Bahagianya Pulang! (Bagian 2, Selesai)

Lagos – Dubai.

Saya sudah duduk manis di dalam pesawat. Seperti halnya penerbangan dari Dubai ke Lagos, penerbangan sebaliknya ini tak selalu ramai. Beberapa kursi tampak tak ada yang memiliki. Saya duduk tepat di barisan kursi sebelah kiri, dekat jendela. Siang hari cahaya dari luar nampak sangat kuat menembus jendela membuat saya terpaksa menutupnya. Pesawat saya mulai take-off. Bahagia yang sesungguhnya pun dimulai.

Saya mulai menaruh headsets di kedua daun telinga, menikmati musik dari playlist ponsel saya sendiri. Bahagia kecil terjadi lagi saat waktu menikmati makan siang tiba. Saya belum seribet sekarang saat melihat makanan-makanan bagus ada di depan mata. Saat itu saya hanya menikmati complete meal  mulai dari nasi hingga dessert-nya. Mousse coklat Emirates memang juara. Sungguh lumer di lidah.

Saat hari sudah sore, saya mulai membuka jendela di samping untuk menikmati sore dari ketinggian saat awan-awan yang mirip kumpulan kapas itu mulai menguning. Senjanya cukup indah hari itu. Saya tidak memperhatikan layar di depan saya sudah berada di ketinggian negara mana. Yang jelas, bisa menikmati senja di ketinggian, staring up my window dan sadar bahwa saya berada di pesawat dalam perjalanan pulang itu bisa jadi bahagia kecil lainnya. Hari mulai gelap, saya mulai mengantuk. Mata saya sepertinya meminta tanggung jawab untuk dipejamkan. Jam tidur yang terganggu sehari sebelumnya berhasil saya tebus. Jaket tebal tidak cukup mempan mengurangi dinginnya temperatur di dalam pesawat. Namun saya tetap terlelap tidur. Sesekali bangun untuk memastikan saya sudah melewati negara mana saja. Dan yang terpenting pukul yang berlaku detik itu selalu saya perhatikan.

Tidak terasa saya sudah bangun dengan badan yang lebih segar. Layar di depan menunjukkan Dubai sudah dekat. Saya mulai menyesuaikan waktu setempat dengan jam tangan abu-abu yang melingkar di pergelangan kiri. Tujuannya tentu saja agar saya update dengan zona waktu yang berlaku saat itu. Ini penting sekali agar saya selalu waspada dengan jadwal penerbangan selanjutnya.

Pesawat tiba di Dubai. Pagi sekali, beberapa menit setelah melewati pukul dua belas waktu Dubai. Bandara masih sibuk meski tak segila pagi dan siang hari. Saya bersemangat mencari terminal selanjutnya dengan langkah yang lebih mantap. Saya harus memastikan jam penerbangan dan titik terminal saya tepat. Setelah saya yakin dengan jam terbang selanjutnya dan tentu saja letak terminalnya, saya kembali menyusuri bandara yang sekilas seperti mall itu dengan langkah tergesa-gesa. Waktu transit saya ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada di tiket saya. Saya hanya memiliki sekitar satu setengah jam dari tiga jam yang tertera di tiket. Sial!

Saya menyusuri beberapa toko setelah berhasil menukar dollar ke dirham. Tidak banyak barang yang saya beli, hanya beberapa benda kecil yang menurut saya unik dan ringan. Sempat mampir ke kedai Starbucks sebentar dan mencomot mug serta botol minum berhiaskan Burj al Arab. Selain itu, toko yang memajang beberapa pernak-pernik khas negeri kaya itu berhasil menggoda saya. Beberapa magnet lemari es, gantungan kunci, miniatur hotel milik Dubai yang menjulang, dan beberapa suvenir berukuran mini saya pilih. Oh ya, saya sempat bertemu kembali dengan gadis Iran di salah satu gerai parfum ternama.

Sebenarnya saya belum puas mengelilingi bandara, namun karena tak ingin mengambil resiko terlambat check-in, akhirnya saya putuskan kembali ke terminal yang sudah nampak sangat penuh. Penuh dengan orang-orang negeri sendiri yang akan pulang, selebihnya orang-orang barat yang transit disana setelah penerbangan dari Amsterdam.

Ah, saya semakin dekat dengan Jakarta. Kali ini saya harus menempuh delapan hingga sembilan jam lagi. Pesawat dari Dubai ke Jakarta selalu sesak. Kali ini saya tak cukup beruntung duduk di spot favorit saya. Seorang Jerman duduk di dekat jendela. Disampingnya seorang Belanda dan setelahnya baru saya. Penerbangan saya saat itu was the best ever, tentu karena kepulangan pertama. Saya tak henti melihat layar dimana pesawat sudah melewati India, kemudian ke arah timur lagi dan lagi hingga menunjukkan sudah diatas Malaysia. O gosh it was so fantastic! Saya akan tiba di Jakarta.

***

Jakarta-Surabaya.

Akhirnya, sumringah saya ada pada titik tertinggi, Jakarta! Saya berhasil mendarat di negara sendiri setelah sebelas bulan lamanya.

Tiba di Jakarta, artinya beberapa jam lagi saya akan tiba di kampung halaman. Keluar dari pesawat masih setengah tidak percaya, Indonesia!. Terdengar norak ya? Ah anda mungkin belum bisa merasakan apa yang saya rasa saat itu. Setelah melewati imigrasi, saya langsung menuju tempat penukaran uang. Saya tak memiliki rupiah yang cukup untuk pulang.

Tiket Jakarta-Surabaya yang sudah di tangan sejak tiga hari sebelum saya tiba, menunjukkan penerbangan ke Surabaya pukul 7 malam. Cukup lah, tak terlalu malam. Tapi….sial sekali! Pesawat saya delayed hingga pukul sembilan dan terus hingga akhirnya berangkat pukul sepuluh. Artinya saya akan tiba hampir tengah malam, rrghh! Saya mencoba menikmati setiap momennya. Menapaki jalan menuju pesawat saat itu benar-benar membahagiakan. Sejam perjalanan ke Surabaya tidak saya lewatkan dengan tidur meski mata saya setengah ngantuk. Akhirnya ya akhirnya! Surabaya!

Selesai dengan urusan koper tiga puluh kilo itu, saya mencari muka seorang yang sudah memaki-maki saya sejak perbincangan via bbm di bandara Lagos. Tak lain tak bukan, manusia yang menasbihkan sebagai orang paling kaya, si Ruli. Setelah beberapa menit mencari batang hidungnya akhirnya ketemu juga. Gila! Ia tambah tambun, hahaha! Makian-makian Ruli tak akan pernah habis, bahkan sampai di warung tempat kami menikmati rawon tengah malam, warung di depan JW Marriot. Sebenarnya saya memilih bakso sebagai makanan yang harus dinikmati pertama kali, tapi rawon juga bukan pilihan buruk. Apalagi…apalagi…saya bertemu dengan tempe! Jiah tempe! Fav food ever! Plus kerupuk putih. Nikmat sekali.

Setelah selesai ‘ngewarung’ dini hari akhirnya saya sampai juga di kampung. Ow no, dini hari melenggang di kampung sendiri dan….waktunya knocking doors! Ini lucu. Mengetuk pintu rumah, yang ada bapak saya yang membukanya. Kedengaran dari dalam ia ngomel kecil, “siapa tamu pagi-pagi begini…” jiah…tak dinanya saat pintu terbuka…”oh, kamu…” hahaha. Kalau diingat lucu juga ya! Setelah bapak, giliran mengagetkan ibu yang terlelap tidur. Saya ‘jawil’ beliau, setengah tak sadar matanya terbuka perlahan dan…..jiah ini lebih dramatis sedikit, beliau langsung terbangun dan memeluk saya. Matanya berkaca-kaca, mungkin beliau rindu sebelas bulan tak melihat batang hidung anak bungsunya.

Malam itu, oh bukan pagi, pagi itu pagi pertama di rumah, berbincang sebentar dengan bapak, ibu dan kakak saya yang terbangun karena kedatangan dadakan saya. Kami mengobrol ringan hingga pukul 2. Setelah itu saya ingin tidur di kasur! Meskipun agak sulit karena jetlag. Ah akhirnya…rumah.

