Ranukumbolo Accomplished {Day 3, Finally}

Indonesia. I proud you!
Indonesia. I proud you!

Pagi itu kedua mata saya silau meski tenda menaungi sepanjang malam. Sinar matahari membangunkan kami berlima di suatu pagi terakhir di Ranukumbolo.

***

Kami bangun sekitar pukul sembilan. Pagi itu matahari amat cerah sedang hawa sekitar masih terlalu dingin. Bangun tidur dari tenda mendapati danau yang tenang dengan kabut diatasnya itu istimewa. Langit biru tak kalah cerah. Kabut yang menggumpal diatas danau membuat saya buru-buru mengarahkan kamera seakan tak ingin melewatkan kesempatan mengabadikan Ranukumbolo. Pagi itu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dibanding dengan pagi yang selalu saya lewati di Lagos. Tenang dan segar tanpa beban-beban pekerjaan yang biasa menggumpal di pikiran.

Tak lama setelah bangun, saya sudah ditagih Ayos menu apa yang akan menjadi sarapan kami berlima. Itu bukan pertanyaan aritmatika yang susah dijawab :P, karena saya sudah memiliki kunci jawabannya. Saya mencari spaghetti sembari berusaha menemukan saus bolognese siap pakai bersama Winda. Maya dengan ikhlasnya menuju danau untuk mencuci peralatan sisa memasak semalam. Setelah mendapati peralatan masak yang sudah bersih, saya berlagak sebagai koki gadungan. Saya memulai dengan merebus air yang diambil Maya dari danau, sementara Winda menyiapkan saus bolognese siap pakai. Tak lama setelah selesai merebus spageti, Winda kembali menyibukkan diri memotong dadu keju cheddar sebagai pelengkap sarapan kami. Saya tak akan pernah lupa kehebohan yang kami ciptakan setelah sarapan kami matang. Maya dan saya menciptakan sedikit kecongkakan dengan membandingkan sarapan kami dengan ‘tetangga’ yang hanya memasak mie instan. Sepertinya kami memang kerasukan ‘kesogehan’ Ruli hingga tak malu menyombongkan sarapan spaghetti abal-abal. Ah tapi saya benar-benar menikmati gelar tawa pagi itu.

***

Pukul sebelas kami mulai membereskan barang yang kami bawa kedalam ransel masing-masing. Kami beranjak meninggalkan Ranukumbolo. Kali ini raga kami tak disiksa dengan beban ransel karena dua potter yang disewa Maya. Kami menuju arah pulang.

Selalu ada kesempatan untuk melakukan salah satu sesi menarik dari setiap perjalanan. Apalagi jika bukan berfoto ria di sepanjang jalan setapak yang kami lewati untuk turun kembali ke Ranupani. Beberapa kali kami berhenti untuk berfoto. Salah satu foto favorit saya adalah saat kami berempat mengambil gambar dengan latar belakang Semeru. Perjalanan pulang kami lewati dengan perasaan lega. Formasi kami masih sama, Ayos dan Winda memimpin di depan sedang Maya, Ruli, saya dibelakang. Menapaki jalan setapak dibumbui humor Ruli dan Maya benar-benar mewarnai perjalanan pulang. Banyak hal yang kami ceritakan meski napas sudah ngos-ngosan. Saat itu kami masih saja bertemu (lagi) dengan tetangga yang kebagian spageti tadi. Maya kemudian membuat saya tertawa dengan asumsinya bahwa mereka sengaja dekat dengan kita agar dapat jatah makan. Hehehe it was so funny May!. Perjalanan pulang terasa lebih cepat daripada saat kami mendaki. Kami tiba kembali di Ranupani sekitar pukul tiga sore.

***

Setelah meregangkan otot-otot kaki dan memanjakan perut dengan makan siang di warung setempat, kami buru-buru kembali ke rumah Bapak Sinambela, tempat kami menginap sebelumnya. Kami membersihkan kaki dan mengecek kembali isi ransel sebelum sebuah hardtop merah mengangkut kami berlima untuk kembali ke kota. Dan (lagi-lagi) kami satu hardtop dengan tetangga (setia) kami. Oh tidak, bukan hanya satu hardtop, satu angkot pula menuju terminal hehehe.

