An Amazing Woman, Madam Uche (The Lesson) Part 1.

The lesson from Madam Uche.

Niat saya memposting tulisan ini sederhana ; Your vision about African will change!

Perkenalkan, wanita disebelah saya adalah Madam Uche, Executive Director sekaligus perintis perusahaan tempat saya bekerja sekarang, Newton & David (N&D) Events. Nama lengkapnya Maureen Weruche Okaru, sekarang Uche Majekodunmi, Majekodunmi itu nama keluarga suaminya, Adekunle Majekodunmi yang juga Director di perusahaan events yang berusia hampir 22 tahun. Saya menyebut Mr.Majekodunmi dengan sebutan Oga, bahasa asli disini yang artinya Sir atau Bapak/tuan.

Kesan pertama saat saya bertemu beliau mungkin persis seperti saat anda pertama kali melihat gambar diatas, kaget. Kenapa? Saya akui melihat perawakan besar, berkulit gelap dan tanpa rambut membuat saya mesmerised meski itu hanya bertahan beberapa menit. Anda tahu bahwa sebagian besar rambut orang Afrika adalah wig? Ya, wig. Dan Madam Uche bukan bagian daripada itu, ia teramat bangga dengan rambut tipisnya. Saya tak pernah melihat ia menggunakan wig dalam foto-foto semasa mudanya. Sangat natural sebagai seorang genuine African woman.

Pertemuan perdana dengan beliau terjadi setahun yang lalu, 26 Juni 2011 saat saya baru tiba di Lagos. Saat itu kakak kelas yang merekomendasikan saya ke N&D mengajak saya langsung ke rumah beliau sesaat setelah saya mendarat dari Dubai. Siang itu adalah hari pertama di mana saya menjejakkan kaki di negara orang. Di benua yang sama sekali tidak ada di pikiran saya sebelumnya, Afrika. Saya ingat betul saat saya tiba di rumah wanita kelahiran tahun 1960 ini. Ia menyambut saya dengan sangat hangat. Siang itu terik dan saya jelas lelah setelah terbang hampir 22 jam dari Jakarta. Sesampai di rumah beliau yang teduh, saya mengenalkan diri. Beliau menjawab ” Welcome to Nigeria” sambil tersenyum. Ia menyisipkan pesan pada pertemuan pertama bahwa saya harus memliki strong character untuk bisa menghadapi Nigeria yang sesungguhnya, saya ingat betul kata-kata itu. Dan saya tidak mengada-ngada, senyuman beliau saat itu benar-benar tulus hingga saya rasa tidak perlu lagi mesmerised seperti pertama kali melihat beliau. Ia benar-benar welcome.

***

Hari-hari pertama saat Madam Uche kembali beraktifitas di kantor, saya merasa bahwa saya masih amat kaku. Saya rasa wajar karena bekerja di lahan yang benar-benar baru butuh kerja keras untuk bisa menyatu melalui adaptasi. Hal pertama yang saya pelajari adalah mengucapkan salam “Good Morning Ma” diucapkan oleh staf di kantor. Saya? Saya mengikuti. Kakak kelas saya membimbing saya dalam hal etika di kantor. Mengucap selamat pagi di sini seperti tradisi.

Beberapa hari kerja saya mulai bisa beradaptasi dengan gaya kepemimpinan Madam. Ia tipikal wanita yang sangat disiplin dan pekerja keras. Saya bisa mengatakan seperti itu karena analisa visual hingga hari ini, satu tahun dua bulan saya bekerja di N&D. Beliau memiliki gaya yang tegas dalam memimpin dan tak perlu diragukan lagi ia disegani. Watak Madam memang keras dan maaf, jika beliau marah besar, O saya pun shaking :D. Menurut saya bukan karena ia pemarah, tapi lingkungan lah yang mempengaruhi ia kadang memiliki short tempered. Lingkungan? Ya, begini, pada dasarnya siapa yang suka marah jika tidak ada sesuatu yang salah?  Sesimpel itu kan? Sumber daya manusia Afrika memang harus diakui masih dibawah standar dan ini salah satu alasan kenapa ia harus bertindak tegas bahkan kadang harus shouting untuk membuat karyawannya mengerti apa yang ia maksud. Bukan hanya Madam, saya pun seperti berubah menjadi lebih keras dan tegas menghadapi orang Afrika :D Ini pernyataan serius, karena jika tidak, saya tidak akan cukup kuat survive di sini.

