
Ranukumbulo sudah kami perbincangkan dua bulan sebelum saya pulang ke Indonesia. Saya, Maya, Winda dan Ruli memilih Ranukumbolo sebagai tujuan pendakian tahun ini. Apakah saya seorang pendaki? Tentu bukan, hanya saja tahun ini saya sangat ingin merasakan alam terbuka dari negeri yang memiliki berjuta pesona. Ternyata butuh kecerdasan lebih untuk membagi waktu cuti saya yang hanya sebulan di Indonesia. Setelah lebih dari sebulan kami berempat chatting bout’ Ranukumbolo, tanggal 13 Juli tahun ini kami pun berangkat.
***
Hari pertama.
Jumat malam saya masih sibuk mencari kebutuhan untuk bekal kami selama tiga hari di supermarket, memilih beberapa bahan makanan yang sekiranya akan nikmat disantap selama disana. Packing saya lakukan setelahnya. Sabtu selepas subuh saya dijemput Ruli. Kami langsung menuju kos Ayos ,traveler kawakan sekaligus penulis handal yang namanya sudah beredar luas di komunitas pejalan. Saya, Ruli, dan Ayos sudah siap berangkat setelah berhasil repacking menghemat barang bawaan kita. Berbeda dengan saya, mereka sudah beberapa kali naik gunung. Mereka berdua lebih paham bagaimana seharusnya traveler mengatur barang bawaan dan membaginya dalam ruang ransel yang amat terbatas. Winda dan Maya yang berdomisili di ibukota, berhasil menempuh perjalanan selama hampir empat belas jam menuju Surabaya. Mereka berdua diantar kereta eksekutif dari stasiun Pasar Senen ke stasiun Pasar Turi. Mereka tiba pukul 8 pagi. Setelah Ayos, Ruli dan saya selesai repacking dan mampir ke tempat persewaan tenda, kami langsung menuju titik pertemuan yang kami sepakati, terminal Bungurasih. Setibanya disana kami mempersiapkan diri dengan bekal dasar untuk ketahanan fisik, sarapan! Maya, Winda dan Ayos memilih soto ayam dan es teh. Saya dan Ruli tak terlalu tertarik sarapan. Kita hanya memilih segelas teh panas.
Setengah jam setelahnya kami berlima sudah duduk manis di bangku bis paling belakang menuju Malang. Sepanjang perjalanan Maya, Winda, saya dan Ruli sibuk mengoceh di twitter masing-masing. Sesampainya di terminal Malang setelah dua jam didalam bis, kami langsung menuju Tumpang dengan angkot. Saya masih ingat Maya tertawa mendengar saya menirukan salah satu hits Rita Sugiarto yang kami dengar dari radio angkot. Suasana itu tak membuat saya malu karena saking menikmati suasana terminal. Kami membutuhkan setengah jam untuk sampai di Tumpang. Sesampainya disana kami berhasil menyewa jeep yang akan membawa kami ke desa Ranupani. Kami tak sendiri, masih ada beberapa kelompok traveler lain yang juga akan menuju Ranupani. Kami membayar tiga pulu ribu rupiah per-orang. Saya, Ruli dan Ayos berdiri dibelakang, Maya dan Winda duduk didepan disamping sopir. Menumpang jeep dengan posisi berdiri selama dua jam lebih merupakan pengalaman pertama yang cukup berkesan. Ayos sempat menanyakan apakah saya menikmati perjalanan itu, jelas iya. Hampir setahun hidup di negara orang kemudian kembali dan menikmati keindahan alam negeri sendiri yang saya dapat sepanjang perjalanan menuju Ranu, apakah saya harus berpikir dua kali untuk berkata tidak? :)).
Jalanan naik turun membuat kami beberapa kali hilang kestabilan dari posisi berdiri. Bererapa kali perut kami dihantam iron bar jeep. Kadangkala dada juga sempat bersentuhan keras dengan pipa besi yang juga berfungsi sebagai handle untuk menjaga kestabilan posisi. Pemandangan yang memanjakan mata sepanjang jalan cukup menghibur, sayangnya saya tidak bisa mengambil gambar sepanjang perjalanan.