Pukul empat sore lewat kami berlima sudah di dalam bis menuju Surabaya. Perjalanan kembali menuju stasiun sedikit mencemaskan. Sepertinya Maya dan Winda kurang beruntung tak bisa mengejar kereta yang akan membawa mereka kembali pulang. Sore itu perjalanan dari Malang ke Surabaya sedikit macet sehingga mengharuskan Maya dan Winda merelakan tiket kereta eksekutif hangus begitu saja. Sesampainya di terminal, Maya dan Winda dibantu Ayos sibuk mencari penerbangan terakhir yang bisa membawa mereka ke Jakarta malam itu juga. Setelah berkutat hampir satu jam di terminal Bungurasih yang sibuk dengan berbagai rupa manusia, akhirnya Maya dan Winda berhasil mendapat last flight ke ibukota. Tentu harga penerbangan sedikit membuat mereka berdua mengerutkan dahi.

Kami akhirnya berpisah di terminal Bungurasih. Maya dan Winda harus kembali ke Jakarta sementara Ayos, saya dan Ruli kembali menuju kos. Malam itu saya agak berat menjabat tangan Maya dan Winda dan berandai kebersamaan kami berlima bisa lebih lama hehehe. Malam itu saya sadar satu hal. Menikmati pagi dengan angin semilir, danau yang tenang, langit biru, teman-teman yang menyenangkan adalah quality time yang perlu dijaga. Thank you guys!

Simply breathtaking.
Simply breathtaking.
Lovely morning at Ranukumbolo.
Lovely morning at Ranukumbolo.
Beautiful.
Beautiful.
Sesaat sebelum packing!
Tenda kami.
Maya ada paparazi! hehehe.
Maya ada paparazi! Eh disini Maya seperti ibu kos ya hehehe.
Winda was cooking sauce for our spaghetti!
Winda was cooking sauce for our spaghetti!
Our breakfast that time.
Our breakfast that time.
Maya dan saya menggigil tapi tetap gaya, hehehe.
Maya dan saya menggigil tapi tetap gaya, hehehe.
Ruli - Winda - Maya.
Ruli – Winda – Maya.
Ayos dan Winda. So sweet.
Ayos dan Winda. Tsah.
Foto perjalanan pulang.
Foto perjalanan pulang.
Winda - Maya.
Winda – Maya.
Foto! Wajib nih yang beginian.
Foto! Wajib nih yang beginian.
Foto sama abang-abang potter-nya Maya.
Foto sama abang-abang potter-nya Maya.
Wow we could see clouds! Amazing!
Wow we could see clouds! Amazing!
Ayos - Winda - Ruli - Maya. Like this picture.
Ayos – Winda – Ruli – Maya. Like this picture.
Ayos - Winda - Ruli dan saya.
Ayos – Winda – Ruli dan saya.
Semeru.
Semeru.
Yah bertemu tetangga kita lagi May!
Yah bertemu tetangga kita lagi May!
Semakin dekat dengan Ranupani. Kami kembali.
Semakin dekat dengan Ranupani. Kami kembali.
Tiba waktu pulang. Kami menuju rumah Bapak Sinambela sebelum benar-benar meninggalkan desa Ranupani. That day was so bright, wasn't it?
Tiba waktu pulang. Kami menuju rumah Bapak Sinambela sebelum benar-benar meninggalkan desa Ranupani. That day was so bright, wasn’t it?
Sampai di Ranupani ketemu ini. Yummy! Santap!
Sampai di Ranupani ketemu ini. Yummy! Santap! For sure tanpa saus ‘tomat’ merah dibelakangnya hehehe.
Naik ini...hmmm... adventurous!
Naik ini…hmmm… adventurous!
Maya dan Winda. Lelah.
Maya dan Winda. Lelah.
Lihat ekspresi Maya. Apakah ia kesal masih satu angkutan dengan 'tetangga' kita? Saya mengambil ini saat kami dalam perjalanan pulang menuju terminal bis yang akan membawa kita kembali ke Surabaya.
Lihat ekspresi Maya. Apakah ia kesal masih satu angkutan dengan ‘tetangga’ kita? Saya mengambil ini saat kami dalam perjalanan pulang menuju terminal bis yang akan membawa kita kembali ke Surabaya.

