Saya masih ingat sensasi pertama menyantap olahan nasi ini ; aneh!. Rasanya tasty paduan antara asam dan sedikit manis.
Jollof rice merupakan salah satu resep andalan bangsa Nigeria yang mirip sekali dengan nasi goreng. Resep ini mulanya berasal dari Gambia, kemudian menyebar ke beberapa negara di Afrika Tengah seperti Liberia, Nigeria, dan Ghana. Etnis Wollof yang ditemukan di Gambia, Mauritania dan Senegal juga mengakui resep ini sebagai bagian dari menu asli mereka. Etnis Wollof menyebut Jollof Rice ‘Benachin’ yang artinya ‘satu pot’ sesuai dengan cara menyajikannya nasi ini didalam baskom besar.
Seperti yang saya sebut tadi rasa nasi ini agak masam, manis dan asin yang dihasilkan dari paduan tomat, peppeh (pepper ; cabe, orang Nigeria menyebutnya peppeh) dan bumbu-bumbuan. Bumbu yang digunakan untuk olahan nasi berwarna jingga kemerahan ini terdiri dari saus tomat, bawang putih, bawang merah, bumbu kari, nutmeg, garam, dan daun thyme. Cara memasaknya hampir sama dengan cara kita memasak nasi goreng. Bumbu yang dihaluskan ditumis dulu ke dalam minyak panas hingga harum kemudian nasi yang telah masak diuleni hingga bumbu merata.
Setahu saya mereka mengolah jollof rice dari beras lokal dan basmati. Mungkin jika saya merasakan olahan yang menggunakan beras basmati lidah saya bisa lebih bersahabat dibanding beras lokal. Beras lokal disini bijinya besar dan rasanya agak ampyang. Karena saya agak rewel untuk urusan makanan sehingga lidah saya semakin manja menolak rasa beras lokal. Bukannya jumawa, tapi beras basmati yang berasal dari India lebih enak karena teksturnya renyah dan bentuknya yang panjang dan ramping. Untuk makanan sehari-hari saya menggunakan beras basmati yang sangat mudah ditemukan disini semudah menemukan orang India yang bekerja di Nigeria. Harga beras basmati disini jauh lebih terjangkau dibanding di Indonesia. Untuk satu pak seberat lima kilo dihargai N1800 atau setara dengan Rp.108.000 (N1 = Rp.60). Di Indonesia anda bisa menemukan di supermarket yang menyediakan bahan makanan impor semacam Ranch Market seharga seratus ribu rupiah untuk satu kilo. Mahal ya? :)
Jollof rice biasa dihidangkan dengan beef ataupun ayam dengan stew yang rasanya hampir mirip rasa campuran krengsengan dan bumbu bali. Hanya porsi tomat yang melebur dengan bahan lainnya agak banyak sehingga rasanya cenderung lebih kecut. Stew olahan masyarakat disini murah akan minyak yang lagi-lagi membuat saya agak susah menyantap jollow rice. Adapula yang menyajikan nasi ini dengan pisang, ya, pisang segar. Rasanya? Bayangkan sendiri saja :)
Ini porsi saya, sedikit sekali ya?Cara makan yang unik, nasi dimakan dengan pisang! Saya lebih memilih pisang saja lah :)
Bagi saya sore punya maknanya sendiri. Dia memiliki keindahan luar biasa. Bagai pergantian waktu yang menenangkan saat matahari berpamitan menyudahi tugas hariannya.
Pekerjaan di industri event memperkosa waktu saya. Baru bisa disebut bayi di industri ini, namun satu tahun bagi saya cukup untuk bisa menyimpulkan bahwa pekerjaan yang saya pilih ini luar biasa menguras tenaga. Tidak, bukan tenaga saja, pikiran pula. Saya melewati tahun pertama dengan kesibukan luar biasa di Afrika. Mungkin jika boleh melebih-lebihkan kesibukan saya saat ini lima kali lipat dibanding saat saya bekerja di Surabaya. Ya, saya cukup sibuk. Bahkan bisa dibilang terlalu sibuk.
