukur bisa menikmati makanan yang kami olah dari kekayaan kuliner Indonesia untuk lebaran tahun ini! Alhamdulillah.
Tahun lalu tidak ada perayaan karena saya dan mas Andhi berada di Abuja untuk menyelesaikan pekerjaan interior rumah pribadi menteri penerbangan Nigeria. Tahun ini saya, mas Andhi dan mas Manito sepakat merayakan lebaran lebih meriah meskipun tak ada tradisi ‘unjung-unjung’ ke tetangga. Bagaimana ‘unjung-unjung’ jika tetangga satu flat kami tidak ada yang muslim. Tapi tak apalah, menikmati lebaran di rumah juga tidak kalah asik. Terlebih saat kami meminta maaf pada keluarga melalui telepon kami masing-masing. Itu momen sederhana yang cukup menyentuh. Meminta maaf pada orang tua meskipun tanpa tradisi sungkeman. Dan saya belajar banyak saat harus hidup jauh dari keluarga. Salah satunya bisa lebih terbuka mengungkapkan rasa sayang terhadap keluarga yang dulu acap kali hanya disimpan sendiri.
Saya bersyukur dan menganggap itu sebuah hikmah pendewasaan diri.

Lebaran oh lebaran. Momen indah yang dirayakan setiap tahun oleh umat muslim diseluruh dunia. Kita bersama merayakan dengan cara dan keunikan masing-masing. Mungkin ada beberapa orang yang tak seberapa antusias menyambut lebaran, apapun alasan yang melatar belakanginya, namun, lebaran tetaplah lebaran. Momen dimana kita sebagai manusia sudah seharusnya mensyukuri seluruh nikmat alam yang kita dapatkan sepanjang tahun. Tuhan benar-benar Maha Baik.

Happy Eid Mubarrak for all over moslems around the world! 
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham! :)

Ramadhan Kembali Berakhir di Lagos.

Sepuluh hari di Indonesia dan sisanya terlewati di sini, Lagos. Tahun ini saya kembali mengakhiri bulan ramadhan di luar. Tak terasa bulan puasa indah ini berpamitan pelan-pelan.

Buka puasa untuk terakhir kalinya sudah dilewati setengah jam tadi. Delapan belas Agustus. Besok lebaran. Ya! Lebaran.

Pagi tadi selepas subuh saya masih bertugas merampungkan pekerjaan hingga pukul dua siang. Set desain untuk sebuah peragaan fesyen anak-anak. Di Lagos libur lebaran sangat terbatas. Dua tahun lalu saya sempat merasakan libur seminggu saat masih di Surabaya, sekarang? Saya hanya dapat sehari setelah hari raya.

Hari ini saya pulang lebih awal seperti hari Sabtu biasanya. Itu berarti memiliki kesempatan untuk berbelanja bahan makanan untuk menu lebaran. Bersama flatmates saya menuju Goodies, supermarket dekat kantor. Ayam, salad dressing, beberapa snack, beberapa minuman, dan sayuran. Sepulang dari venue tadi siang kami menyempatkan mampir membeli dua buah cakes di tempat favorit kami, The Chocolate Royale di Victoria Island. Satu buah Vanilla Cheese Cake dan Triple Chocolate Cake untuk memeriahkan perayaan lebaran yang hanya akan dihabiskan dirumah.

Setibanya di rumah kami langsung memasak untuk buka puasa terakhir. Kami menginginkan menu yang lumayan lengkap dari biasanya. Hitung-hitung pesta kecil sebelum esok. Kami pun membagi tugas malam ini. Flatmate-ku, mas Andhi, memulai dengan opor. Ya, kami sepakat membuat opor ayam untuk disantap esok pagi setelah sholat Ied. Temannya? Tentu kami tak akan melewatkan teman terbaik dari opor, sambal dan kali ini sambal terasi. Sebagai orang Indonesia yang jauh dari rumah, sambal merupakan salah satu obat mujarab melumpuhkan kerinduan akan masakan rumah. Dan membawa terasi sama pentingnya membawa paspor, menurut saya. Rasa sambal kali ini nendang, komposisi terasi, garam, gula, bawang merah, bawang putih, tomat dan cabe rawit Afrika yang terkenal membakar lidah amat pas.

Ayam rempela pedas.
Salad.
Dressing.

Saya ingat satu hal! Kerupuk udang yang saya bawa setahun lalu masih tersisa beberapa. Goreng! Ini tugas mas Manito. Dan ah indahnya, tahun ini saya memiliki serundeng kelapa buatan ibu tercinta. Semakin semangat menyambut lebaran. Satu setengah jam masakan untuk malam ini selesai. Kami menunggu buka puasa. Saya sibuk mengambil gambar untuk blog ini, passion saya selain mendesain.