Saya menghabiskan cuti saya sebulan yang lebih terasa seperti seminggu itu dengan maksimal. Kenyataannya sih tak terlalu maksimal jika saya ingat lagi. Tiga hari dihabiskan di alam terbuka dengan Maya, Ruli, Winda dan Ayos. Selebihnya banyak disibukkan dengan jalan-jalan dan bertemu dengan teman-teman kerja dulu pun sahabat-sahabat saya. Menghabiskan waktu dengan keluarga sedikit sekali, itu kesalahan saya yang saya janji…insyaallah tak akan terulang tahun ini. Saya sudah punya daftar baru tentang apa saja yang akan saya kerjakan untuk cuti tahun ini. Oh, pulang!

Sebentar, biar lebih sahdu saya putar dulu Home-nya Michael Steven Bublé yang tak pernah gagal membuat khayalan rumah di depan mata. Sepagi ini berpikiran pulang, jiah tak boleh ah!

Bahagianya Pulang 1

Bahagianya Pulang 2

Bahagianya Pulang 3

Bahagianya Pulang 4

Bahagianya Pulang 5

PS : Foto-foto terlampir diatas itu beberapa buah tangan yang saya beli, tidak semua bisa saya tunjukkan disini. Saya baru sadar bahwa saya tak banyak memiliki potret tahun lalu, jadi beberapa di postingan ini lah yang berhasil saya temukan di hardisk. Tak apalah, tahun ini akan saya posting lebih detail dengan foto-foto yang lebih menarik. Ah saya jadi tak sabar ke Lekki Market di Ikoyi, tempat saya menemukan kerajinan asli Afrika, kemudian belanja lebih kalap di Dubai nanti. Nanti…kalau saya pulang, bukan nanti beberapa jam kedepan hehehe. Sebentar, saya lirik dulu dompet saya *kemudian hening….

Paris Itu.

Entah mengapa saya ingin menulis secuil mimpi tentang Paris, kota indah milik Perancis itu.

Terlalu banyak hal indah yang sering ditulis dan diceritakan oleh jutaan manusia tentangnya. Terlalu banyak potret kota yang termahsyur dengan modenya itu menghiasi halaman depan mesin pencari. Terlalu banyak tulisan perjalanan para blogger yang pernah menginjakkan kaki disana, dan terlalu banyak pula cerita-cerita spontan yang pernah diutarakan beberapa teman saya tentang Paris.

Paris adalah Paris. Indah dan akan selalu indah disetiap sisinya. Musim dingin saja wajahnya masih sangat indah, apalagi musim semi. Musim panas mungkin waktu paling sempurna untuk menikmatinya meski musim gugur tak kalah menyuguhkan pengalaman berbeda di setiap sudut kota.

Kedai-kedai kopi kecil yang menyajikan cappucino dan croissant, macarons dari Ladurée atau Pierre Hermé , bangunan-bangunan dengan detail sempurna di setiap sisinya, buah-buahan segar yang terhampar indah di pasar tradisionalnya, champange mungkin, dan menara menjulang itu pastinya, semuanya tersusun rapi dalam things-have-to-do saya.

Suatu saat saya akan membaca kembali postingan ini di Paris. Saya selalu percaya setiap hal besar harus diawali dengan langkah kecil. Barangkali seperti postingan ini. Bagaimana bisa saya memalingkan Paris seperti ini. Ah, Anda bersedia mengamini? Saya menyukai anda seketika.

Paris Itu 1

Paris Itu 2

Paris Itu 3

Paris Itu 4

PS : Foto pertama itu salah satu scene Begin Again, sebuah klip seorang penyanyi country ternama yang mengambil setting di Paris. Saya terkesima dengan peta, espresso serta cangkir kecilnya. Sedang Sweater yang saya sisipkan di postingan ini adalah sweater yang belum pernah sekalipun saya pakai. Saya hanya menyimpannya hingga kini. Belum tahu akan dipakai kapan. Saat melihatnya saya menyematkan niatan kecil akan memakainya suatu waktu saat musim panas tiba. Musim panas yang teramat berbeda dari apa yang selama ini saya rasakan. Musim panas yang bahkan anginnya masih bisa membuat badan menggigil kecil. Musim panas itu di Paris. 

6.50 pm

There’s a sunrise and a sunset every single day, and they’re absolutely free. Don’t miss so many of them.

Yesterday 1

Yesterday 2

Yesterday 3

 I captured these before I went for pray, I stopped, took camera, captured them and felt better because I believe that God is awesome, could draw colours for sunset differently everyday. I do love sunset as always, there is a peace on it.

Ranukumbolo Accomplished {Day 3, Finally}

Indonesia. I proud you!
Indonesia. I proud you!

Pagi itu kedua mata saya silau meski tenda menaungi sepanjang malam. Sinar matahari membangunkan kami berlima di suatu pagi terakhir di Ranukumbolo.

***

Kami bangun sekitar pukul sembilan. Pagi itu matahari amat cerah sedang hawa sekitar masih terlalu dingin. Bangun tidur dari tenda mendapati danau yang tenang dengan kabut diatasnya itu istimewa. Langit biru tak kalah cerah. Kabut yang menggumpal diatas danau membuat saya buru-buru mengarahkan kamera seakan tak ingin melewatkan kesempatan mengabadikan Ranukumbolo. Pagi itu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dibanding dengan pagi yang selalu saya lewati di Lagos. Tenang dan segar tanpa beban-beban pekerjaan yang biasa menggumpal di pikiran.

Tak lama setelah bangun, saya sudah ditagih Ayos menu apa yang akan menjadi sarapan kami berlima. Itu bukan pertanyaan aritmatika yang susah dijawab :P, karena saya sudah memiliki kunci jawabannya. Saya mencari spaghetti sembari berusaha menemukan saus bolognese siap pakai bersama Winda. Maya dengan ikhlasnya menuju danau untuk mencuci peralatan sisa memasak semalam. Setelah mendapati peralatan masak yang sudah bersih, saya berlagak sebagai koki gadungan. Saya memulai dengan merebus air yang diambil Maya dari danau, sementara Winda menyiapkan saus bolognese siap pakai. Tak lama setelah selesai merebus spageti, Winda kembali menyibukkan diri memotong dadu keju cheddar sebagai pelengkap sarapan kami. Saya tak akan pernah lupa kehebohan yang kami ciptakan setelah sarapan kami matang. Maya dan saya menciptakan sedikit kecongkakan dengan membandingkan sarapan kami dengan ‘tetangga’ yang hanya memasak mie instan. Sepertinya kami memang kerasukan ‘kesogehan’ Ruli hingga tak malu menyombongkan sarapan spaghetti abal-abal. Ah tapi saya benar-benar menikmati gelar tawa pagi itu.

***

Pukul sebelas kami mulai membereskan barang yang kami bawa kedalam ransel masing-masing. Kami beranjak meninggalkan Ranukumbolo. Kali ini raga kami tak disiksa dengan beban ransel karena dua potter yang disewa Maya. Kami menuju arah pulang.

Selalu ada kesempatan untuk melakukan salah satu sesi menarik dari setiap perjalanan. Apalagi jika bukan berfoto ria di sepanjang jalan setapak yang kami lewati untuk turun kembali ke Ranupani. Beberapa kali kami berhenti untuk berfoto. Salah satu foto favorit saya adalah saat kami berempat mengambil gambar dengan latar belakang Semeru. Perjalanan pulang kami lewati dengan perasaan lega. Formasi kami masih sama, Ayos dan Winda memimpin di depan sedang Maya, Ruli, saya dibelakang. Menapaki jalan setapak dibumbui humor Ruli dan Maya benar-benar mewarnai perjalanan pulang. Banyak hal yang kami ceritakan meski napas sudah ngos-ngosan. Saat itu kami masih saja bertemu (lagi) dengan tetangga yang kebagian spageti tadi. Maya kemudian membuat saya tertawa dengan asumsinya bahwa mereka sengaja dekat dengan kita agar dapat jatah makan. Hehehe it was so funny May!. Perjalanan pulang terasa lebih cepat daripada saat kami mendaki. Kami tiba kembali di Ranupani sekitar pukul tiga sore.