Saya butuh waktu tenang saat pikiran mulai penat. Dan jawabannya selalu sama, sore hari. Saya tidak peduli dengan cara apa saya menikmati sore. Tidak perlu waktu lama. Tidak perlu duduk di sebuah restoran, memesan makanan penutup dan secangkir kopi. Tidak pula duduk diatas pasir pantai meluruskan kaki telanjang dan menghadap ke arah barat. Bahkan sekedar melihat dari jendela kamar saat matahari mulai turun itu saja sudah cukup. Menghela nafas sambil bersyukur bahwa hari masih cerah untuk mengejar apa yang saya sebut sebagai cita-cita.
Dari dulu saya mengagumi saat dimana matahari mulai tenggelam dan berubah jingga. Bulatan besar yang memiliki pandaran warna yang selalu cantik menyatu dengan langit. Tuhan sungguh Maha Besar.
Ranukumbulo sudah kami perbincangkan dua bulan sebelum saya pulang ke Indonesia. Saya, Maya, Winda dan Ruli memilih Ranukumbolo sebagai tujuan pendakian tahun ini. Apakah saya seorang pendaki? Tentu bukan, hanya saja tahun ini saya sangat ingin merasakan alam terbuka dari negeri yang memiliki berjuta pesona. Ternyata butuh kecerdasan lebih untuk membagi waktu cuti saya yang hanya sebulan di Indonesia. Setelah lebih dari sebulan kami berempat chatting bout’ Ranukumbolo, tanggal 13 Juli tahun ini kami pun berangkat.
***
Hari pertama.
Jumat malam saya masih sibuk mencari kebutuhan untuk bekal kami selama tiga hari di supermarket, memilih beberapa bahan makanan yang sekiranya akan nikmat disantap selama disana. Packing saya lakukan setelahnya. Sabtu selepas subuh saya dijemput Ruli. Kami langsung menuju kos Ayos ,traveler kawakan sekaligus penulis handal yang namanya sudah beredar luas di komunitas pejalan. Saya, Ruli, dan Ayos sudah siap berangkat setelah berhasil repacking menghemat barang bawaan kita. Berbeda dengan saya, mereka sudah beberapa kali naik gunung. Mereka berdua lebih paham bagaimana seharusnya traveler mengatur barang bawaan dan membaginya dalam ruang ransel yang amat terbatas. Winda dan Maya yang berdomisili di ibukota, berhasil menempuh perjalanan selama hampir empat belas jam menuju Surabaya. Mereka berdua diantar kereta eksekutif dari stasiun Pasar Senen ke stasiun Pasar Turi. Mereka tiba pukul 8 pagi. Setelah Ayos, Ruli dan saya selesai repacking dan mampir ke tempat persewaan tenda, kami langsung menuju titik pertemuan yang kami sepakati, terminal Bungurasih. Setibanya disana kami mempersiapkan diri dengan bekal dasar untuk ketahanan fisik, sarapan! Maya, Winda dan Ayos memilih soto ayam dan es teh. Saya dan Ruli tak terlalu tertarik sarapan. Kita hanya memilih segelas teh panas.
Setengah jam setelahnya kami berlima sudah duduk manis di bangku bis paling belakang menuju Malang. Sepanjang perjalanan Maya, Winda, saya dan Ruli sibuk mengoceh di twitter masing-masing. Sesampainya di terminal Malang setelah dua jam didalam bis, kami langsung menuju Tumpang dengan angkot. Saya masih ingat Maya tertawa mendengar saya menirukan salah satu hits Rita Sugiarto yang kami dengar dari radio angkot. Suasana itu tak membuat saya malu karena saking menikmati suasana terminal. Kami membutuhkan setengah jam untuk sampai di Tumpang. Sesampainya disana kami berhasil menyewa jeep yang akan membawa kami ke desa Ranupani. Kami tak sendiri, masih ada beberapa kelompok traveler lain yang juga akan menuju Ranupani. Kami membayar tiga pulu ribu rupiah per-orang. Saya, Ruli dan Ayos berdiri dibelakang, Maya dan Winda duduk didepan disamping sopir. Menumpang jeep dengan posisi berdiri selama dua jam lebih merupakan pengalaman pertama yang cukup berkesan. Ayos sempat menanyakan apakah saya menikmati perjalanan itu, jelas iya. Hampir setahun hidup di negara orang kemudian kembali dan menikmati keindahan alam negeri sendiri yang saya dapat sepanjang perjalanan menuju Ranu, apakah saya harus berpikir dua kali untuk berkata tidak? :)).