Rasanya saya tak akan kapok mendaki sepuluh kilometer menuju dan sepuluh kilometer lagi meninggalkan Ranukumbolo. Semuanya worth it. Tahun depan? Rinjani buka pilihan buruk bukan? Pertanyaannya? Kuatkah kami? :P

Ranukumbolo Accomplished {Day 2}

Pagi sudah datang. Hari kedua untuk Ranukumbolo.

Saya terbangun dengan dada sesak. Tulang-tulang saya sepertinya marah karena beban lima belas kilo kemarin. Saya tak pernah merasakan sakit di dada yang cukup menyiksa seperti pagi itu. Hawa dingin yang masih saja tak mau pergi menambah remuk tulang dan persendian. Saya berusaha bangun meski tulang belakang saya sepertinya juga marah besar.
Saya melihat Ayos dan Ruli masih terlelap disamping saya, Maya dan Winda pun begitu di kamar mereka. Pukul tujuh pagi kami semua benar-benar bangun kemudian sibuk mengatur kembali ransel-ransel kami. Beberapa potong roti, Energen dan kopi tak lupa kami santap agar memiliki cukup tenaga untuk kembali menyusuri sepuluh kilometer. Kali ini kami tak ingin menghabiskan energi berlebih seperti hari pertama dengan ransel-ransel super berat. Maya bergegas mencari potter yang akan membantu membawakan ransel terberat sampai di Ranukumbolo. Hawa dingin sudah mulai mereda saat sinar mentari meninggi. Pagi itu langit semakin cerah.

Pukul delapan kami kembali semangat. Hari kedua kami lewati dengan awal yang mudah. Jalan setapak yang memiliki arah yang jelas menuntun kami menuju setiap pos di depan. Ternyata kemarin kami memang melewati jalur yang salah. Pantas saja tak ada satupun jalan setapak yang menandakan kami berada di jalur yang benar. Pagi itu formasi kami masih sama, Ayos dan Winda memimpin di depan, saya di barisan ketiga sedang Maya dan Ruli di barisan selanjutnya. Perjalanan menuju pos pertama memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam dengan jarak sekitar empat kilo. Saya, Maya dan Ruli cukup kewalahan menyusuri tanjakan dan landaian naik turun yang menguras energi. Ayos dan Winda sudah berada di depan. Saya berusaha mengejar dengan mengatur kecepatan langkah kaki dan nafas hingga sampai di pos pertama. Disana kami bertemu beberapa pejalan lain yang menikmati makan siang mereka masing-masing, beberapa diantaranya memasak mie instan dalam satu wadah. Kami menghabiskan sekitar setengah jam hanya untuk meluruskan kaki sembari mengeluarkan beberapa snack dan air mineral dari ransel. Kami butuh energi untuk bisa sampai di pos kedua yang jaraknya pun lumayan.

Setelah istirahat sejenak, kami memulai perjalanan kembali menuju pos kedua dengan formasi yang sama, saya di belakang Ayos dan Winda. Ruli dan Maya bersama saya. Jalan yang kami tempuh memang lebih pendek dibanding dari pos satu ke pos dua namun medannya mulai memiliki tanjakan yang lumayan menguras tenaga. Pukul sebelas, kami tiba di pos kedua. Kami masih perlu meregangkan kaki sebentar. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan pejalan-pejalan lain dengan alur berlawanan, tanda mereka telah berhasil menikmati Ranukumbolo. Perjalanan dari pos dua ke pos tiga memaksa saya seringkali berhenti dari langkah-langkah pendek. Maya dan Ruli pun begitu. Kami kelelahan.