***

Setelah meregangkan otot-otot kaki dan memanjakan perut dengan makan siang di warung setempat, kami buru-buru kembali ke rumah Bapak Sinambela, tempat kami menginap sebelumnya. Kami membersihkan kaki dan mengecek kembali isi ransel sebelum sebuah hardtop merah mengangkut kami berlima untuk kembali ke kota. Dan (lagi-lagi) kami satu hardtop dengan tetangga (setia) kami. Oh tidak, bukan hanya satu hardtop, satu angkot pula menuju terminal hehehe.

Pukul empat sore lewat kami berlima sudah di dalam bis menuju Surabaya. Perjalanan kembali menuju stasiun sedikit mencemaskan. Sepertinya Maya dan Winda kurang beruntung tak bisa mengejar kereta yang akan membawa mereka kembali pulang. Sore itu perjalanan dari Malang ke Surabaya sedikit macet sehingga mengharuskan Maya dan Winda merelakan tiket kereta eksekutif hangus begitu saja. Sesampainya di terminal, Maya dan Winda dibantu Ayos sibuk mencari penerbangan terakhir yang bisa membawa mereka ke Jakarta malam itu juga. Setelah berkutat hampir satu jam di terminal Bungurasih yang sibuk dengan berbagai rupa manusia, akhirnya Maya dan Winda berhasil mendapat last flight ke ibukota. Tentu harga penerbangan sedikit membuat mereka berdua mengerutkan dahi.

Kami akhirnya berpisah di terminal Bungurasih. Maya dan Winda harus kembali ke Jakarta sementara Ayos, saya dan Ruli kembali menuju kos. Malam itu saya agak berat menjabat tangan Maya dan Winda dan berandai kebersamaan kami berlima bisa lebih lama hehehe. Malam itu saya sadar satu hal. Menikmati pagi dengan angin semilir, danau yang tenang, langit biru, teman-teman yang menyenangkan adalah quality time yang perlu dijaga. Thank you guys!

Simply breathtaking.
Simply breathtaking.
Lovely morning at Ranukumbolo.
Lovely morning at Ranukumbolo.
Beautiful.
Beautiful.
Sesaat sebelum packing!
Tenda kami.
Maya ada paparazi! hehehe.
Maya ada paparazi! Eh disini Maya seperti ibu kos ya hehehe.
Winda was cooking sauce for our spaghetti!
Winda was cooking sauce for our spaghetti!
Our breakfast that time.
Our breakfast that time.
Maya dan saya menggigil tapi tetap gaya, hehehe.
Maya dan saya menggigil tapi tetap gaya, hehehe.
Ruli - Winda - Maya.
Ruli – Winda – Maya.
Ayos dan Winda. So sweet.
Ayos dan Winda. Tsah.
Foto perjalanan pulang.
Foto perjalanan pulang.
Winda - Maya.
Winda – Maya.
Foto! Wajib nih yang beginian.
Foto! Wajib nih yang beginian.
Foto sama abang-abang potter-nya Maya.
Foto sama abang-abang potter-nya Maya.
Wow we could see clouds! Amazing!
Wow we could see clouds! Amazing!
Ayos - Winda - Ruli - Maya. Like this picture.
Ayos – Winda – Ruli – Maya. Like this picture.
Ayos - Winda - Ruli dan saya.
Ayos – Winda – Ruli dan saya.
Semeru.
Semeru.
Yah bertemu tetangga kita lagi May!
Yah bertemu tetangga kita lagi May!
Semakin dekat dengan Ranupani. Kami kembali.
Semakin dekat dengan Ranupani. Kami kembali.
Tiba waktu pulang. Kami menuju rumah Bapak Sinambela sebelum benar-benar meninggalkan desa Ranupani. That day was so bright, wasn't it?
Tiba waktu pulang. Kami menuju rumah Bapak Sinambela sebelum benar-benar meninggalkan desa Ranupani. That day was so bright, wasn’t it?
Sampai di Ranupani ketemu ini. Yummy! Santap!
Sampai di Ranupani ketemu ini. Yummy! Santap! For sure tanpa saus ‘tomat’ merah dibelakangnya hehehe.
Naik ini...hmmm... adventurous!
Naik ini…hmmm… adventurous!
Maya dan Winda. Lelah.
Maya dan Winda. Lelah.
Lihat ekspresi Maya. Apakah ia kesal masih satu angkutan dengan 'tetangga' kita? Saya mengambil ini saat kami dalam perjalanan pulang menuju terminal bis yang akan membawa kita kembali ke Surabaya.
Lihat ekspresi Maya. Apakah ia kesal masih satu angkutan dengan ‘tetangga’ kita? Saya mengambil ini saat kami dalam perjalanan pulang menuju terminal bis yang akan membawa kita kembali ke Surabaya.

Rasanya saya tak akan kapok mendaki sepuluh kilometer menuju dan sepuluh kilometer lagi meninggalkan Ranukumbolo. Semuanya worth it. Tahun depan? Rinjani buka pilihan buruk bukan? Pertanyaannya? Kuatkah kami? :P

Sayonara 2012.

Sayonara 2012.
Sayonara 2012.

Tiga hari lagi.

Tahun ini akan berakhir. Apa yang saya dapat? Apa yang tak bisa saya dapatkan? Coba saya ingat.

2012 seperti tahun nano-nano buat saya. Tahun dimana banyak hal baru yang bahkan tak pernah saya bayangkan sebelumnya berhasil saya lewati. Saya akan mengingat dari awal.

Mengawali perayaan tahun di luar, bukan bersuka cita. Bukan berada di kerumunan manusia yang merayakannya dengan hura-hura, kembang api, gelar tawa, dan semacamnya. Saya tetap bekerja. Bahkan di malam tahun baru dan hari-hari setelahnya. Awal tahun yang berat. Sepertinya begitu.

Awal tahun 2012 sempat merasakan Lagos lumpuh total selama hampir sepuluh hari (hanya) karena adanya penghapusan subsidi bahan bakar. Harga bbm pun naik drastis hingga menyebabkan kondisi negara sedikit tidak kondusif. Bisa dilihat dari kota yang amat lengang, seperti kota mati. Bahkan ada kemungkinan saya dipulangkan sementara. Untungnya tidak. Meski saya berharap iya, hehehe bisa terbang kembali ke Indonesia dan….leyeh-leyeh di rumah dengan gaji tetap hingga saya bisa kembali kesini.

Tahun 2012 tahun di mana saya belajar lebih mandiri sebagai seorang dewasa awal. Meninggalkan rumah dan menantang diri untuk bisa survive di medan yang sungguh tidak mudah. Rintangan dan rasa tak nyaman kerap membisikkan godaan untuk menyerah. Tapi saya kira saya cukup berhasil mematahkan sekumpulan pikiran buruk pun lelah yang menumpuk, menjadi semangat.

Pertengahan tahun 2012 yang masih saya ingat betul ; salah satu perasaan paling membahagiakan tahun ini. Memandangi pesawat besar yang akan membawa saya pulang. Di ruang tunggu bandara beberapa detik setelah saya mengakhiri percakapan siang itu dengan seorang gadis Iran. Tak berhenti di sana. Tahun 2012 ini pula I could feel mesmerising feeling yang teramat luar biasa saat landing di Soekarno Hatta. Hati saya takjub setengah tak percaya bisa melewati satu tahun perjuangan di benua hitam. Benua yang mungkin sebagian besar manusia normal acuh dan memalingkan muka. Saya? Berpikir terbalik. Bersyukur. Bersyukur bisa mencuri kesempatan dan setumpuk pengalaman yang mungkin tak akan pernah dialami oleh sekumpulan orang-orang acuh itu. Serius. Meski tentu tak mudah sama sekali.

Tahun 2012 ini pula saya bisa membuka mata lebih lebar tentang arti persahabatan. Bisa bertemu kembali di bandara Juanda dengan seorang sahabat yang menyertai perjuangan saya hingga mencapai titik ini. Malam itu juga bisa dibilang salah satu momen terbaik. Menyempatkan ke bandara di waktu yang hampir pagi (lagi) hanya untuk menjemput saya bisa jadi hal yang berat jika ia bukan sahabat saya. Thank you dude.