Jalanan naik turun membuat kami beberapa kali hilang kestabilan dari posisi berdiri. Bererapa kali perut kami dihantam iron bar jeep. Kadangkala dada juga sempat bersentuhan keras dengan pipa besi yang juga berfungsi sebagai handle untuk menjaga kestabilan posisi. Pemandangan yang memanjakan mata sepanjang jalan cukup menghibur, sayangnya saya tidak bisa mengambil gambar sepanjang perjalanan.
Saya sempat memotret Ayos bersama Winda, saya suka latar belakang foto ini :)Maya dan Winda sebelum naik jeep.Ransel-ransel kami, banyak ya!
Tiba pukul tiga sore di Ranupani kami langsung menuju pos, melaporkan diri pada pihak pengelola untuk mendapatkan ijin. Winda dan Maya bertugas menyelesaikan urusan administratif. Sekitar setengah jam urusan perijinan selesai, kami langsung membekalkan diri dengan makan siang disana. Semangkuk bakso seharga lima ribu rupiah per porsi menjadi pilihan saya. Hawa dingin menusuk tulang sudah mulai terasa. Sore itu kabut lebat mulai berdatangan membuat hari semakin gelap. Dingin dan rintik hujan pun mulai berjatuhan. Kami memulai perjalanan pukul empat sore dengan kesadaran bahwa kami akan menyusuri jalan yang tak mudah hingga sampai di Ranukumbolo. Jarak dari Ranupani hingga titik akhir Ranukumbolo kurang lebih 10 kilometer dengan waktu tempuh normal sekitar enam hingga tujuh jam. Masing-masing dari kami membawa ransel yang beratnya lumayan menguras tenaga. Saya kebagian sekitar lima belas kilo. Maya dan Winda tak kalah beratnya. Ayos membawa ransel paling besar dan tentunya paling berat. Begitu pula dengan Ruli. Perjalanan di hari pertama merupakan salah satu pengalaman yang akan selalu saya ingat. Pengalaman menyusuri jalan-jalan setapak di dalam hutan yang tak mudah untuk menuju apa itu Ranukumbolo.
Setelah dua jam diatas jeep, kami berhasil sampai di Ranupani.Desa Ranupani, kecamatan Senduro.Ini urusan Winda dan Maya, kami harus mendapat ijin terlebih dahulu sebelum memulai pendakian.
Berjalan bersama dengan sekelompok pejalan lain saat hari mulai gelap ternyata tak cukup membantu. Kami melewati jalan naik turun yang penuh dengan semak belukar. Semak belukar yang tumbuh liar diatas tanah menjadi semakin licin akibat gerimis. Kondisi medan yang kami tempuh hingga jarak kira-kira tiga setengah kilometer dari titik awal sungguh diluar dugaan. Ayos dan Winda berada didepan memimpin pencarian jalan-jalan berikutnya. Saya dibelakang Winda. Maya dan Ruli diurutan terakhir. Kami benar-benar berusaha keras melewati setiap cekungan, dataran, cekungan lagi dan tanjakan, yang semakin berat saat licin, gerimis dan gelap berpadu. Kami merayap, berjalan, menanjak, melompat untuk melewati setiap tantangan medan malam itu. Kami mencari bantuan ditengah kegelapan dengan meraba setiap ranting-ranting liar yang kami pikir kuat sebagai pegangan. Penerangan kami hanya bergantung pada lampu senter. Setelah berjuang hampir lima jam didalam kesulitan itu kami memutuskan kembali karena tak ada titik terang menemukan Ranukumbolo. Kami tersesat dan bertekad melanjutkan perjalanan esok pagi. Kembali lagi setelah mencapai jarak tiga setengah kilometer berarti kami harus berjuang melewati setiap tanjakan, cekungan dan jalan-jalan landai itu kembali.