Standarisasi orang Afrika yang saya maksud di bawah standar tidak serta merta berlaku untuk orang yang beruntung bisa menganyam pendidikan atau pernah menetap di luar negeri. Itu yang saya perhatikan selama ini, Madam contohnya. Sebagai seorang yang memiliki dua kewarganegaraan, british dan nigerian ia berbeda. Beliau lahir di Manchester, Inggris dan pernah lama tinggal disana. Ayah Ibunya pun british meski asli nigerian dan sudah memiliki beberapa rumah di sana dengan pembantu seorang Inggris, bisa anda bayangkan?

Madam memang lahir dari keluarga yang berada dengan orang tua yang educated. Saya baru tahu jika Ibunya yang seorang guru pernah mengeyam pendidikan MA degree dari University of London. Beliau sempat mendapatkan penghargaan prestisius Helen Straw International Service Award di Swiss yang disponsori oleh The College of Human Ecology, The Ohio University of America. Saya tahu itu saat membantu beliau mendesain sampul buku yang ditulisnya sendiri. Bukunya tentang pendidikan yang bisa diterapkan di Nigeria adaptasi dari riset yang beliau lakukan selama di Jerman, Jepang, Inggris dan Wales. Ayahnya seorang pengusaha yang memiliki spot minyak mentah, dan bagi yang belum tahu, negara ini punya spot minyak mentah yang melimpah yang menjadi kekuatan utama ekonominya. Kedua orang tuanya juga sangat welcome. Saya kira Madam Uche mewarisi kesahajaan dari ibunya serta mewarisi disiplin tingkat tinggi ayahnya.

Madam Uche adalah lulusan teater dan drama, dan mengenyam pendidikan spesialis bunga dari florist kenamaan dunia asal Inggris, Paula Pryke. Madam merintis perusahaan ini berawal dari toko bunga kecil yang ia buka di rumahnya. Pekerjaan dekorasi pertamanya adalah mendekor sebuah gereja di Lagos. Dengan jerih payahnya ia berhasil mengembangkan usahanya hingga menjadi yang terbesar di Nigeria. Saya salut dengan kegigihannya mempertahankan N&D, perusahaan dekorasi pertama yang berdiri di Nigeria dengan standarisasi internasional. Sekedar catatan, membuka usaha di negeri ini sangat tidak gampang dilihat dari banyak hal. Dan kunci kesuksesannya ada pada keseriusannya memperhatikan keinginan klien entah itu klien dengan nilai proyek kecil apalagi besar. Mengembangkan usaha yang berawal dari rumah hingga bisa sukses menangani dekorasi di luar Nigeria baru-baru ini, di Gambia, London dan Marbella (Spanyol) bukanlah pekerjaan yang mudah jika tidak dikerjakan dengan passion.

Selanjutnya saya akan menuliskan hal-hal unik tentang Madam dan beberapa yang belum sempat saya sebutkan disini.

Part 2, NEXT.

Masak Sedap Murah (Semur).

Semur daging mengingatkan pada Bapak, ini menu kesukaannya!.

Kemarin sepulang dari kantor pukul tujuh malam saya langsung bergegas ke dapur mengupas kentang. Saya tak sudi bermain komputer tablet dulu karena biasanya malas akan melanda kemudian tak ada makan malam.
Saya berpikir akan mengolah sekilo kentang yang saya beli minggu lalu seharga dua ratus naira menjadi bagian dari sup sayur. Tiba-tiba flatmate saya menyeletuk “bikin semur aja!”. Saya pun mengangguk. Bolehlah, sup sayur sudah sering kita masak dan semur bukan pilihan yang buruk. Apalagi didalamnya akan ada kentang goreng setengah matang dan telur rebus menyelam dengan daging sapi. Saya sudah terbayang rasanya.

Memasak semur tak sulit. Cukup bermain dengan bumbu dasar, bawang merah, bawang putih, cabe rawit, kaldu, merica dan yang terpenting, kecap!. Ini bumbu dasar yang kita racik kemarin. Simpel karena memanfaatkan bumbu yang kami punya. Sebenarnya resep semur masih membutuhkan jahe, pala, cengkeh, dan tomat. Jelas rasa semur buatan Ibu lebih maknyus karena bumbunya lengkap. Rasa yang kami hasilkan kemarin? Jangan salah! Enak! Simpel, mudah dan cepat memasaknya. Resep kemarin malam ini menandakan saya harus merelakan kecap saya berakhir :( Persediaan kecap saya berakhir! Saya tidak lagi punya kecap!!! *lebai ah*

Baiklah, tahapan memasak semur kurang lebihnya seperti ini ;