***

Kali ini kami bertiga benar-benar tertinggal dari Ayos dan Winda yang sudah lebih dulu mengawali start dari pos kedua. Jarak dari pos dua ke pos tiga sebenarnya tidak terlalu jauh, namun tanjakan yang mulai meninggi kemudian melandai kembali benar-benar tidak mudah. Namun itu belum seberapa hingga saya menemui tanjakan yang lebih menantang menuju pos keempat. Di pos ketiga, saya benar-benar lapar hingga tak kuasa merampas meises coklat dan selai kacang si Maya untuk dioleskan diatas roti tawar yang kami bawa. Sembari menikmati makanan, tentu kami mulai mengabadikan perjalanan ini dengan kenarsisan masing-masing. Di pos tiga saya ingat satu hal, si Ruli dengan entengnya melempar kamera saya (kurang ajar!!!). Awalnya kami bertiga bergurau dengan teknik menyombongkan diri ala si Ruli (sigh!). Maya dan saya mulai menyombongkan  diri dengan membandingkan komputer tablet milik kita berdua dengan milik Ruli. Saya tak tahu kenapa saat itu Ruli kemudian berubah perasa dan melempar kamera saya. Mungkin, karena milik si Ruli bukan si buah itu! :D. Maya pun tertawa namun mulai khawatir saya dan Ruli akan bertengkar. Tapi Ruli benar-benar barbar! :D

***

Kabut mulai menebal siang itu dan kami masih harus berjuang menaklukan medan yang lebih terjal di depan. Perjalanan dari pos tiga ke pos empat benar-benar bagian tersulit. Medannya menanjak tinggi kemudian melandai cukup curam persis seperti yang sering dilontarkan pejalan lain yang berpapasan dengan kami. Perjalanan menuju pos empat yang terjal membuat saya agak khawatir dengan stamina Maya. Tapi saya akui ia begitu menikmati perjalanan ini. Semangat kami kembali membara saat mulai melihat danau dan tenda-tenda perkemahan dari ketinggian pertanda kami hampir sampai di Ranukumbolo. Kami bertiga menghabiskan waktu istirahat singkat di pos keempat sembari menikmati kabut yang masih cukup tebal. Meninggalkan pos keempat kemudian turun melalui jalan setapak yang cukup landai adalah salah satu hal terbaik yang kami lalui dari perjalanan ini. Kami sampai di tenda perkemahan yang telah didirikan oleh Ayos dan Winda setelah menghabiskan sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari pos empat.

Ayos dan Winda sudah merebahkan badan masing-masing di dalam tenda begitu pula dengan kami bertiga. Kaki-kaki kami tak sabar untuk bernafas dan meminta untuk diluruskan. Kami tiba sore itu dengan perasaaan lega dan mempersiapkan diri melawan dinginnya malam di Ranukumbolo.

***

Hari mulai gelap dan kami mulai mencari cara menikmati malam. Kami memasak meski tak sekeren rencana saya. Sebelumnya saya berpikir akan memasak makanan yang begitu nikmat disantap malam itu. Namun suhu sekitar -5 derajat celsius melumpuhkan niat saya. Malam itu benar-benar dingin hingga saya harus menebalkan kaki dengan dua tumpuk kamos kaki seperti yang dilakukan Maya, Winda dan Ruli. Sepertinya Ayos lah yang paling tahan dingin. Malam itu kami memasak krim sup instan. Itu ide si Winda yang sepertinya malam itu mulai tak tahan lapar. Krim sup dengan tambahan potongan sosis dan keju cheddar rupanya cukup berhasil mengenyangkan kami berempat. Ruli sudah terlalu capai hingga tak bernafsu menyantap sup gurih itu.