Baru pukul empat sore, tapi kabut membuat hari lebih gelap.Saya tertawa jika ingat saat saya mengambil gambar ini, Winda dan saya bercanda. Bertanya pada Maya “Mama Dedeh ada tahlilan dimana? Di gunung?” :DMeskipun ransel yang dibawa paling berat, Ayos nampak fine.Winda masih sempat bergaya meski sudah sakit punggung karena ranselnya :DSaya dan Maya meski capek harus tetap eksis :D
Malam itu kami memutuskan menginap di rumah salah satu petugas asli Maluku yang sudah menetap di desa Ranupani, namanya Bapak Sinambela. Malam itu teramat dingin, bahkan telapak kaki saya tidak akur dengan lantai rumah. Ayos dan Ruli bercengkrama dengan bapak Sinambela dan teman baru kami. Saya membantu Winda dan Maya memasak menu seadanya malam itu. Memasak nasi, sup dari wortel, buncis, kentang plus sosis, dan telur orak-arik bercampur kornet ala Winda.
Sup sayur, menu makan malam kami saat itu.Telur plus kornet ala Winda.
Pukul sepuluh setelah selesai makan malam kami memutuskan merebahkan tubuh diselimuti sleeping bag masing-masing. Saya tak habis pikir bagaimana bisa malam itu saya amat santai melewati setiap rintangan pencarian jalan di dalam hutan yang gelap, licin dan dataran yang tak tentu. Mungkin karena di malam itu kami berlima benar-benar bekerja keras membantu satu sama lain. Bantuan yang terbungkus dengan nilai persahabatan.
Esok pagi kami akan kembali mengumpulkan niat untuk menyambangi kembali Ranukumbolo.
Saya akan mencoba mengumpulkan puzzle ingatan mengenai ini.
Saya menyebutnya iseng-iseng berhadiah. Empat tahun yang lalu tepatnya 2008 saya berani mengikuti salah satu kompetisi ilustrasi di Surabaya Fashion Parade. SFP adalah parade fesyen yang digelar oleh salah satu plaza terkenal di Surabaya, Tunjungan Plaza. Sekarang menjadi annual event setiap bulan Mei. Jika saya tak keliru, kompetisi itu pertama kali diadakan tahun 2008. Artinya saya mengikuti kompetisi SFP saat pertama kali digelar.
Kompetisi SFP tahun itu saya dengar dari sahabat kecil saya yang beberapa kali menjuarai kompetisi ilustrasi, panggil saja namanya Sohib, dia bisa anda temukan disini. Saya masih ingat saat mengunjungi rumahnya yang hanya terpaut beberapa rumah dari rumah saya. Sore itu, dia menyodorkan iklan SFP di salah satu surat kabar nasional. Surat kabarnya hanya saya bolak balik mencari artikel yang lebih menarik yang bisa saya baca. Saya jelas tak memiliki ketertarikan saat itu dengan SFP. Bahkan ia lah yang menyuruh saya menghubungi kontak yang ada di iklan, siapa tahu dengan mengikuti kompetisi itu saya bisa menang. Mungkin pikirnya begitu.
Saya membawa pulang surat kabar itu dan masih tak tertarik dengan kompetisinya. Setelah saya membaca surat kabar itu sekali lagi, saya menemukan alamat yang bisa didatangi untuk mendaftar. Ternyata tak jauh dari kampus saya. Sepulang dari kuliah perancangan III, sahabat saya di kampus, Ruli berhasil saya sikat untuk menemani saya mendaftar. Siang itu matahari cukup terik. Hanya beberapa menit dari kampus, saya dan Ruli sampai disana. Ternyata tempat pendaftaran yang terletak di perumahan itu salah satu basis ikatan desainer wilayah Jawa Timur. Hanya sepuluh menitan disana saya berhasil mendapatkan kartu peserta.