Irisan bawang putih dan merah ditumis terlebih dahulu dengan cabe rawit sampai harum. Kemudian masukkan daging sapi hingga setengah masak. Tahap selanjutnya tuangkan kecap manis dan terus diaduk diatas api sedang. Jika tidak diaduk, apalagi anda memasaknya dengan api yang besar, kecap akan menimbulkan aroma gosong, karena bagaimanapun kecap memiliki bahan dasar gula. Setelah daging masuk dan tercampur dengan bumbu-bumbu tadi, tinggal masukkan kentang yang sudah digoreng setengah matang sebelumnya, dan jangan lupa telur rebus. Tambahkan merica bubuk agar sedikit spicy. Setelahnya? Tinggal tambahkan air secukupnya agar semuanya tercampur rata dan daging masak sempurna. Tunggu hingga air tadi mendidih sempurna tanda semur siap dihidangkan dengan nasi panas. Wow! Makan malam murah meriah yang rasanya saya jamin enak!. Oh iya, semur memiliki dua tipe, basah dan setengah basah. Semur yang kami masak tipe setengah basah, artinya tidak memiliki kuah yang melimpah seperti yang biasa dimasak Ibu saya. Semur resep Ibu saya memiliki kuah yang setara dengan soto namun isiannya yang banyak mampu menyeimbangkan porsinya.

Semur mengingatkan saya pada Bapak. Ia menyukainya dan selalu lahap jika Ibu memasak menu kesukaannya dengan kentang, tahu, telur rebus dan soun. Teman terbaik dari semur daging yang biasa diracik Ibu saya tentu sambal tomat segar. Ah bagi saya, apapun yang masakan rumah yang diracik sendiri oleh seorang Ibu, rasanya selalu luar biasa. Apalagi jika bukan karena ada bumbu cinta didalamnya, tapi benar, tak ada masakan seenak racikan Ibu sendiri! Dan saya bersyukur memiliki Ibu yang jago masak! She is amazing! Jadi rindu masakannya :)

Menikmatinya dengan nasi basmati panas! O Yum! Semur ; Sedap dan Murah!
Lihat dagingnya! Yummy! Pastikan jika anda memasak daging, tingkat kematangannya harus sesuai dengan menu yang anda masak, dan tentu pilihan keempukan daging harus tepat!
Lumuran kuah semur diatas kentang goreng setengah matang! Nikmat!

Fellas, memasak sendiri itu nikmat, percaya saja!

Cheers.

I love you Sunset!

20120930-122401.jpg

Bagi saya sore punya maknanya sendiri. Dia memiliki keindahan luar biasa. Bagai pergantian waktu yang menenangkan saat matahari berpamitan menyudahi tugas hariannya.

Pekerjaan di industri event memperkosa waktu saya. Baru bisa disebut bayi di industri ini, namun satu tahun bagi saya cukup untuk bisa menyimpulkan bahwa pekerjaan yang saya pilih ini luar biasa menguras tenaga. Tidak, bukan tenaga saja, pikiran pula. Saya melewati tahun pertama dengan kesibukan luar biasa di Afrika. Mungkin jika boleh melebih-lebihkan kesibukan saya saat ini lima kali lipat dibanding saat saya bekerja di Surabaya. Ya, saya cukup sibuk. Bahkan bisa dibilang terlalu sibuk.

Saya butuh waktu tenang saat pikiran mulai penat. Dan jawabannya selalu sama, sore hari. Saya tidak peduli dengan cara apa saya menikmati sore. Tidak perlu waktu lama. Tidak perlu duduk di sebuah restoran, memesan makanan penutup dan secangkir kopi. Tidak pula duduk diatas pasir pantai meluruskan kaki telanjang dan menghadap ke arah barat. Bahkan sekedar melihat dari jendela kamar saat matahari mulai turun itu saja sudah cukup. Menghela nafas sambil bersyukur bahwa hari masih cerah untuk mengejar apa yang saya sebut sebagai cita-cita.

Dari dulu saya mengagumi saat dimana matahari mulai tenggelam dan berubah jingga. Bulatan besar yang memiliki pandaran warna yang selalu cantik menyatu dengan langit. Tuhan sungguh Maha Besar.

Saya rindu warung, rindu makanannya!

Warung menurut saya memiliki kekhasannya sendiri. Dan makanannya bisa jadi salah satu makanan terenak di dunia.

Sejak tinggal di Lagos, beberapa kali saya tersiksa kerinduan itu. Pergi ke warung, memesan apa yang saya inginkan, merasakan atmosfer sekitar dan carut marut yang menyertainya. Sebuah epik kehidupan yang berbanding lurus dengan budaya, adat dan lingkungan. Saya merindukannya namun sial tak banyak menebus kerinduan itu dua bulan yang lalu saat pulang. Terlalu banyak menuruti ego dengan beberapa hal yang tentunya sekarang, saya sesali. Sungguh.
Saya tak menyediakan cukup waktu untuk sekedar hunting makanan-makanan warung yang sejatinya memiliki keunikannya sendiri. Di Lagos tak pernah sekalipun melihat apa yang saya anggap ‘warung’ meskipun beberapa tempat mungkin bisa dikatakan warung. Namun bagi saya warung di Indonesia tak ada tandingannya. Sebagai perantau munafik jika saya tak menyebutkan warung sebagai salah satu tempat khusus yang dirindukan. Terlebih makanannya. Di Indonesia, kita bisa leluasa menemukannya kemudian duduk. Memesan apa yang ingin kita pesan. Merasakan atmosfer yang selalu berbeda di setiap warung. Mengeluarkan lembaran rupiah untuk menu yang rata-rata masih murah.