Saya ingat momen menikmati makanan di warung pertama kalinya. Momen itu terjadi beberapa jam setelah mendarat di Surabaya. Seporsi rawon setan lengkap dengan tempe dan kerupuk putih plus es degan. Serius, selama sebelas bulan tinggal di Lagos, saya belum bertemu dengan es degan. Kesimpulannya, hidangan tengah malam itu benar-benar nikmat. Lebih nikmat lagi karena saya mentraktir sahabat saya yang ‘katanya’ super kaya itu. Hehehe.

Melewati pagi pertama di Surabaya beberapa jam setelah terbang selama dua puluh jam dari benua lain tentu ada di daftar momen terbaik tahun ini. Apa itu? Mengejutkan Bapak dengan beberapa ketukan sebelum akhirnya pintu rumah terbuka. Saya menyukai momen itu. Kenapa? karena sebelumnya beliau tak tahu saya akan kembali ke Indonesia. Begitu pintu terbuka, saya meraih tangan kanannya dan menciumnya. Salim hehehe. Oya, lucunya Bapak saya sebelumnya ngomel karena tak habis pikir ada tamu pagi-pagi buta. Pukul satu pagi lagi. Saya mendengar omelannya sebelum beliau membukakan pintu. It was a funny morning. Early morning lebih tepatnya.

Masuk kembali ke rumah kecil yang sesak dengan perabot-perabot yang masih saja sama menjadi perasaan terbaik pula yang harus diingat tahun ini. Membangunkan Ibu yang sedang tidur terlelap. Hal pertama apa yang saya dapat saat mata beliau terbuka? merasakan pelukan erat darinya. Saya melihat air mata menetes dari kedua matanya. Mungkin ia terharu mendapat kejutan konyol dari anak bungsunya yang pulang dari negeri antah berantah, hehehe.

Apalagi ya momen terbaik yang bisa layak saya ingat?. Oya, mengejutkan teman-teman terdekat adalah salah satu momen yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Menyebalkan untuk mereka, menyenangkan untuk saya. Yang paling diingat adalah mengejutkan sahabat saya yang lain, yang berhasil saya kibuli. Kronologisnya seperti ini : saya berpura-pura menanyakan suatu alamat dengan helmet dan slayer masih menempel di kepala dan wajah saat sahabat saya itu sedang menunggu jemputan pulang. Ia membalikkan badan, kemudian sempat tertegun beberapa detik. Saya sengaja tak banyak bicara hingga akhirnya ia menjerit kegirangan setelah berhasil menganalisa tatapan mata saya beberapa menit. Jeritannya itu mungkin tanda ia terkejut luar biasa setengah tak percaya, sahabat yang ia kira akan pulang akhir tahun ini mendadak ada dihadapannya sore itu. That was an awesome moment!.

Reuni kecil-kecilan bersama teman sekantor dulu juga tak kalah menarik. Oya, bisa disebut reuni kah jika ketemuannya lebih dari satu kali? Hmmm, saya pikir tidak. Yang ada dompet saya malah menipis. Hahaha! Kampret! Anyway, melihat mereka sehat saja saya bersyukur. Sungguh. Kumpul-kumpulnya penting juga kok, at least karena kami tak bertemu selama setahun.

Tahun 2012 pula saya merasa seperti seorang pengangguran yang keren selama sebulan. Tepatnya bulan Juli kemarin. Bisa leyeh-leyeh di kedai kopi siang hari bersama kakak saya tanpa harus berpikir pekerjaan, mentraktir Bapak secangkir kopi dan croissant. Berduaan pula, momen langka. Beberapa kali keluyuran bersama seorang sahabat saya yang lainnya. Yang ini sahabat yang saya punya sejak SMA, pergi nonton, traktiran, hingga curhat tentang wanita yang kami sukai hingga tengah malam. Membawa pulang barang yang dulu hanya bisa dilihat dari etalase sebuah toko juga tak kalah asik hehehe meski akhirnya penyesalan kecil membuat saya berpikir kembali mengapa (mau) membelinya.

Oya, traveling ke Ranukumbolo bersama keempat sahabat kocak tahun ini juga seru! Kali ini bersama sahabat-sahabat kuliah plus seorang sahabat baru, hehehe. Mengalami hal-hal seru di luar rutinitas harian sungguh jadi hal wajib saat saya cuti di Indonesia. Ranukumbolo tahun ini bukan pilihan buruk. Bisa menghirup udara pagi, cahaya matahari dari balik tenda, kabut lebat diatas danau, canda tawa dan cerita selama tiga hari bersama mereka. Tahun depan? Semoga kesempatan traveling dengan sahabat-sahabat saya ini kesampaian. Meskipun kami belum tahu akan kemana. Yang jelas, saya berterima kasih karena mereka mengenalkan lebih dalam lagi keindahan Indonesia. You guys so great!

2012 juga tahun dimana saya memiliki kesempatan sepuluh hari puasa di kota sendiri. Maklum, tahun sebelumnya saya berpuasa penuh di Afrika dengan atmosfer yang berbeda 360 derajat. Sayangnya lebaran masih harus dinikmati (kembali) di sini. Tak apalah. Semoga tahun depan berhasil mendengarkan gemuruh takbir yang tak ada tandingannya si seluruh dunia. Lebaran di Indonesia. Amin.

Sebenarnya masih banyak momen-momen yang bisa dimasukkan daftar momen terbaik 2012 meski saya tak bisa melupakan momen kebalikannya. Tentu saja tak akan indah melewati setahun penuh tanpa momen yang menyebalkan, menyesakkan, memilukan, yang semuanya sadar tak sadar membuat saya semakin kuat menghadapi realita hidup yang sesungguhnya. Itulah kenapa saya kadang kesal dengan sahabat saya sendiri yang seringkali mengeluh dengan keadaan buruk tiap kali kami berbincang di YM. Bagaimana mau berhasil jika kita dikalahkan dengan rasa takut, lemah dan terus mengeluh tanpa berani bertindak mengubah keadaan buruk. Hadapi saja dunia hai sahabatku! Biar dunia menghajarmu hehehe.

Jika saya harus memasukkan satu momen yang ‘memilukan’ versi saya adalah mengakui bahwa saya jatuh hati pada seseorang yang cukup dekat. Namun saya memilih mengubur perasaan yang membuat saya gelisah selama seminggu lebih. Entahlah saya sepertinya lebih mantap melihatnya bahagia dari kejauhan. Seminggu sendu itu diperparah dengan lagu-lagu patah hati macam Pupus-nya Dewa. Penutup akhir yang kurang baik, perhaps.

Sebentar lagi saya akan melewati awal tahun dengan hal yang sama. Bekerja, bekerja dan bekerja yang acap kali membuat saya dilain sisi merasakan capek yang kurang manusiawi, namun bahagia karena semakin hari semakin dekat untuk kembali pulang ke Indonesia. Dan semoga tahun depan masih dianugerahi hal-hal besar, merasakan getir hidup, masalah, kebahagian yang bisa membuat tahun depan lebih keren dari tahun ini. Apalagi kotak mimpi saya masih penuh. Banyak hal yang belum berhasil menjadi kenyataan tahun ini dan semoga tahun depan terwujud. Amin.

Jika saya harus merangkum tahun ini dalam satu kata, adventurous bisa mewakili semuanya. Oya tahun 2012 blog ini lahir….hehehe, anyway Sayonara 2012, Thank You!

Lagos, Fri  9:31 PM.

*Big thanks to @marischkaprue yang menginspirasi saya menulis Sayonara 2012 setelah membaca postingannya disini.

Wakkis, Cita Rasa India Di Abuja

Selamat datang di Wakkis!
Selamat datang di Wakkis!

Wakkis, ‘swaadisht’ (Wakkis, ‘enak’ dalam bahasa India).

Jika anda berkunjung ke suatu tempat baru, hunting makanan mungkin bisa menjadi salah satu hal wajib yang harus anda centang di agenda. Itu pula yang saya lakukan setelah melewati empat hari super sibuk minggu lalu di Abuja, ibukota Nigeria.