Sebelumnya, kami berlima mulai narsis didalam tenda. Kami mengabadikan kebersamaan kami dengan gaya tren tahun ini, ‘unyu-unyu’ :P. Di dalam tenda, kami benar-benar menikmati senda gurau yang berhasil membuat kami benar-benar ngakak. Topik yang diangkat tentang si Zaenal, teman Ayos dan Ruli yang menjadi trending topic selama perjalanan.

Saya benar-benar menikmati malam itu terlebih saat saya bergabung dengan Ayos yang sibuk menangkap momen dengan kameranya. Malam itu benar-benar indah dengan beribu bintang memenuhi langit yang amat tenang. Cahaya api unggun yang diciptakan beberapa pejalan lain menambah keindahannya. Saya tak mau ketinggalan untuk mengabadikan langit. Dengan bantuan Ayos saya berhasil menangkap bintang-bintang itu. Merebahkan diri sebentar untuk menikmati langit yang sungguh luar biasa indah tak mungkin saya lewatkan meski badan tak kuasa menahan dingin.

Kami mengakhiri malam yang tenang dengan tidur lelap di tenda dan bersiap menyambut matahari esok pagi.

Maya kecapaian :D
Yey meises yang dibawa oleh Maya! Yummy!
Ini pos ketiga, tempat Ruli melempar kamera saya! Dasar barbar :(
Ayo foto-foto dulu dong, biar di gunung harus tetap eksis :D
Kita sudah bisa melihat Ranukumbolo dari ketinggian meski kabut masih tebal siang itu.
Tenda-tenda sudah banyak yang berdiri, lihat yang berwarna biru, itu tenda kami :)
Maya bersemangat karena kami semakin dekat :D
Maya masih sempat-sempatnya berpose :D
Ruli pun tak mau ketinggalan berpose :p
Sepertinya berfoto dengan signage sudah seperti keharusan ya? Saya dan Maya pun sempat berfoto di entrance :D
Wah Winda mencuri start istirahat :D Tapi tak apalah ia dan Ayos mendirikan tenda buat kami :)
Yey akhirnya kami bisa sampai dan menikmati Ranukumbolo siang itu.
View yang menenangkan!
Mereka senjata rahasia untuk tetap bersih di lingkungan yang dingin seperti Ranukumbolo.
Ini foto pesanan Maya, kakinya sudah ingin cepat-cepat bernafas! :D
Allahuakbar, bintang-bintangnya sempurna!
Foto-foto didalam tenda sebelum hoaaammm :D
Berunyu-unyu ria, ini ide si Maya! :D

 

Masih ada esok hari, hari ketiga di Ranukumbolo sebelum kami pulang ke rumah :).

Next.

Ranukumbolo Accomplished {Day 1}

Ranukumbulo sudah kami perbincangkan dua bulan sebelum saya pulang ke Indonesia. Saya, Maya, Winda dan Ruli memilih Ranukumbolo sebagai tujuan pendakian tahun ini. Apakah saya seorang pendaki? Tentu bukan, hanya saja tahun ini saya sangat ingin merasakan alam terbuka dari negeri yang memiliki berjuta pesona. Ternyata butuh kecerdasan lebih untuk membagi waktu cuti saya yang hanya sebulan di Indonesia. Setelah lebih dari sebulan kami berempat chatting bout’ Ranukumbolo, tanggal 13 Juli tahun ini kami pun berangkat.

***

Hari pertama.