Kerinduan-kerinduan itu kemudian mulai saya tepis. Berusaha keras membuat daftar makanan warung yang saya ingin saya makan, kemudian melampiaskannya dengan memasak. Jalan keluar apa lagi yang bisa saya patahkan jika bukan memasak sendiri makanan yang saya rindukan. Tidak seperti di Amsterdam restoran Indonesia menjamur, jangan berharap banyak menemukannya di Lagos. Lagos lebih banyak menyediakan restoran cina disamping kedai-kedia makanan yang menawarkan olahan lokal. Sesekali jika capai dan bosan dengan masakan sendiri saya menyempatkan ke restoran cina sekedar hanya memesan salah satu tom yam terenak yang mereka jual. Jelas tidak setiap hari karena jika iya, dompet saya akan sekarat karena harga yang mereka kenakan pada rata-rata porsi mereka tiga kali lebih mahal dari makanan restoran di Indonesia. Sejatinya memasak makanan di rumah jauh lebih hemat meskipun tingkat kecapaian dan kerepotan tidak mudah untuk beberapa makanan. Tapi kecapaian dan kerepotan itu akan pupus jika kerinduan akan makanan warung, seperti yang saya bilang, makanan terenak di dunia berhasil disantap. Meskipun minus atmosfer. Makanan yang seringkali saya rindukan, bukan saya saja, teman flat saya pun begitu seperti mereka ini.

Pecel.

Bisa makan pecel di Afrika? Wow!

Sebagai perantau dari jawa timur, saya tidak kangen pecel selama disini? Bullshit! Pecel salah satu makanan andalan yang ada dibarisan depan makanan favorit saya. Rasa bumbu yang unik dan paduan sayur mayur sebagai bahan dasar tidak akan pernah bisa saya hiraukan. Saya beruntung memiliki ibu yang jago masak dan berbaik hati membuatkan anak bungsunya bumbu pecel siap pakai meskipun sebelumnya saya malas menyesakkan bumbu ini dikoper. Bumbu pecel ini sungguh obat mujarab menepis kerinduan akan makanan warung dan ibu saya tentunya.

Daging sapi diselimuti bumbu balado. Nendang!

Suatu sore saya kerasukan rindu akan pecel. Saya dan flatmate kemudian setuju memasak menu pecel semirip mungkin dengan pecel yang ada di warung. Kami memasak daging bumbu balado sebagai temannya. Daging sapi berbalur bumbu merah keemasan yang pedas sangat cocok disandingkan dengan pecel. Kami menyertai sayuran untuk pecel kami minus daun kemangi yang memang susah didapat di Lagos. Timun juga. Kami lupa membelinya. Ini bentuk nasi pecel yang kami santap malam itu.
Menyantap menu Indonesia di negara orang itu salah satu bentuk syukur yang teramat besar. Jika tinggal di negara yang masih menyediakan restoran Indonesia lain cerita, tapi menikmati pecel di Afrika tentu luar biasa indahnya.

Sate.

Menemukan sate sebenarnya tak sulit di Lagos. Restoran cina dan beberapa restoran fushion milik lebanese umumnya selalu menyediakannya. Tentu dengan harga selangit. Di malam yang berbeda saya melontarkan ide sate sebagai menu makan malam bersama kedua flatmate saya. Sate ayam!

Sate ayam.

Memasak sate yang tidak terlalu sulit akhirnya kami lakukan. Memulai dengan menyiapkan daging ayam yang ditusuk rapi dibalur dengan sedikit garam, jeruk nipis untuk menetralisir bau amis, dan bahan andalan, kecap! Bahan makanan yang mustahil saya temukan di Lagos. Jangan berharap bisa menemukan kecap disini karena yang saya temukan hanya soy sauce buatan Hongkong ataupun Cina yang bentuknya cair dan lebih mirip kecap asin.