Setelah menyelesaikan project event putri Wakil Presiden Republik Nigeria hari sabtu minggu lalu, saya memutuskan untuk memanjakan lidah sebelum kembali ke Lagos keesokan harinya. Empat hari mondar-mandir seperti headless chicken yang tak tidur selama dua hari, patut bagi saya untuk duduk manis memesan menu-menu baru yang belum pernah saya coba.

Pilihan saya jatuh pada Wakkis, restoran kecil yang terletak di 171 Aminu Kand Crescent, Abuja ini menawarkan menu-menu India otentik yang bisa menjadi alternatif spot kuliner. Saya sendiri sudah dua kali mampir ke restoran yang pengunjungnya rata-rata ekspatriat ini. Suasana restoran ini tipe favorit saya, tak terlalu besar, cozy, memiliki sentuhan etnik di beberapa ornamen interiornya, dan satu lagi poin penting, rasa.

Malam itu saya bersama ketiga flatmates langsung tancap gas setelah berhasil delivered venue tepat waktu. Sebenarnya kami ingin mengeksplor Suya, penganan daging-dagingan khas Nigeria. Namun kami berubah pikiran untuk menikmati malam itu dengan makanan yang lebih enak dan sedikit ‘bergaya’ layaknya ekspatriat lain. Begitu masuk kedalam restoran ini anda akan disambut dengan pemandangan kepala koki asli India yang memamerkan keahlian masaknya. Memandangi sekeliling interior yang didominasi warna coklat natural, anda akan melihat beberapa craft-craft khas Afrika menghiasi sudut-sudut restoran.

Selagi menunggu pesanan kami, tentu saja saya tak mau duduk manis menyilangkan tangan diatas meja kayu dengan runner bermotif seperti Batik –Ya, Batik, entahlah runner yang mereka gunakan untuk menghias meja-meja di restoran ini memang Batik atau sekedar motifnya. Saya bergegas mengeluarkan kamera saya dan mengambil beberapa gambar yang cukup untuk di attached kedalam tulisan ini. Sayang saja jika tidak didokumentasikan selagi saya mengunjungi Abuja.

Wakkis menawarkan beberapa menu India dan Nigeria dengan harga yang cukup masuk akal. Malam itu kami memesan 1 porsi Lamb Ribs, Roasted Ribs, Shrimps with Mayonaise, Spicy Chicken’s wings, dan dua porsi nasi Briyani. Sebagai teman makan, saya memilih jus semangka sedang ketiga flatmates saya memilih ‘Chapman‘, minuman sejenis cocktail yang terkenal di Nigeria hasil racikan dari soda, sprite, potongan nanas dan mentimun, perasan air jeruk, sedikit alkohol dan tentunya es batu. Pesanan kami tak terlalu banyak kan untuk empat orang? hehehe. Kami sengaja memesan dua porsi nasi Briyani yang disajikan dalam mangkuk metal khas India berukuran cukup kecil. Apakah dua porsi cukup untuk empat orang? Tentu saja karena niat kami memang mencicipi dan menghabiskan menu yang kami pesan.

Oh ya, kami mendapat complimentary dish berupa beberapa potong roti canai tipis yang krispi dengan rasa yang ringan. Roti canainya disajikan dengan salah satu saus kacang yang dibumbui rempah-rempah. Semua menu yang kami pesan memaksa kami mengeluarkan N16.000 atau sekitar $100. Mahal? Saya kira masih terjangkau untuk ukuran Abuja, kota dengan biaya hidup yang sedikit lebih tinggi dari Lagos.

Sepotong Lamb Ribs yang berdiri anggun diatas piring saya. Ini makanan pertama yang saya cicipi.
Sepotong Lamb Ribs yang berdiri anggun diatas piring saya. Ini makanan pertama yang saya cicipi.
Olala Ribs! Nyum!
Olala Ribs! Nyum!
Yang ini pilihan saya, Shrimps! Nyum nyum nyum! Saya penggemar udang hehehe.
Yang ini pilihan saya, Shrimps! Nyum nyum nyum! Saya penggemar udang hehehe.
Roasted Lamb. Wah yang ini saya beri nilai 9! Enak!
Roasted Lamb. Wah yang ini saya beri nilai 9! Enak!
Karena restoran India, makannya pun nasi Briyani.
Karena restoran India, makannya pun nasi Briyani.
Ini compliment alias gratis, roti canai tipis yang simple and crispy!
Ini compliment alias gratis, roti canai tipis yang simple and crispy!
Lihat meja kami, penuh ya? Malam itu kami berasa jadi orang kaya..hehehe
Lihat meja kami, penuh ya? Malam itu kami berasa jadi orang kaya..hehehe
Begitu masuk, ini pemandangan pertama yang akan anda dapat, koki India sedang pamer kemampuan masak.
Begitu masuk, ini pemandangan pertama yang akan anda dapat, koki India sedang pamer kemampuan masak.
Ini spot favorit saya, dekat pintu.
Ini spot favorit saya, dekat pintu.
Anda bisa menyaksikan koki India memasak menu-menu di Wakkis, seperti pada gambar.
Anda bisa menyaksikan koki India memasak menu-menu di Wakkis, seperti pada gambar.
Interior serba coklat, dengan cahaya temaram membuat restoran ini cozy.
Interior serba coklat, dengan cahaya temaram membuat restoran ini cozy.
Saya selalu suka sentuhan etnik Afrika seprti ukiran ini. Keren ya!
Saya selalu suka sentuhan etnik Afrika seperti ukiran ini. Keren ya!
Lihat runner diatas meja ini, ini Batik apa motifnya saja ya? hehehe.
Lihat runner diatas meja ini, ini Batik apa motifnya saja ya? hehehe.

Less celebration of Adha.

Lagos, 25 Oktober 2012, 9:15 pm.

Seharusnya hari ini saya pulang lebih awal untuk menyambut Idul Adha. Tapi sayang, saya masih diganggu oleh pekerjaan di bulan-bulan sibuk ini. Apalagi tadi sore sebelum pulang, ada jadwal meeting dadakan yang harus dihadiri besok. Ah, bagaimana bisa meeting di hari libur saya! Membuat rasa malas saya menumpuk merayakan Idul Adha kali ini.

***

Sampai di flat pukul 6.35pm tidak serta merta membuat saya santai. Saya bergegas menaruh tas kulit kerbau super berat di meja makan kemudian menuju kamar mandi mengambil air wudhu. Maghrib sudah lewat sepuluh menit.

Selepas sholat saya berpikir mau masak apa malam ini. Pikiran saya bercabang harus mendahulukan yang mana, antara mensortir target harian yang tercapai hari ini dan target esok yang saya tulis di sketchbook atau memasak menu untuk besok. Ya, besok sudah hari raya Idul Adha. Flatmate saya, mas Andhi baru tiba di Jakarta. Ia beruntung tahun ini bisa liburan pas dengan momen Idul Adha dan ini artinya saya disini harus merayakannya sendiri. Meskipun ada flatmate saya, mas Manito namun ia tinggal di flat bawah dan memilih menghabiskan waktunya sendiri. Masih sama dengan lagu yang selalu saya dengarkan di momen lebaran, ‘Selamat lebaran’ yang berisi takbir, malam ini paling tidak saya masih merasa terhibur dengan takbir yang rancak meskipun dari komputer tablet. Sungguh, sebenarnya anda beruntung jika masih bisa mendengarkan magisnya gema takbir langsung dari masjid.

Saya bergegas ke dapur dengan pikiran yang masih setengah bingung. Mau diapakan dua potong paha ayam yang terbeli seharga N780. Saya memutuskan untuk memasak paha ayam dengan bumbu instan yang saya bawa dari Indonesia. Entah bagaimana malam ini gairah yang saya bangun untuk memasak menu lebaran kemudian hangus. Bahkan untuk sekedar mengupas garlic, onion, pepper dan teman-temannya. Seharusnya saya mengolah puding coklat dan sate kambing seperti rencana semula karena paling tidak masih ada yang bisa dinikmati.