Jumat malam saya masih sibuk mencari kebutuhan untuk bekal kami selama tiga hari di supermarket, memilih beberapa bahan makanan yang sekiranya akan nikmat disantap selama disana. Packing saya lakukan setelahnya. Sabtu selepas subuh saya dijemput Ruli. Kami langsung menuju kos Ayos ,traveler kawakan sekaligus penulis handal yang namanya sudah beredar luas di komunitas pejalan. Saya, Ruli, dan Ayos sudah siap berangkat setelah berhasil repacking menghemat barang bawaan kita. Berbeda dengan saya, mereka sudah beberapa kali naik gunung. Mereka berdua lebih paham bagaimana seharusnya traveler mengatur barang bawaan dan membaginya dalam ruang ransel yang amat terbatas. Winda dan Maya yang berdomisili di ibukota, berhasil menempuh perjalanan selama hampir empat belas jam menuju Surabaya. Mereka berdua diantar kereta eksekutif dari stasiun Pasar Senen ke stasiun Pasar Turi. Mereka tiba pukul 8 pagi. Setelah Ayos, Ruli dan saya selesai repacking dan mampir ke tempat persewaan tenda, kami langsung menuju titik pertemuan yang kami sepakati, terminal Bungurasih. Setibanya disana kami mempersiapkan diri dengan bekal dasar untuk ketahanan fisik, sarapan! Maya, Winda dan Ayos memilih soto ayam dan es teh. Saya dan Ruli tak terlalu tertarik sarapan. Kita hanya memilih segelas teh panas.

Setengah jam setelahnya kami berlima sudah duduk manis di bangku bis paling belakang menuju Malang. Sepanjang perjalanan Maya, Winda, saya dan Ruli sibuk mengoceh di twitter masing-masing. Sesampainya di terminal Malang setelah dua jam didalam bis, kami langsung menuju Tumpang dengan angkot. Saya masih ingat Maya tertawa mendengar saya menirukan salah satu hits Rita Sugiarto yang kami dengar dari radio angkot. Suasana itu tak membuat saya malu karena saking menikmati suasana terminal. Kami membutuhkan setengah jam untuk sampai di Tumpang. Sesampainya disana kami berhasil menyewa jeep yang akan membawa kami ke desa Ranupani. Kami tak sendiri, masih ada beberapa kelompok traveler lain yang juga akan menuju Ranupani. Kami membayar tiga pulu ribu rupiah per-orang. Saya, Ruli dan Ayos berdiri dibelakang, Maya dan Winda duduk didepan disamping sopir. Menumpang jeep dengan posisi berdiri selama dua jam lebih merupakan pengalaman pertama yang cukup berkesan. Ayos sempat menanyakan apakah saya menikmati perjalanan itu, jelas iya. Hampir setahun hidup di negara orang kemudian kembali dan menikmati keindahan alam negeri sendiri yang saya dapat sepanjang perjalanan menuju Ranu, apakah saya harus berpikir dua kali untuk berkata tidak? :)).

Jalanan naik turun membuat kami beberapa kali hilang kestabilan dari posisi berdiri. Bererapa kali perut kami dihantam iron bar jeep. Kadangkala dada juga sempat bersentuhan keras dengan pipa besi yang juga berfungsi sebagai handle untuk menjaga kestabilan posisi. Pemandangan yang memanjakan mata sepanjang jalan cukup menghibur, sayangnya saya tidak bisa mengambil gambar sepanjang perjalanan.

Saya sempat memotret Ayos bersama Winda, saya suka latar belakang foto ini :)
Maya dan Winda sebelum naik jeep.
Ransel-ransel kami, banyak ya!

Tiba pukul tiga sore di Ranupani kami langsung menuju pos, melaporkan diri pada pihak pengelola untuk mendapatkan ijin. Winda dan Maya bertugas menyelesaikan urusan administratif. Sekitar setengah jam urusan perijinan selesai, kami langsung membekalkan diri dengan makan siang disana. Semangkuk bakso seharga lima ribu rupiah per porsi menjadi pilihan saya. Hawa dingin menusuk tulang sudah mulai terasa. Sore itu kabut lebat mulai berdatangan membuat hari semakin gelap. Dingin dan rintik hujan pun mulai berjatuhan. Kami memulai perjalanan pukul empat sore dengan kesadaran bahwa kami akan menyusuri jalan yang tak mudah hingga sampai di Ranukumbolo. Jarak dari Ranupani hingga titik akhir Ranukumbolo kurang lebih 10 kilometer dengan waktu tempuh normal sekitar enam hingga tujuh jam. Masing-masing dari kami membawa ransel yang beratnya lumayan menguras tenaga. Saya kebagian sekitar lima belas kilo. Maya dan Winda tak kalah beratnya. Ayos membawa ransel paling besar dan tentunya paling berat. Begitu pula dengan Ruli. Perjalanan di hari pertama merupakan salah satu pengalaman yang akan selalu saya ingat. Pengalaman menyusuri jalan-jalan setapak di dalam hutan yang tak mudah untuk menuju apa itu Ranukumbolo.