Beberapa hari setelahnya, saya pun berangkat kekampus dengan tas punggung yang lebih penuh dari biasanya. Alat-alat gambar sederhana saya sudah menempati kantong-kantongnya. Saat itu akhir musim kuliah, hanya menunggu dua hari sebelum minggu tenang yang biasa dilanjutkan dengan UAS. Saya masih ingat hari itu Jumat. Hari aktif terakhir ngampus sebelum libur seminggu. Kebetulan saya dan Ruli mengambil mata kuliah minor yang sama, digital modelling. Kuliah yang sebenarnya berakhir pukul lima sore, namun saya nyelonong pergi setelah menyelesaikan tugas studio pukul tiga. Kompetisinya sendiri dimulai pukul empat sore. Perjalanan dari kampus ke Plaza Tunjungan tak kurang setengah jam.
Saya menyempatkan mampir ke kos teman dekat kampus sebelum menuju kesana. Saya hanya ingin meminjam meja mini yang biasa dipakai untuk menaruh keyboard PCnya. Teman yang telah berbaik hati sore itu namanya Fajar, penggemar Vespa yang sekarang sukses berwirausaha. Setelah saya rasa bekal saya cukup, langsung tancap menuju venue. Mengendarai motor butut setia, akhirnya pukul empat sore lebih sepuluh menit saya tiba disana. Setelah menemukan kumpulan manusia dengan alat-alat gambarnya, saya daftar ulang dan langsung mendapatkan nomer resmi. Nomer 1, sesuai abjad nama saya. Hal ini mengingatkan saya dengan urutan yang selalu pertama saat jaman sekolah dulu. Selalu menempati urutan 1. Saya ingat perasaan saya saat itu. Tak tau arah, persis seperti orang kesasar di jalanan besar yang berisi orang-orang hedon.
Menunggu di deretan kursi peserta membuat nyali saya semakin ciut. Apalagi jika bukan karena pesaingnya yahud-yahud. Penampilan yahud ditunjang alat gambar berkualitas seakan menandakan kepercayaan diri yang tinggi. Lah saya? Baju kusut, muka berminyak tercampur debu dan asap jalanan. Benar-benar komplit. Setelah sejaman menunggu akhirnya kompetisi dimulai. Semuanya duduk sesuai nomer urut. Saya duduk sebelah kanan pojok. Tentunya didepan. Sesekali mata saya tak bisa fokus mengamati pesaing-pesaing di sebelah saya. Peralatan gambar mereka lebih tepatnya. Bagaimana nyali tidak ciut jika alat yang mereka bawa rata-rata bermerk. Pastilah kualitasnya yahud dan menunjang hasil karya nantinya. Saya? Hanya bermodal alat-alat murah, pensil warna yang umurnya mungkin sudah mencapai dua tahun dengan panjang yang berbeda di setiap warnanya. Pensil mekanik seharga tiga ribuan, penghapus pensil yang bentuknya pun sudah tak jelas karena seringkali diiris cutter, beberapa glitter pens, yang semuanya berada didalam kotak pensil biru. Plus meja belajar si Fajar menjadi alas gambar.
