
Sepuluh hari di Indonesia dan sisanya terlewati di sini, Lagos. Tahun ini saya kembali mengakhiri bulan ramadhan di luar. Tak terasa bulan puasa indah ini berpamitan pelan-pelan.
Buka puasa untuk terakhir kalinya sudah dilewati setengah jam tadi. Delapan belas Agustus. Besok lebaran. Ya! Lebaran.
Pagi tadi selepas subuh saya masih bertugas merampungkan pekerjaan hingga pukul dua siang. Set desain untuk sebuah peragaan fesyen anak-anak. Di Lagos libur lebaran sangat terbatas. Dua tahun lalu saya sempat merasakan libur seminggu saat masih di Surabaya, sekarang? Saya hanya dapat sehari setelah hari raya.
Hari ini saya pulang lebih awal seperti hari Sabtu biasanya. Itu berarti memiliki kesempatan untuk berbelanja bahan makanan untuk menu lebaran. Bersama flatmates saya menuju Goodies, supermarket dekat kantor. Ayam, salad dressing, beberapa snack, beberapa minuman, dan sayuran. Sepulang dari venue tadi siang kami menyempatkan mampir membeli dua buah cakes di tempat favorit kami, The Chocolate Royale di Victoria Island. Satu buah Vanilla Cheese Cake dan Triple Chocolate Cake untuk memeriahkan perayaan lebaran yang hanya akan dihabiskan dirumah.
Setibanya di rumah kami langsung memasak untuk buka puasa terakhir. Kami menginginkan menu yang lumayan lengkap dari biasanya. Hitung-hitung pesta kecil sebelum esok. Kami pun membagi tugas malam ini. Flatmate-ku, mas Andhi, memulai dengan opor. Ya, kami sepakat membuat opor ayam untuk disantap esok pagi setelah sholat Ied. Temannya? Tentu kami tak akan melewatkan teman terbaik dari opor, sambal dan kali ini sambal terasi. Sebagai orang Indonesia yang jauh dari rumah, sambal merupakan salah satu obat mujarab melumpuhkan kerinduan akan masakan rumah. Dan membawa terasi sama pentingnya membawa paspor, menurut saya. Rasa sambal kali ini nendang, komposisi terasi, garam, gula, bawang merah, bawang putih, tomat dan cabe rawit Afrika yang terkenal membakar lidah amat pas.



Saya ingat satu hal! Kerupuk udang yang saya bawa setahun lalu masih tersisa beberapa. Goreng! Ini tugas mas Manito. Dan ah indahnya, tahun ini saya memiliki serundeng kelapa buatan ibu tercinta. Semakin semangat menyambut lebaran. Satu setengah jam masakan untuk malam ini selesai. Kami menunggu buka puasa. Saya sibuk mengambil gambar untuk blog ini, passion saya selain mendesain.
Akhirnya adzan berkumandang dari salah satu aplikasi islam yang terinstal di iPad. Mendengarkan adzan dari perangkat pintar itu tentu berbeda dengan mendengar kumandang live seperti yang selalu saya dapatkan selama di Indonesia. Saya harus kreatif mencari cara agar tak kalah dengan keterbatasan. Kebetulan flat saya tak dekat dengan masjid, dan juga di Lagos saya lebih mudah menemukan gereja daripada masjid. Adzan telah berkumandang artinya puasa berakhir. Puasa terakhir telah berakhir malam ini. Kami bertiga menyantap lahap satu persatu menu yang tertata rapi di meja. Baguette, salad, ayam dan rempela hati pedas sisa kemarin, sambal terasi yang menggoda, kerupuk udang dan teh manis hangat. Oh Tuhan, apa ada nikmat berbuka puasa di luar negeri yang lebih indah daripada ini? Kami benar-benar harus bersyukur. Harus.
Kami memulai buka puasa dengan appetizer, Baguette yang terpotong rapi beserta cocolan yang creamy. Mas Andhi membuatnya dari campuran mentega, bawang putih, garam dan mayonaise. Akhir-akhir ini kami kegandrungan Baguette terlebih mas Andhi. Sejak kepulangannya dari Spanyol dan Belanda kemarin, dia keranjingan menu Eropa. Opor yang semula direncanakan akan dimakan esok ternyata tak bertahan lama. Kami tak kuasa mencicipinya. Apalagi rasanya kawin dengan pedasnya sambal terasi. Kerupuk dan serundengnya menjadi pelengkap yang sempurna. Kurma yang seharusnya menjadi takjil, malah saya makan sebagai pencuci mulut. Bagaimana nasib salad? Kami tak kuasa menyantapnya malam ini dan terpaksa harus disimpan di lemari es untuk besok.









Dan Alhamdulillah. Tuhan Maha Besar.
Kami sadar ini malam istimewa. Malam takbiran.
Tak ada suara takbiran. Menyedihkan. Tapi saya tak akan membiarkan larut dengan keterbatasan. Mungkin ini kedengaran norak, tapi memainkan lagu Selamat Lebaran dari Ungu bukan pilihan buruk. Kami mendengar beduk di aransemen mereka, beserta intro yang kami rindukan ‘…Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…..’. Saya merinding. Kesedihan dalam hati tak bisa saya acuhkan. Saat di Indonesia surau-surau berlomba mengumandangkan takbir. Gema takbir yang selalu magis menandakan kita harus ikhlas melepas ramadhan. Saya ingat Bapak saya selalu mengumandangkannya di musholla dekat rumah. Ah, saya benar-benar rindu suasana itu. Tapi tak apa, takbir dari iPad cukup menghibur.


Setelah menyantap menu buka puasa kami pun mulai santai sambil mengobrol renyah. Tak jarang kadang membahas keunikan perayaan lebaran di Indonesia yang tiada duanya.
Esok saya akan merayakan lebaran di Lagos untuk kedua kalinya. Lebaran yang tentunya atmosfernya berbeda dari kampung halaman. Jauh dari hingar bingar tradisi. Tradisi dan budaya Indonesia yang melebur didalam momen semagis lebaran memang tak akan pernah bisa ditemukan ditempat manapun di belahan dunia ini. Tradisi dan budaya itu murni lahir dari sejarah. Dan takkan pernah bisa terbeli. Ada kesedihan karena tahun ini tidak bisa merasakan atmosfer malam takbiran, tetapi saya tetap harus tegar karena perjuangan dalam hidup selalu memiliki harga yang harus dibayar.
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar…..Lailahaillallah Huallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…
Selamat lebaran!
Selamat bagi seluruh umat Islam di belahan dunia manapun.
selamat Lebaran Aziz, #malu ada foto aku disitu heheheee….
Selamat lebaran! Gapapa, biar eksis :D