Setelah dua jam diatas jeep, kami berhasil sampai di Ranupani.
Desa Ranupani, kecamatan Senduro.
Ini urusan Winda dan Maya, kami harus mendapat ijin terlebih dahulu sebelum memulai pendakian.

Berjalan bersama dengan sekelompok pejalan lain saat hari mulai gelap ternyata tak cukup membantu. Kami melewati jalan naik turun yang penuh dengan semak belukar. Semak belukar yang tumbuh liar diatas tanah menjadi semakin licin akibat gerimis. Kondisi medan yang kami tempuh hingga jarak kira-kira tiga setengah kilometer dari titik awal sungguh diluar dugaan. Ayos dan Winda berada didepan memimpin pencarian jalan-jalan berikutnya. Saya dibelakang Winda. Maya dan Ruli diurutan terakhir. Kami benar-benar berusaha keras melewati setiap cekungan, dataran, cekungan lagi dan tanjakan, yang semakin berat saat licin, gerimis dan gelap berpadu. Kami merayap, berjalan, menanjak, melompat untuk melewati setiap tantangan medan malam itu. Kami mencari bantuan ditengah kegelapan dengan meraba setiap ranting-ranting liar yang kami pikir kuat sebagai pegangan. Penerangan kami hanya bergantung pada lampu senter. Setelah berjuang hampir lima jam didalam kesulitan itu kami memutuskan kembali karena tak ada titik terang menemukan Ranukumbolo. Kami tersesat dan bertekad melanjutkan perjalanan esok pagi. Kembali lagi setelah mencapai jarak tiga setengah kilometer berarti kami harus berjuang melewati setiap tanjakan, cekungan dan jalan-jalan landai itu kembali.

Baru pukul empat sore, tapi kabut membuat hari lebih gelap.
Saya tertawa jika ingat saat saya mengambil gambar ini, Winda dan saya bercanda. Bertanya pada Maya “Mama Dedeh ada tahlilan dimana? Di gunung?” :D
Meskipun ransel yang dibawa paling berat, Ayos nampak fine.
Winda masih sempat bergaya meski sudah sakit punggung karena ranselnya :D
Saya dan Maya meski capek harus tetap eksis :D

Malam itu kami memutuskan menginap di rumah salah satu petugas asli Maluku yang sudah menetap di desa Ranupani, namanya Bapak Sinambela. Malam itu teramat dingin, bahkan telapak kaki saya tidak akur dengan lantai rumah. Ayos dan Ruli bercengkrama dengan bapak Sinambela dan teman baru kami. Saya membantu Winda dan Maya memasak menu seadanya malam itu. Memasak nasi, sup dari wortel, buncis, kentang plus sosis, dan telur orak-arik bercampur kornet ala Winda.

Sup sayur, menu makan malam kami saat itu.
Telur plus kornet ala Winda.

Pukul sepuluh setelah selesai makan malam kami memutuskan merebahkan tubuh diselimuti sleeping bag masing-masing. Saya tak habis pikir bagaimana bisa malam itu saya amat santai melewati setiap rintangan pencarian jalan di dalam hutan yang gelap, licin dan dataran yang tak tentu. Mungkin karena di malam itu kami berlima benar-benar bekerja keras membantu satu sama lain. Bantuan yang terbungkus dengan nilai persahabatan.

Esok pagi kami akan kembali mengumpulkan niat untuk menyambangi kembali Ranukumbolo.