Sketchbook dengan catatan harian kembali saya buka sambil mengingat apa saja yang harus disiapkan untuk meeting sialan besok sore. Perut saya lapar. Ayam yang masih mandi didalam air mendidih dengan bumbunya masih belum bisa disantap karena saya masih harus memanggangnya sebelum siap dihidangkan. Saya pikir akan menyantapnya besok saja untuk menu Idul Adha.

Sepiring Indomie dengan nasi dan daging berbumbu sisa kemarin menjadi menu makan malam saya, ah kali ini saya terjebak oleh Indomie karena rasa malas.

Melewati malam takbiran dengan setumpuk target!
Sketsa…sketsa…
Makan malam seadanya, maklum tanggal tua :D

***

Lagos, 26 Oktober 2012. 5:45 pm.

Subuh sudah lewat dua puluh menitan.Tak lama setelah sholat subuh saya menuju meja makan. Masih melihat laptop, sketchbook dan kertas-kertas sketsa di atas meja membuat saya memalingkan pandangan sembari berpikir, “sebentar, apa yang salah dengan pagi ini?” Bukankah ini hari raya, biarkan saya menikmati momen ini dulu. Kenapa mesti berpikir pekerjaan terus”. Saya bergegas kembali ke dapur untuk memanggang ayam kemarin. Oven dengan api bawah sudah saya nyalakan dan membiarkan mereka kepanasan didalam sana.

Sebenarnya tak afdol jika belum makan daging kambing di Idul Adha kali ini, namun hmmm kenapa momen ini terjadi di minggu akhir bulan disaat duit saya menipis. Di Lagos harga daging kambing yang memang tinggi membuat saya memilih ayam sebagai pengganti hidangan Idul Adha kali ini. Beruntungnya saya masih bisa membeli sepotong cheese cake dan choco peanut cake untuk cemilan. Tak ada nastar, tak ada putri salju. Cukup wafer Loacker dan es krim Haagen-Dazs. Tak terlalu buruk bukan?

Tapi tidak, pagi ini belum juga bersahabat karena hujan. Ya, hujan membuat saya mengurungkan niat keluar rumah untuk sholat Ied. Pukul sembilan hujan agak mereda meski gerimis belum berhenti jatuh. Niat sholat Ied saya urungkan karena setau saya muslim di Lagos menyelanggaran sholat di lapangan dan tak pernah di masjid. Yah, saya harus ikhlas Idul Adha terasa seperti hari biasa yang lewat begitu saja. Sial! Kenapa pula hujan datang pagi ini.

Ayam panggang bumbu rujak.
Mari makan, sayang bukan sate atau gule kambing ya?! Bersyukur sajalah, Alhamdulillah.
Choco peanut cake saat masih utuh.
Monggo icip-icip.
Es krim Häagen-Dazs Belgian Chocolatenya…..Heavenly! Trust me fellas.
Pengganti putri salju dan nastar, Best ever wafer, Loacker!

Saya berharap bisa menikmati lebaran-lebaran lainnya tahun depan dengan lebih berkesan!

Ranukumbolo Accomplished {Day 2}

Pagi sudah datang. Hari kedua untuk Ranukumbolo.

Saya terbangun dengan dada sesak. Tulang-tulang saya sepertinya marah karena beban lima belas kilo kemarin. Saya tak pernah merasakan sakit di dada yang cukup menyiksa seperti pagi itu. Hawa dingin yang masih saja tak mau pergi menambah remuk tulang dan persendian. Saya berusaha bangun meski tulang belakang saya sepertinya juga marah besar.
Saya melihat Ayos dan Ruli masih terlelap disamping saya, Maya dan Winda pun begitu di kamar mereka. Pukul tujuh pagi kami semua benar-benar bangun kemudian sibuk mengatur kembali ransel-ransel kami. Beberapa potong roti, Energen dan kopi tak lupa kami santap agar memiliki cukup tenaga untuk kembali menyusuri sepuluh kilometer. Kali ini kami tak ingin menghabiskan energi berlebih seperti hari pertama dengan ransel-ransel super berat. Maya bergegas mencari potter yang akan membantu membawakan ransel terberat sampai di Ranukumbolo. Hawa dingin sudah mulai mereda saat sinar mentari meninggi. Pagi itu langit semakin cerah.

Pukul delapan kami kembali semangat. Hari kedua kami lewati dengan awal yang mudah. Jalan setapak yang memiliki arah yang jelas menuntun kami menuju setiap pos di depan. Ternyata kemarin kami memang melewati jalur yang salah. Pantas saja tak ada satupun jalan setapak yang menandakan kami berada di jalur yang benar. Pagi itu formasi kami masih sama, Ayos dan Winda memimpin di depan, saya di barisan ketiga sedang Maya dan Ruli di barisan selanjutnya. Perjalanan menuju pos pertama memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam dengan jarak sekitar empat kilo. Saya, Maya dan Ruli cukup kewalahan menyusuri tanjakan dan landaian naik turun yang menguras energi. Ayos dan Winda sudah berada di depan. Saya berusaha mengejar dengan mengatur kecepatan langkah kaki dan nafas hingga sampai di pos pertama. Disana kami bertemu beberapa pejalan lain yang menikmati makan siang mereka masing-masing, beberapa diantaranya memasak mie instan dalam satu wadah. Kami menghabiskan sekitar setengah jam hanya untuk meluruskan kaki sembari mengeluarkan beberapa snack dan air mineral dari ransel. Kami butuh energi untuk bisa sampai di pos kedua yang jaraknya pun lumayan.

Setelah istirahat sejenak, kami memulai perjalanan kembali menuju pos kedua dengan formasi yang sama, saya di belakang Ayos dan Winda. Ruli dan Maya bersama saya. Jalan yang kami tempuh memang lebih pendek dibanding dari pos satu ke pos dua namun medannya mulai memiliki tanjakan yang lumayan menguras tenaga. Pukul sebelas, kami tiba di pos kedua. Kami masih perlu meregangkan kaki sebentar. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan pejalan-pejalan lain dengan alur berlawanan, tanda mereka telah berhasil menikmati Ranukumbolo. Perjalanan dari pos dua ke pos tiga memaksa saya seringkali berhenti dari langkah-langkah pendek. Maya dan Ruli pun begitu. Kami kelelahan.

***

Kali ini kami bertiga benar-benar tertinggal dari Ayos dan Winda yang sudah lebih dulu mengawali start dari pos kedua. Jarak dari pos dua ke pos tiga sebenarnya tidak terlalu jauh, namun tanjakan yang mulai meninggi kemudian melandai kembali benar-benar tidak mudah. Namun itu belum seberapa hingga saya menemui tanjakan yang lebih menantang menuju pos keempat. Di pos ketiga, saya benar-benar lapar hingga tak kuasa merampas meises coklat dan selai kacang si Maya untuk dioleskan diatas roti tawar yang kami bawa. Sembari menikmati makanan, tentu kami mulai mengabadikan perjalanan ini dengan kenarsisan masing-masing. Di pos tiga saya ingat satu hal, si Ruli dengan entengnya melempar kamera saya (kurang ajar!!!). Awalnya kami bertiga bergurau dengan teknik menyombongkan diri ala si Ruli (sigh!). Maya dan saya mulai menyombongkan  diri dengan membandingkan komputer tablet milik kita berdua dengan milik Ruli. Saya tak tahu kenapa saat itu Ruli kemudian berubah perasa dan melempar kamera saya. Mungkin, karena milik si Ruli bukan si buah itu! :D. Maya pun tertawa namun mulai khawatir saya dan Ruli akan bertengkar. Tapi Ruli benar-benar barbar! :D

***

Kabut mulai menebal siang itu dan kami masih harus berjuang menaklukan medan yang lebih terjal di depan. Perjalanan dari pos tiga ke pos empat benar-benar bagian tersulit. Medannya menanjak tinggi kemudian melandai cukup curam persis seperti yang sering dilontarkan pejalan lain yang berpapasan dengan kami. Perjalanan menuju pos empat yang terjal membuat saya agak khawatir dengan stamina Maya. Tapi saya akui ia begitu menikmati perjalanan ini. Semangat kami kembali membara saat mulai melihat danau dan tenda-tenda perkemahan dari ketinggian pertanda kami hampir sampai di Ranukumbolo. Kami bertiga menghabiskan waktu istirahat singkat di pos keempat sembari menikmati kabut yang masih cukup tebal. Meninggalkan pos keempat kemudian turun melalui jalan setapak yang cukup landai adalah salah satu hal terbaik yang kami lalui dari perjalanan ini. Kami sampai di tenda perkemahan yang telah didirikan oleh Ayos dan Winda setelah menghabiskan sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari pos empat.