Olah sate ala-ala.
Bumbu pecel buatan ibu tercinta :) nyum! Mencampurnya dengan selai kacang untuk bumbu cocolan sate, rasanya? no doubt on it!
Lihat tampilan sate saya, seperti beli di warung khan? Hehehe.
I cant live without Bango! :p

Kecap kedelai macam kecap Bango? Forget it. Hanya satu tempat kecap kedelai tinggal, di kedutaan! Itupun harganya ampun. Orang-orang kedutaan menjualnya dengan harga tinggi. Itulah kenapa setiap saya pulang kecap selalu memiliki ruang dikoper saya. Saya tak akan bisa hidup di Afrika tanpa kecap. Sate ayam buatan kami dibakar diatas teflon karena kami tak memiliki panggangan. Membakar diatas teflon dengan kompor sedikit mengurangi nilai kenikmatannya dibanding dengan membakarnya di tungku arang seperti di warung. Bumbu sate didapat dari perpaduan selai kacang dan bumbu pecel saya. Rasanya! Wow! Pasta kacang mensubtitusi bumbu kacang yang biasa dibuat penjual sate dan rasanya tak buruk. Kreatif ditengah keterbatasan. Rasanya tetap enak! Mungkin karena bawaan mood dan rindu, semuanya jadi nyum! :)

Ayam goreng kering.

Nyum! Crunchy!
Damn this is hot!

Ayam goreng kampung yang biasa saya dapatkan di warung dekat rumah, ah yang ini murah dan memanjakan. Ayam yang dilumuri garam, lada, jeruk nipis dan cabe bubuk kemudian digoreng kering. Dimakan dengan nasi panas dan sambal! Wow! Serasa makan di warung sungguhan. Dan cara makan terenak, seperti ini! Pakai tangan :D

Ini cara makan ternikmat! Pakai tangan!

Tahu goreng plus sambal!

Ya tahu. Makan nasi panas dengan tahu dan sambal terasi nikmatnya mengalahkan menu restoran dengan aneka platting dan namanya yang aneh2. Makanan sederhana ini luar biasa dengan harga yang ‘mahal’.

Tahu, menu sederhana namun jadi ‘mahal’ jika anda hidup di Afrika!

Tahu di Lagos bisa saya beli seharga 140 naira alias 8400 rupiah sepotong ukuran 5 x 15 cm dengan tinggi hanya 4 cm. Mahal sekali dibandingkan tahu yang sering saya beli di pasar tradisional di Indonesia seharga 300 rupiah dan dua kali lebih tebal dibandingkan tahu disini. Ya, semakin jarang bahan makanan ditemukan harganya semakin tinggi. Sayangnya saya hanya menemukan tahu dan memupus harapan bisa menemukan temannya, karya kuliner terenak di dunia, apalagi jika bukan tempe.

Lebaran di Negeri Orang (lagi)

Selamat Lebaran!

Dulu, selepas subuh bapak selalu sibuk menyiapkan pakaian yang akan dipakai untuk ke masjid. Ibu sibuk menyeduh opor ayam, dan kakak memotong puding sama rata untuk kemudian dihantar ke tetangga. Rumah yang kecil selalu riuh. Suara takbir dari radio tua semakin menyemarakkan suasana pagi seperti tahun-tahun biasanya. Suasana itu kembali tidak saya rasakan dua kali. Tahun lalu saya melewati Idul Fitri di Abuja, ibukota Nigeria. Kota yang jauh lebih tenang dari Lagos.

***

Pagi ini saya bangun lebih awal. Selepas subuh mulai menyiapkan baju yang akan dikenakan untuk sholat Ied. Berusaha melakukan hal yang sama seperti apa yang Bapak saya lakukan. Keceriaan lebaran memang pantas dibangun pagi hari sesaat sebelum ke masjid. Sialnya tahun ini saya tidak menemukan baju koko. Sepertinya baju itu tertinggal di Indonesia. Entah saya ingin mengenakan baju baru pagi ini. Kemeja coklat susu lengan panjang dan celana panjang warna camel untuk bawahan. Saya tak memilih sarung seperti yang saya kenakan saat Idul Adha tahun lalu. Sekedar mengingat apa yang saya kenakan saat itu, baju koko putih tulang dipadu dengan sarung merah hati. Tak dinyana apa yang saya kenakan menjadi perhatian banyak orang. Saya baru tahu ternyata disini mereka tidak mengerti sarung, dan jika adapun sarung dipakai oleh wanita. Bukan pria. Pantaslah, saat itu hampir semua mata tertuju pada sarung saya. Tak hanya muslim Afrika, muslim dari negara Arab semacam Iran pun melihat pakaian yang saya kenakan.

