Tiga hari sebelum meninggalkan Indonesia, saya sempat menghabiskan satu malam bersama sahabat-sahabat yang sering saya sebut di blog ini, Ayos, Winda, dan Ruli. Saya memenuhi janji pada Winda dan Ayos untuk menyempatkan memasak kemudian makan malam bersama di rumah mereka.
Hari itu, sedari pagi, saya sibuk mengerjakan neglected things yang seharusnya saya tuntaskan dari jauh hari. Dari kunjungan ke dokter gigi hingga mencari buku desain untuk oleh-oleh (kebodohan itu mencari buku impor in last minute!). Setelah buku ada di tangan, saya kembali tergesa-gesa mengejar waktu sholat Jumat. Saya tak mungkin rela melewatkan kesempatan terakhir sholat Jumat di Indonesia. Untung saja ada surau kecil tak jauh dari mall tempat saya berburu buku. Surau yang tak jauh dari kantor tempat Sohib bekerja. Surau itu terletak di dalam kampung yang mengingatkan saya kembali pada masa sekolah menengah pertama. Saya ingat sekali, di dalam kampung itu ada rumah kecil tempat saya belajar bahasa Inggris bersama guru yang sama yang mengajar saya di sekolah. Saya masih ingat betul bagaimana saya menikmati setiap langkah setelah ‘jumatan’. Saya dan Sohib duduk bersama dengan beberapa jenis gorengan di tangan sebagai pengganjal makan siang. Angin sepoi-sepoi di Jumat siang, di scene perkampungan yang Indonesia sekali, selalu membuat saya rindu setiap kali mengingatnya dari sini. Secuil scene siang itu sempat saya abadikan dengan iPhone :)
Setelah jumatan, saya kembali ke rumah untuk istirahat satu jam saja. Tak terasa jarum jam sudah melewati angka tiga. Setengah jam sebelum pukul empat perasaan malas yang kuat sekali hinggap di diri saya. Bukan kenapa, raga terlalu capai hingga sempat terpikir untuk mengurungkan niatan ke rumah Ayos. Untungnya, hati saya berkata lain. Saya mengindahkan perasaan malas karena saya tahu, jika saja saya memilih untuk tidak pergi, saya melewatkan momen persahabatan kami disaat saya masih berkesempatan.
Setengah perjalanan dari Surabaya Utara ke rumah mereka di daerah Juanda, saya berhenti sejenak di pasar serba ada untuk berbelanja bahan masakan. Saya menikmati semua hal yang terjadi di sekeliling saya. Sore itu banyak keluarga sederhana yang sekedar menghibur diri dengan berbelanja bersama. Sembari iseng, saya berpikir keluarga-keluarga seperti mereka hidupnya nampak sungguh indah (meski mungkin hanya nampak dari luarnya saja, entah). Tiba-tiba saja saya memiliki penyesalan kecil kenapa tidak menghabiskan hal sesederhana itu saat hari-hari awal di Indonesia berdua bersama Ibu. Berbelanja sore, berjalan kaki, sambil menikmati es krim berdua.
Keluar dari pasar serba ada tadi, saya mendapati langit berwarna jingga. Setelah pukul empat adalah saat dimana saya selalu merasa waktu tercantik yang dimiliki sebuah hari. Saya pun kembali mengendarai motor menuju rumah Ayos dan Winda. Sepanjang jalan, saya kembali melihat banyak momen sederhana yang membuat saya rindu Indonesia. Beberapa pedagang kaki lima yang mengayuh sepeda, ibu-ibu pekerja yang menunggu angkutan kota, pria-pria yang menghabiskan waktunya di warung kopi dekat rel kereta, hingga wajah-wajah murung di dalam bis kota. Semua momen sore itu nampak seperti secuil perwujudan budaya yang Indonesia sekali.
Sesampainya di rumah Ayos dan Winda, saya mulai merasa sedih karena tersadar hanya memiliki beberapa jam dengan mereka, apalagi tanpa Maya. Sambil menunggu Ruli, Winda dan saya mulai memasak menu makan malam sementara Ayos masih berkutat dengan pekerjaannya. Di dapur mungil mereka, saya meledek diri sendiri pada Winda karena menu yang akan kita masak hanya tumis selada, wortel dan jamur. Plus ayam tanpa tulang yang hanya akan digoreng, tahu dan tempe yang akan kami nikmati dengan sambal ala Winda. Bukan karena saya tidak mau sedikit repot memasak makanan yang lebih rumit daripada itu, tapi hari itu saya benar-benar lelah. Saya dan Winda beberapa kali tertawa ringan karena pisau yang kami pakai sedikit tumpul membuat pekerjaan memotong ayam menjadi begitu merepotkan.
Malam itu nikmat sederhana kembali tercipta dengan duduk bersama menyantap masakan sederhana. Kami berempat sempat bercanda ria setelah makan malam sembari bercerita banyak hal (hanya Ruli yang masih sibuk mengunyah buah stroberi dengan es krim vanila yang seharusnya bisa kami olah menjadi milkshake, sigh). Saat itulah saya merasa kesedihan saya sedikit demi sedikit mulai mencair berganti rasa syukur pada momen persahabatan malam itu. Selepas pukul sepuluh, kedua mata saya tak kuat menahan beban kantuk yang hinggap sedari sore. Pun begitu dengan Winda, Ayos dan Ruli.
Saya terbangun dalam keadaan sadar bahwa hari itu hari terakhir saya di Surabaya. Sebenarnya saya memiliki rencana memasak sarapan untuk kami berempat namun sayang, alarm di iPhone tidak cukup membantu saya bangun seperti biasanya. Winda berbaik hati menyeduh wedang kayu manis campur madu hangat yang katanya baik untuk stamina. Tak lama setelahnya, Winda harus siap-siap berangkat kerja. Saya semakin dekat dengan perpisahan semantara dengan mereka, tapi pastinya kami tidak bisa mengabaikan foto sebagai cara mengabadikan kenangan. Entah, pagi itu saya lebih menikmati interaksi antara kami daripada sekedar sibuk mengabadikan momen. Untung saja kualitas foto dari iPhone milik Winda ini mampu membuat saya tersenyum :). Oh, kami sempat berfoto di depan rumah Ayos dan Winda dengan bantuan Ayah Winda yang kebetulan mampir setelah beliau olah raga pagi.
Setelah cukup berfoto ria, saya harus berpamitan pulang untuk kemudian menemui beberapa lovely humans lainnya sebelum terbang ke Jakarta esok hari. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Ayos dan Winda, saya kembali tersenyum lebar melihat morning scene ala Indonesia di hari Sabtu yang hangat (damn, tiba-tiba saya rindu Indonesia :().
-bersambung-
Lagos, 8 : 40 am.