Tiba pukul tiga sore di Ranupani kami langsung menuju pos, melaporkan diri pada pihak pengelola untuk mendapatkan ijin. Winda dan Maya bertugas menyelesaikan urusan administratif. Sekitar setengah jam urusan perijinan selesai, kami langsung membekalkan diri dengan makan siang disana. Semangkuk bakso seharga lima ribu rupiah per porsi menjadi pilihan saya. Hawa dingin menusuk tulang sudah mulai terasa. Sore itu kabut lebat mulai berdatangan membuat hari semakin gelap. Dingin dan rintik hujan pun mulai berjatuhan. Kami memulai perjalanan pukul empat sore dengan kesadaran bahwa kami akan menyusuri jalan yang tak mudah hingga sampai di Ranukumbolo. Jarak dari Ranupani hingga titik akhir Ranukumbolo kurang lebih 10 kilometer dengan waktu tempuh normal sekitar enam hingga tujuh jam. Masing-masing dari kami membawa ransel yang beratnya lumayan menguras tenaga. Saya kebagian sekitar lima belas kilo. Maya dan Winda tak kalah beratnya. Ayos membawa ransel paling besar dan tentunya paling berat. Begitu pula dengan Ruli. Perjalanan di hari pertama merupakan salah satu pengalaman yang akan selalu saya ingat. Pengalaman menyusuri jalan-jalan setapak di dalam hutan yang tak mudah untuk menuju apa itu Ranukumbolo.



Berjalan bersama dengan sekelompok pejalan lain saat hari mulai gelap ternyata tak cukup membantu. Kami melewati jalan naik turun yang penuh dengan semak belukar. Semak belukar yang tumbuh liar diatas tanah menjadi semakin licin akibat gerimis. Kondisi medan yang kami tempuh hingga jarak kira-kira tiga setengah kilometer dari titik awal sungguh diluar dugaan. Ayos dan Winda berada didepan memimpin pencarian jalan-jalan berikutnya. Saya dibelakang Winda. Maya dan Ruli diurutan terakhir. Kami benar-benar berusaha keras melewati setiap cekungan, dataran, cekungan lagi dan tanjakan, yang semakin berat saat licin, gerimis dan gelap berpadu. Kami merayap, berjalan, menanjak, melompat untuk melewati setiap tantangan medan malam itu. Kami mencari bantuan ditengah kegelapan dengan meraba setiap ranting-ranting liar yang kami pikir kuat sebagai pegangan. Penerangan kami hanya bergantung pada lampu senter. Setelah berjuang hampir lima jam didalam kesulitan itu kami memutuskan kembali karena tak ada titik terang menemukan Ranukumbolo. Kami tersesat dan bertekad melanjutkan perjalanan esok pagi. Kembali lagi setelah mencapai jarak tiga setengah kilometer berarti kami harus berjuang melewati setiap tanjakan, cekungan dan jalan-jalan landai itu kembali.





Malam itu kami memutuskan menginap di rumah salah satu petugas asli Maluku yang sudah menetap di desa Ranupani, namanya Bapak Sinambela. Malam itu teramat dingin, bahkan telapak kaki saya tidak akur dengan lantai rumah. Ayos dan Ruli bercengkrama dengan bapak Sinambela dan teman baru kami. Saya membantu Winda dan Maya memasak menu seadanya malam itu. Memasak nasi, sup dari wortel, buncis, kentang plus sosis, dan telur orak-arik bercampur kornet ala Winda.


Pukul sepuluh setelah selesai makan malam kami memutuskan merebahkan tubuh diselimuti sleeping bag masing-masing. Saya tak habis pikir bagaimana bisa malam itu saya amat santai melewati setiap rintangan pencarian jalan di dalam hutan yang gelap, licin dan dataran yang tak tentu. Mungkin karena di malam itu kami berlima benar-benar bekerja keras membantu satu sama lain. Bantuan yang terbungkus dengan nilai persahabatan.
Esok pagi kami akan kembali mengumpulkan niat untuk menyambangi kembali Ranukumbolo.
foto di Ranu Kumbolonya???
Kan masih hari pertama Mbak, nanti tulisan selanjutnya baru ke upload, masih belum sempet.
Ternyata kau punya bakat mendaki juga ya… oke nih.
Oalah itu mah seneng daki sama temen-temen yang lama ga ketemu, it was so exciting ;)