Ayos dan Winda sudah merebahkan badan masing-masing di dalam tenda begitu pula dengan kami bertiga. Kaki-kaki kami tak sabar untuk bernafas dan meminta untuk diluruskan. Kami tiba sore itu dengan perasaaan lega dan mempersiapkan diri melawan dinginnya malam di Ranukumbolo.

***

Hari mulai gelap dan kami mulai mencari cara menikmati malam. Kami memasak meski tak sekeren rencana saya. Sebelumnya saya berpikir akan memasak makanan yang begitu nikmat disantap malam itu. Namun suhu sekitar -5 derajat celsius melumpuhkan niat saya. Malam itu benar-benar dingin hingga saya harus menebalkan kaki dengan dua tumpuk kamos kaki seperti yang dilakukan Maya, Winda dan Ruli. Sepertinya Ayos lah yang paling tahan dingin. Malam itu kami memasak krim sup instan. Itu ide si Winda yang sepertinya malam itu mulai tak tahan lapar. Krim sup dengan tambahan potongan sosis dan keju cheddar rupanya cukup berhasil mengenyangkan kami berempat. Ruli sudah terlalu capai hingga tak bernafsu menyantap sup gurih itu.

Sebelumnya, kami berlima mulai narsis didalam tenda. Kami mengabadikan kebersamaan kami dengan gaya tren tahun ini, ‘unyu-unyu’ :P. Di dalam tenda, kami benar-benar menikmati senda gurau yang berhasil membuat kami benar-benar ngakak. Topik yang diangkat tentang si Zaenal, teman Ayos dan Ruli yang menjadi trending topic selama perjalanan.

Saya benar-benar menikmati malam itu terlebih saat saya bergabung dengan Ayos yang sibuk menangkap momen dengan kameranya. Malam itu benar-benar indah dengan beribu bintang memenuhi langit yang amat tenang. Cahaya api unggun yang diciptakan beberapa pejalan lain menambah keindahannya. Saya tak mau ketinggalan untuk mengabadikan langit. Dengan bantuan Ayos saya berhasil menangkap bintang-bintang itu. Merebahkan diri sebentar untuk menikmati langit yang sungguh luar biasa indah tak mungkin saya lewatkan meski badan tak kuasa menahan dingin.

Kami mengakhiri malam yang tenang dengan tidur lelap di tenda dan bersiap menyambut matahari esok pagi.

Maya kecapaian :D
Yey meises yang dibawa oleh Maya! Yummy!
Ini pos ketiga, tempat Ruli melempar kamera saya! Dasar barbar :(
Ayo foto-foto dulu dong, biar di gunung harus tetap eksis :D
Kita sudah bisa melihat Ranukumbolo dari ketinggian meski kabut masih tebal siang itu.
Tenda-tenda sudah banyak yang berdiri, lihat yang berwarna biru, itu tenda kami :)
Maya bersemangat karena kami semakin dekat :D
Maya masih sempat-sempatnya berpose :D
Ruli pun tak mau ketinggalan berpose :p
Sepertinya berfoto dengan signage sudah seperti keharusan ya? Saya dan Maya pun sempat berfoto di entrance :D
Wah Winda mencuri start istirahat :D Tapi tak apalah ia dan Ayos mendirikan tenda buat kami :)
Yey akhirnya kami bisa sampai dan menikmati Ranukumbolo siang itu.
View yang menenangkan!
Mereka senjata rahasia untuk tetap bersih di lingkungan yang dingin seperti Ranukumbolo.
Ini foto pesanan Maya, kakinya sudah ingin cepat-cepat bernafas! :D
Allahuakbar, bintang-bintangnya sempurna!
Foto-foto didalam tenda sebelum hoaaammm :D
Berunyu-unyu ria, ini ide si Maya! :D

 

Masih ada esok hari, hari ketiga di Ranukumbolo sebelum kami pulang ke rumah :).

Next.

Sepiring waffle dari The Orchid Bistro.

Saya kira seseorang harus memiliki ego menyenangkan diri dengan cara-caranya sendiri dan makan enak, mungkin salah satunya. Setidaknya bagi saya :)

The Orchid Bistro boleh saya sebut sebagai salah satu cafe kecil yang recommended di Lagos. Pertama kali kesini setahun yang lalu saya bisa memasukkannya pada daftar my fav cozy place in Lagos. Orchid Bistro terletak di Isaac John street distrik GRA Ikeja, hanya lima menit dari kantor. Jarak yang mudah dijangkau membuat saya kerap kesini jika punya waktu luang while I crave their dessert! :D Ya, jika kesini saya hampir selalu memesan dessert. Cafe ini menawarkan menu standar, breakfast yang umumnya jenis-jenis sandwich, dessert, main course, cocktails dan coffee.

Terakhir kali saya ke cafe ini memesan seporsi waffle. Sore itu saya benar-benar sedang crave waffle sesaat setelah jam kantor berakhir. Kebetulan saya tak memiliki event yang mengharuskan ke venue dan tanpa pikir panjang langsung tancap ke cafe ini bersama kedua flatmate saya. Setelah memesan dan menunggu sekitar lima belas menit waffle pesanan saya sudah siap disantap. Waffle yang disajikan hangat ini rasanya lembut, ditambah es krim vanila diatasnya dan lumuran madu melengkapi hidangan seharga seribu lima ratus naira atau sekitar sembilan puluh ribu rupiah. Teman yang saya pilih secangkir panas Americano dengan milk cream dan brown sugar yang disajikan terpisah. Saya menikmati setiap potong waffle yang saya pesan meski harus sedikit cepat menyantapnya karena es krim diatasnya. Harga dessert di cafe ini rata-rata agak mahal dibanding dengan cafe sejenisnya di Lagos. Namun cita rasa yang ditawarkan sesuai dengan harganya. Untuk secangkir Americano saya harus merogoh enam ratus naira atau sekitar tiga puluh enam ribu. Harga yang ditawarkan cafe ini untuk dessert berkisar mulai dari delapan ratus naira untuk sepotong cheese cake, blackforest, dan yang lainnya. Waffle memang menu termahal untuk dessert. Harga untuk main course jelas diatasnya mulai dari dua ribuan naira atau sekitar seratus dua puluh ribu rupiah hingga tiga ribu naira. Sedang minuman dan koktail harganya bervariasi mulai dari yang paling murah empat ratus naira.

Di Lagos, beberapa cafe atau restoran memang menerapkan service charge yang lumayan tinggi terpisah dari bill pesanan anda. Service charge yang diterapkan tergantung dari dimana restoran itu berada, kebetulan cafe ini berada di distrik yang cukup ramai dengan service charge yang tergolong tinggi seharga tiga ratus naira.

Jangan anda bayangkan saya selalu keluyuran memburu makanan ataupun sekedar cemilan seperti ini di Lagos karena tak bisa dipungkiri harga makanan di Lagos tergolong tinggi. Untuk sekedar menikmati cemilan dan kopi di cafe ini saya harus rela merogoh hampir seratus tiga puluh dua ribu rupiah atau dua ribu dua ratus naira, dengan perbandingan satu naira seharga enam puluh rupiah. Sekali jajan istilahnya hampir seratus lima puluh ribu? Bayangkan saja berapa yang saya habiskan untuk biaya hidup sebulan.

Namun bagi saya tak ada salahnya memanjakan diri dengan hal yang bisa menunjang semangat kita dalam hidup, salah satunya mungkin dengan hunting kuliner, karena bagaimanapun menikmati hidup itu penting.