Pukul delapan kami bertiga berangkat menuju lapangan tempat kami sholat Ied saat Idul Adha. Sebuah police camp yang memiliki beberapa lapangan yang amat luas. Kali ini kami tak ingin mengambil resiko terlewat momen sholat Ied. Tahun lalu saya kurang beruntung, terlambat datang ke masjid akbar Abuja. Tahun pertama saya tidak merayakan lebaran di Lagos, melainkan di ibukota Abuja. Saat itu saya dan mas Andhi tak menyangka sholat Ied dimulai lebih awal dari biasanya. Kita tersadar saat melihat lautan manusia semburat ke arah berlawanan. Ah! Sedih rasanya. Melewati lebaran pertama di negeri orang dan tidak bisa sholat Ied. Pagi itu hujan rintik-rintik menambah kesedihan saya merayakan lebaran tanpa keluarga.

Namun, alhamdulillah kesedihan tahun lalu terbayarkan tahun ini. Sholat Ied disini dimulai amat siang, tidak seperti di Indonesia yang biasanya dimulai pukul enam – setengah tujuh pagi, disini, sholat Ied dimulai pukul sepuluh pagi. Untung cuaca bersahabat. Tak terik seperti biasa. Mendung dan teduh. Takbiran dikumandangkan sebelum sholat dimulai meski nadanya berbeda. Nada takbir surau-surau di Indonesia jauh lebih indah. Tahun ini sholat Ied nya amat meriah. Jauh lebih ramai dari sholat Ied saat Idul Adha. Saya cukup tersentuh dengan apa yang saya lihat disini, berbagai macam rupa, warna kulit, strata, semuanya menyatu di satu tempat untuk merayakan hari yang kita sebut puncak kemenangan. Sebuah selebrasi tahunan yang menyentuh. Saya mengamati beberapa anak kecil semangat datang bersama orang tua mereka masing-masing. Sungguh berwarna.

Suasana sholat Ied di Police Camp.
Anak afrika mengenakan peci saat sholat Ied.
Orang Afrika menyukai pakaian vibrant! :)
Mas Andhi dan mas Manito berfoto dengan Muhammad, security perusahaan, selepas sholat Ied.

Setelah sholat Ied selesai kami langsung menuju rumah. Pikiran kami hanya makan! Ya, makan. Opor ayam yang sudah kami masak sejak tadi malam siap disantap. Apalagi dua keik yang kita beli kemarin. Buah untuk dessert pun ada. Ah! Makan makan dan makan! Tradisi ini hampir sama seperti apa yang biasa saya lalui setiap lebaran dirumah. Mulai memakan opor setelah selesain sholat, bedanya tahun ini saya tak menyertakan puasa sunnah sebelum sholat Ied.
Opor ayam kali ini lebih terasa nikmat dibanding tadi malam, mungkin karena bumbunya sudah kawin dengan ayam dan santannya. Menikmatinya dengan sambal terasi dan serundeng benar-benar mengingatkan akan masakan Ibu yang super maknyus. Sungguh paduan yang sempurna meskipun basicly saya tak terlalu suka makan makanan bersantan. Setelah opor selesai saatnya menyerbu dua jenis cakes, cheese cake dan triple chocolate cakes. Dua keik itu benar-benar memanjakan lidah bagi penggemar dessert seperti saya. Cheese cake medium yang kami beli seharga N3300 atau sekitar 198 ribu rupiah (1 naira = 60 rupiah) rasanya tak terlalu eneg. Tak seperti cheese cake biasa yang kadang terlalu creamy. Untuk keik coklat lapis tiga sama, rasanya seimbang. Tak terlalu memuakkan seperti keik coklat biasa. Yang ini kami beli seharga N2200 atau sekitar 132 ribu rupiah untuk ukuran 30 x 20 cm. Mereka tidak cukup murah tapi worth untuk disantap di hari raya. Lagipula mereka berdua sesuai selera saya, keik yang tak terlalu manis untuk ukuran dessert. Perfect!.
Apakah kami berhenti sampai di keik? No! Kami melanjutkannya dengan mint ice cream limited edition dari Walls produksi Perancis. Es krim yang kami beli seharga N2000 cukup mahal untuk ukuran satu setengah liter. Namun kembali lagi, ini lebaran! ;) no worries for three of us. Coklat menjadi pelengkap lebaran sebagai camilan yang mantap. Sepanjang hari ini kami bertiga hanya ingin menikmati rumah dan terus makan! :) Benar-benar menikmati hari libur yang terbatas dengan makan.