Akhirnya adzan berkumandang dari salah satu aplikasi islam yang terinstal di iPad. Mendengarkan adzan dari perangkat pintar itu tentu berbeda dengan mendengar kumandang live seperti yang selalu saya dapatkan selama di Indonesia. Saya harus kreatif mencari cara agar tak kalah dengan keterbatasan. Kebetulan flat saya tak dekat dengan masjid, dan juga di Lagos saya lebih mudah menemukan gereja daripada masjid. Adzan telah berkumandang artinya puasa berakhir. Puasa terakhir telah berakhir malam ini. Kami bertiga menyantap lahap satu persatu menu yang tertata rapi di meja. Baguette, salad, ayam dan rempela hati pedas sisa kemarin, sambal terasi yang menggoda, kerupuk udang dan teh manis hangat. Oh Tuhan, apa ada nikmat berbuka puasa di luar negeri yang lebih indah daripada ini? Kami benar-benar harus bersyukur. Harus.

Kami memulai buka puasa dengan appetizer, Baguette yang terpotong rapi beserta cocolan yang creamy. Mas Andhi membuatnya dari campuran mentega, bawang putih, garam dan mayonaise. Akhir-akhir ini kami kegandrungan Baguette terlebih mas Andhi. Sejak kepulangannya dari Spanyol dan Belanda kemarin, dia keranjingan menu Eropa. Opor yang semula direncanakan akan dimakan esok ternyata tak bertahan lama. Kami tak kuasa mencicipinya. Apalagi rasanya kawin dengan pedasnya sambal terasi. Kerupuk dan serundengnya menjadi pelengkap yang sempurna. Kurma yang seharusnya menjadi takjil, malah saya makan sebagai pencuci mulut. Bagaimana nasib  salad? Kami tak kuasa menyantapnya malam ini dan terpaksa harus disimpan di lemari es untuk besok.

Baguette.
Garlic creamy dressing.
Serundeng buatan Ibu tercinta.
Mas Andhi beraksi dengan sambal terasi.
Terasi, sama pentingnya seperti paspor :)
Resep sambal terenak di dunia, Terasi! :)
Kerupuk udang, pelengkap opor yang maksimal :)
Teh manis hangat, pasangan makan ternikmat.
Bukan sebagai takjil, malah menjadi pencuci mulut :)

Dan Alhamdulillah. Tuhan Maha Besar. 
Kami sadar ini malam istimewa. Malam takbiran. 

Tak ada suara takbiran. Menyedihkan. Tapi saya tak akan membiarkan larut dengan keterbatasan. Mungkin ini kedengaran norak, tapi memainkan lagu Selamat Lebaran dari Ungu bukan pilihan buruk. Kami mendengar beduk di aransemen mereka, beserta intro yang kami rindukan ‘…Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…..’. Saya merinding. Kesedihan dalam hati tak bisa saya acuhkan. Saat di Indonesia surau-surau berlomba mengumandangkan takbir. Gema takbir yang selalu magis menandakan kita harus ikhlas melepas ramadhan. Saya ingat Bapak saya selalu mengumandangkannya di musholla dekat rumah. Ah, saya benar-benar rindu suasana itu. Tapi tak apa, takbir dari iPad cukup menghibur.

Selamat Lebaran dari Ungu.
Aplikasi andalan untuk mendengarkan adzan.

Setelah menyantap menu buka puasa kami pun mulai santai sambil mengobrol renyah. Tak jarang kadang membahas keunikan perayaan lebaran di Indonesia yang tiada duanya.
Esok saya akan merayakan lebaran di Lagos untuk kedua kalinya. Lebaran yang tentunya atmosfernya berbeda dari kampung halaman. Jauh dari hingar bingar tradisi. Tradisi dan budaya Indonesia yang melebur didalam momen semagis lebaran memang tak akan pernah bisa ditemukan ditempat manapun di belahan dunia ini. Tradisi dan budaya itu murni lahir dari sejarah. Dan takkan pernah bisa terbeli. Ada kesedihan karena tahun ini tidak bisa merasakan atmosfer malam takbiran, tetapi saya tetap harus tegar karena perjuangan dalam hidup selalu memiliki harga yang harus dibayar.

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar…..Lailahaillallah Huallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…

Selamat lebaran!
Selamat bagi seluruh umat Islam di belahan dunia manapun.