Tiny path dari gate menuju cafe.
Ini spot favorit menikmati sore, apalagi jika hujan rintik-rintik. Menikmati secangkir Americano plus Cheese cake! Ouw perfect!
Cake display. Penganannya sudah ludes :D
Lihat interiornya, kecil ya? Tapi jelas cozy dengan lantai kayu dan table cloth putih, so classy!
Ini ruang paling pojok, hanya empat set kursi dan meja dengan tatanan yang sama.
Anthurium merah dan anggrek, fresh flower always on top of each table.
Es krim vanilanya keburu lumer diatas waffle saya yang disajikan hangat. Saya menambahkan madu! Yummy!
Hot Americano ini teman terbaik untuk waffle saya yang cukup manis, menikmati secangkir ini saat sore hujan, ouw, perfect!
Frozen strawberry cake ini another choice jika sedang ingin cemilan yang tak terlalu manis, rasanya light dan tentu saja, dingin!
Setelah icip-icip yang manis-manis, saya biasa minta penawarnya, pure water dengan lemon didalamnya.

An Amazing Woman, Madam Uche (The Lesson) Part 1.

The lesson from Madam Uche.

Niat saya memposting tulisan ini sederhana ; Your vision about African will change!

Perkenalkan, wanita disebelah saya adalah Madam Uche, Executive Director sekaligus perintis perusahaan tempat saya bekerja sekarang, Newton & David (N&D) Events. Nama lengkapnya Maureen Weruche Okaru, sekarang Uche Majekodunmi, Majekodunmi itu nama keluarga suaminya, Adekunle Majekodunmi yang juga Director di perusahaan events yang berusia hampir 22 tahun. Saya menyebut Mr.Majekodunmi dengan sebutan Oga, bahasa asli disini yang artinya Sir atau Bapak/tuan.

Kesan pertama saat saya bertemu beliau mungkin persis seperti saat anda pertama kali melihat gambar diatas, kaget. Kenapa? Saya akui melihat perawakan besar, berkulit gelap dan tanpa rambut membuat saya mesmerised meski itu hanya bertahan beberapa menit. Anda tahu bahwa sebagian besar rambut orang Afrika adalah wig? Ya, wig. Dan Madam Uche bukan bagian daripada itu, ia teramat bangga dengan rambut tipisnya. Saya tak pernah melihat ia menggunakan wig dalam foto-foto semasa mudanya. Sangat natural sebagai seorang genuine African woman.

Pertemuan perdana dengan beliau terjadi setahun yang lalu, 26 Juni 2011 saat saya baru tiba di Lagos. Saat itu kakak kelas yang merekomendasikan saya ke N&D mengajak saya langsung ke rumah beliau sesaat setelah saya mendarat dari Dubai. Siang itu adalah hari pertama di mana saya menjejakkan kaki di negara orang. Di benua yang sama sekali tidak ada di pikiran saya sebelumnya, Afrika. Saya ingat betul saat saya tiba di rumah wanita kelahiran tahun 1960 ini. Ia menyambut saya dengan sangat hangat. Siang itu terik dan saya jelas lelah setelah terbang hampir 22 jam dari Jakarta. Sesampai di rumah beliau yang teduh, saya mengenalkan diri. Beliau menjawab ” Welcome to Nigeria” sambil tersenyum. Ia menyisipkan pesan pada pertemuan pertama bahwa saya harus memliki strong character untuk bisa menghadapi Nigeria yang sesungguhnya, saya ingat betul kata-kata itu. Dan saya tidak mengada-ngada, senyuman beliau saat itu benar-benar tulus hingga saya rasa tidak perlu lagi mesmerised seperti pertama kali melihat beliau. Ia benar-benar welcome.

***

Hari-hari pertama saat Madam Uche kembali beraktifitas di kantor, saya merasa bahwa saya masih amat kaku. Saya rasa wajar karena bekerja di lahan yang benar-benar baru butuh kerja keras untuk bisa menyatu melalui adaptasi. Hal pertama yang saya pelajari adalah mengucapkan salam “Good Morning Ma” diucapkan oleh staf di kantor. Saya? Saya mengikuti. Kakak kelas saya membimbing saya dalam hal etika di kantor. Mengucap selamat pagi di sini seperti tradisi.

Beberapa hari kerja saya mulai bisa beradaptasi dengan gaya kepemimpinan Madam. Ia tipikal wanita yang sangat disiplin dan pekerja keras. Saya bisa mengatakan seperti itu karena analisa visual hingga hari ini, satu tahun dua bulan saya bekerja di N&D. Beliau memiliki gaya yang tegas dalam memimpin dan tak perlu diragukan lagi ia disegani. Watak Madam memang keras dan maaf, jika beliau marah besar, O saya pun shaking :D. Menurut saya bukan karena ia pemarah, tapi lingkungan lah yang mempengaruhi ia kadang memiliki short tempered. Lingkungan? Ya, begini, pada dasarnya siapa yang suka marah jika tidak ada sesuatu yang salah?  Sesimpel itu kan? Sumber daya manusia Afrika memang harus diakui masih dibawah standar dan ini salah satu alasan kenapa ia harus bertindak tegas bahkan kadang harus shouting untuk membuat karyawannya mengerti apa yang ia maksud. Bukan hanya Madam, saya pun seperti berubah menjadi lebih keras dan tegas menghadapi orang Afrika :D Ini pernyataan serius, karena jika tidak, saya tidak akan cukup kuat survive di sini.

Standarisasi orang Afrika yang saya maksud di bawah standar tidak serta merta berlaku untuk orang yang beruntung bisa menganyam pendidikan atau pernah menetap di luar negeri. Itu yang saya perhatikan selama ini, Madam contohnya. Sebagai seorang yang memiliki dua kewarganegaraan, british dan nigerian ia berbeda. Beliau lahir di Manchester, Inggris dan pernah lama tinggal disana. Ayah Ibunya pun british meski asli nigerian dan sudah memiliki beberapa rumah di sana dengan pembantu seorang Inggris, bisa anda bayangkan?

Madam memang lahir dari keluarga yang berada dengan orang tua yang educated. Saya baru tahu jika Ibunya yang seorang guru pernah mengeyam pendidikan MA degree dari University of London. Beliau sempat mendapatkan penghargaan prestisius Helen Straw International Service Award di Swiss yang disponsori oleh The College of Human Ecology, The Ohio University of America. Saya tahu itu saat membantu beliau mendesain sampul buku yang ditulisnya sendiri. Bukunya tentang pendidikan yang bisa diterapkan di Nigeria adaptasi dari riset yang beliau lakukan selama di Jerman, Jepang, Inggris dan Wales. Ayahnya seorang pengusaha yang memiliki spot minyak mentah, dan bagi yang belum tahu, negara ini punya spot minyak mentah yang melimpah yang menjadi kekuatan utama ekonominya. Kedua orang tuanya juga sangat welcome. Saya kira Madam Uche mewarisi kesahajaan dari ibunya serta mewarisi disiplin tingkat tinggi ayahnya.

Madam Uche adalah lulusan teater dan drama, dan mengenyam pendidikan spesialis bunga dari florist kenamaan dunia asal Inggris, Paula Pryke. Madam merintis perusahaan ini berawal dari toko bunga kecil yang ia buka di rumahnya. Pekerjaan dekorasi pertamanya adalah mendekor sebuah gereja di Lagos. Dengan jerih payahnya ia berhasil mengembangkan usahanya hingga menjadi yang terbesar di Nigeria. Saya salut dengan kegigihannya mempertahankan N&D, perusahaan dekorasi pertama yang berdiri di Nigeria dengan standarisasi internasional. Sekedar catatan, membuka usaha di negeri ini sangat tidak gampang dilihat dari banyak hal. Dan kunci kesuksesannya ada pada keseriusannya memperhatikan keinginan klien entah itu klien dengan nilai proyek kecil apalagi besar. Mengembangkan usaha yang berawal dari rumah hingga bisa sukses menangani dekorasi di luar Nigeria baru-baru ini, di Gambia, London dan Marbella (Spanyol) bukanlah pekerjaan yang mudah jika tidak dikerjakan dengan passion.

Selanjutnya saya akan menuliskan hal-hal unik tentang Madam dan beberapa yang belum sempat saya sebutkan disini.

Part 2, NEXT.