Opor ayam untuk lebaran tahun ini! Yaiy! Yummy!
Triple choco cake!
Tiga lapis coklat yang yummy!
Cheese cake :)
Cheese cake, anyone :) ?
Mint ice cream dari Walls.
Limited edition! Heavenly!
Dessert, jelly dan buah! Segar!
Coklat! Camilan andalan :)
Sup sayur, empal dan telur asin untuk makan malam :)

Karena kami tak memasak opor dalam porsi besar, sore ini saya memasak menu paling mudah untuk makan malam dari bahan makanan yang masih ada di lemari es. Dan saya memilih sup sayur disantap dengan empal sapi yang saya masak basah, tanpa digoreng, dan…..telur asin! Ya, telur asin yang saya bawa hanya sepuluh biji. Makan malam yang lengkap! :) Sungguh bersyukur bisa menikmati makanan yang kami olah dari kekayaan kuliner Indonesia untuk lebaran tahun ini! Alhamdulillah.
Tahun lalu tidak ada perayaan karena saya dan mas Andhi berada di Abuja untuk menyelesaikan pekerjaan interior rumah pribadi menteri penerbangan Nigeria. Tahun ini saya, mas Andhi dan mas Manito sepakat merayakan lebaran lebih meriah meskipun tak ada tradisi ‘unjung-unjung’ ke tetangga. Bagaimana ‘unjung-unjung’ jika tetangga satu flat kami tidak ada yang muslim. Tapi tak apalah, menikmati lebaran di rumah juga tidak kalah asik. Terlebih saat kami meminta maaf pada keluarga melalui telepon kami masing-masing. Itu momen sederhana yang cukup menyentuh. Meminta maaf pada orang tua meskipun tanpa tradisi sungkeman. Dan saya belajar banyak saat harus hidup jauh dari keluarga. Salah satunya bisa lebih terbuka mengungkapkan rasa sayang terhadap keluarga yang dulu acap kali hanya disimpan sendiri.
Saya bersyukur dan menganggap itu sebuah hikmah pendewasaan diri.

Lebaran oh lebaran. Momen indah yang dirayakan setiap tahun oleh umat muslim diseluruh dunia. Kita bersama merayakan dengan cara dan keunikan masing-masing. Mungkin ada beberapa orang yang tak seberapa antusias menyambut lebaran, apapun alasan yang melatar belakanginya, namun, lebaran tetaplah lebaran. Momen dimana kita sebagai manusia sudah seharusnya mensyukuri seluruh nikmat alam yang kita dapatkan sepanjang tahun. Tuhan benar-benar Maha Baik.

Happy Eid Mubarrak for all over moslems around the world! 
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham! :)

Ramadhan Kembali Berakhir di Lagos.

Sepuluh hari di Indonesia dan sisanya terlewati di sini, Lagos. Tahun ini saya kembali mengakhiri bulan ramadhan di luar. Tak terasa bulan puasa indah ini berpamitan pelan-pelan.

Buka puasa untuk terakhir kalinya sudah dilewati setengah jam tadi. Delapan belas Agustus. Besok lebaran. Ya! Lebaran.

Pagi tadi selepas subuh saya masih bertugas merampungkan pekerjaan hingga pukul dua siang. Set desain untuk sebuah peragaan fesyen anak-anak. Di Lagos libur lebaran sangat terbatas. Dua tahun lalu saya sempat merasakan libur seminggu saat masih di Surabaya, sekarang? Saya hanya dapat sehari setelah hari raya.

Hari ini saya pulang lebih awal seperti hari Sabtu biasanya. Itu berarti memiliki kesempatan untuk berbelanja bahan makanan untuk menu lebaran. Bersama flatmates saya menuju Goodies, supermarket dekat kantor. Ayam, salad dressing, beberapa snack, beberapa minuman, dan sayuran. Sepulang dari venue tadi siang kami menyempatkan mampir membeli dua buah cakes di tempat favorit kami, The Chocolate Royale di Victoria Island. Satu buah Vanilla Cheese Cake dan Triple Chocolate Cake untuk memeriahkan perayaan lebaran yang hanya akan dihabiskan dirumah.

Setibanya di rumah kami langsung memasak untuk buka puasa terakhir. Kami menginginkan menu yang lumayan lengkap dari biasanya. Hitung-hitung pesta kecil sebelum esok. Kami pun membagi tugas malam ini. Flatmate-ku, mas Andhi, memulai dengan opor. Ya, kami sepakat membuat opor ayam untuk disantap esok pagi setelah sholat Ied. Temannya? Tentu kami tak akan melewatkan teman terbaik dari opor, sambal dan kali ini sambal terasi. Sebagai orang Indonesia yang jauh dari rumah, sambal merupakan salah satu obat mujarab melumpuhkan kerinduan akan masakan rumah. Dan membawa terasi sama pentingnya membawa paspor, menurut saya. Rasa sambal kali ini nendang, komposisi terasi, garam, gula, bawang merah, bawang putih, tomat dan cabe rawit Afrika yang terkenal membakar lidah amat pas.

Ayam rempela pedas.
Salad.
Dressing.

Saya ingat satu hal! Kerupuk udang yang saya bawa setahun lalu masih tersisa beberapa. Goreng! Ini tugas mas Manito. Dan ah indahnya, tahun ini saya memiliki serundeng kelapa buatan ibu tercinta. Semakin semangat menyambut lebaran. Satu setengah jam masakan untuk malam ini selesai. Kami menunggu buka puasa. Saya sibuk mengambil gambar untuk blog ini, passion saya selain mendesain.

Akhirnya adzan berkumandang dari salah satu aplikasi islam yang terinstal di iPad. Mendengarkan adzan dari perangkat pintar itu tentu berbeda dengan mendengar kumandang live seperti yang selalu saya dapatkan selama di Indonesia. Saya harus kreatif mencari cara agar tak kalah dengan keterbatasan. Kebetulan flat saya tak dekat dengan masjid, dan juga di Lagos saya lebih mudah menemukan gereja daripada masjid. Adzan telah berkumandang artinya puasa berakhir. Puasa terakhir telah berakhir malam ini. Kami bertiga menyantap lahap satu persatu menu yang tertata rapi di meja. Baguette, salad, ayam dan rempela hati pedas sisa kemarin, sambal terasi yang menggoda, kerupuk udang dan teh manis hangat. Oh Tuhan, apa ada nikmat berbuka puasa di luar negeri yang lebih indah daripada ini? Kami benar-benar harus bersyukur. Harus.

Kami memulai buka puasa dengan appetizer, Baguette yang terpotong rapi beserta cocolan yang creamy. Mas Andhi membuatnya dari campuran mentega, bawang putih, garam dan mayonaise. Akhir-akhir ini kami kegandrungan Baguette terlebih mas Andhi. Sejak kepulangannya dari Spanyol dan Belanda kemarin, dia keranjingan menu Eropa. Opor yang semula direncanakan akan dimakan esok ternyata tak bertahan lama. Kami tak kuasa mencicipinya. Apalagi rasanya kawin dengan pedasnya sambal terasi. Kerupuk dan serundengnya menjadi pelengkap yang sempurna. Kurma yang seharusnya menjadi takjil, malah saya makan sebagai pencuci mulut. Bagaimana nasib  salad? Kami tak kuasa menyantapnya malam ini dan terpaksa harus disimpan di lemari es untuk besok.

Baguette.
Garlic creamy dressing.
Serundeng buatan Ibu tercinta.
Mas Andhi beraksi dengan sambal terasi.
Terasi, sama pentingnya seperti paspor :)
Resep sambal terenak di dunia, Terasi! :)
Kerupuk udang, pelengkap opor yang maksimal :)
Teh manis hangat, pasangan makan ternikmat.
Bukan sebagai takjil, malah menjadi pencuci mulut :)

Dan Alhamdulillah. Tuhan Maha Besar. 
Kami sadar ini malam istimewa. Malam takbiran. 

Tak ada suara takbiran. Menyedihkan. Tapi saya tak akan membiarkan larut dengan keterbatasan. Mungkin ini kedengaran norak, tapi memainkan lagu Selamat Lebaran dari Ungu bukan pilihan buruk. Kami mendengar beduk di aransemen mereka, beserta intro yang kami rindukan ‘…Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…..’. Saya merinding. Kesedihan dalam hati tak bisa saya acuhkan. Saat di Indonesia surau-surau berlomba mengumandangkan takbir. Gema takbir yang selalu magis menandakan kita harus ikhlas melepas ramadhan. Saya ingat Bapak saya selalu mengumandangkannya di musholla dekat rumah. Ah, saya benar-benar rindu suasana itu. Tapi tak apa, takbir dari iPad cukup menghibur.

Selamat Lebaran dari Ungu.
Aplikasi andalan untuk mendengarkan adzan.

Setelah menyantap menu buka puasa kami pun mulai santai sambil mengobrol renyah. Tak jarang kadang membahas keunikan perayaan lebaran di Indonesia yang tiada duanya.
Esok saya akan merayakan lebaran di Lagos untuk kedua kalinya. Lebaran yang tentunya atmosfernya berbeda dari kampung halaman. Jauh dari hingar bingar tradisi. Tradisi dan budaya Indonesia yang melebur didalam momen semagis lebaran memang tak akan pernah bisa ditemukan ditempat manapun di belahan dunia ini. Tradisi dan budaya itu murni lahir dari sejarah. Dan takkan pernah bisa terbeli. Ada kesedihan karena tahun ini tidak bisa merasakan atmosfer malam takbiran, tetapi saya tetap harus tegar karena perjuangan dalam hidup selalu memiliki harga yang harus dibayar.

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar…..Lailahaillallah Huallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…

Selamat lebaran!
Selamat bagi seluruh umat Islam di belahan dunia manapun.