Oke, kertas gambar mulai dibagikan oleh panitia dengan tema jelas terpampang di pojok atas kertas A3, Ethnic Futuristic Ready To Wear. Saya mengamati keempat juri yang duduk dikursinya masing-masing, seorang jurnalis fesyen, fotografer majalah fesyen, ketua APPMI dan seorang fashion lecturer. Beberapa menit setelah saya mendapatkan kertas gambar sembari mendengarkan aturan kompetisi dari MC, saya mulai berpikir desain apa yang bisa mewakili konsep keseluruhan Ethnic Futuristic Ready To Wear. Sekilas saya berpikir memodifikasi batik sebagai material dasar dan membumbuinya dengan sedikit kreatifitas agar nampak lebih segar dan muda. Saya masih ingat tahun 2008 menandai kepopuleran batik dengan munculnya varian dan desain batik. Tanpa pikir panjang pikiran saya setuju untuk mengangkat batik. Saya mulai dengan membuat proporsi model dan berhasil menyelesaikannya dalam waktu semenit-Damn! Jika saya ingat apa yang saya gambar saat itu dan kembali melihatnya hari ini, proporsi yang saya buat sungguh berantakan. Kemudian mulai mendadani sketsa model saya dengan ilustrasi batik modern berupa asymmetric coat berwarna coklat tua dipadu dengan light dark green tee dan asymmetric skirt berbahan batik. Agar terkesan tak biasa, saya menambahkan ready to wear obi dengan detail yang rumit dipinggang –sayang saya tak bisa menampilkannya di blog ini, karena tak sempat mengekspornya ke format jpeg – coba saja dibayangkan dari penjelasan tadi :).
Jika kembali mengingat karya saya saat itu sungguh memalukan. Bagaimana tidak, proporsi yang berantakan, tidak setinggi proporsi model yang seharusnya, arsiran warna yang tak berarah, dan secara keseluruhan nampak tidak cukup istimewa. Tak lama menyelesaikan karya, kira-kira sejam dari empat jam yang diberikan panitia, saya memutuskan pulang. Saya sengaja melewati jalan dimana saya bisa melirik karya peserta lain dan damn! saya tercengang. Mereka rata-rata memiliki kemampuan yang wow!. Apa-apaan ini, jika begini saingannya mana bisa menang. Tak apalah, tak usah berpikir menang kalah yang penting sudah berani berkompetisi. Saya mencoba menenangkan diri. Melihat karya-karya gila yang ditunjang dengan alat-alat berkualitas tentunya akan membuat karya saya tenggelam dalam tumpukan gambar yang rata-rata dihasilkan dari pengenyam sekolah mode yang tahu persis bagaimana teknik ilustrasi. Ya sudahlah saya pulang saja.
***
Awarding Night
Tiga hari setelah lomba awarding night-nya digelar. Malam itu saya sangat malas datang karena migrain kiri saya kumat. Apalagi sepanjang sore itu saya sudah keliling mall untuk mendapatkan sebuah jaket. Menjelang pukul tujuh malam saya menelpon sahabat SMA, Fahmi namanya. Pikiranku berubah, tak apalah datang meski sebentar hanya ingin tahu saja siapa yang akan menang. Dengan begitu saya bisa tahu kualitas apa yang dipertimbangkan juri untuk pemenangnya. Akhirnya sahabat saya itu berbaik hati mengantarkan kesana. Karena invitation-nya admits two, kami pun bisa masuk ke zona makhluk-makhluk legal yang ternyata setelah saya sadar, kami duduk di barisan penonton, bukan barisan khusus peserta. Beberapa menit setelah kami sampai di venue, MC acara malam itu mulai masuk pada sesi awarding untuk illustration competition. Satu persatu dari total enam pemenang ditampilkan di giant screen di atas stage putih. Hitungan mundur dimulai dari pemenang favorit ketiga dan berlanjut hingga memasuki detik menegangkan untuk juara kedua. Kami mengamati ilustrasi yang ditampilkan di layar raksasa itu. Sambil berbisik saya katakan pada sahabat saya ilustrasi yang menang karya-karyanya ngeri. Saya mengajaknya pulang saja. Tapi dia mencegahku dengan alasan yang cukup logis. Sayang saja jika tidak mengikuti acaranya sampai selesai. Okay alasannya diterima meski kepalaku mulai terasa lebih berat dari sebelumnya.
Menjelang juara pertama diumumkan, MC nya pun mengeluarkan kata-kata yang mendebarkan bagi seluruh peserta kompetisi. “Siapakah pemenang pertama? langsung saja, pemenang pertama fashion ilustration Surabaya Fashion Parade 2008, pertama kali digelar, dimenangkan oleh peserta dengan nomer urut…….Wah ini spesial, pemenang pertama dimenangkan oleh nomer urut ; Satu!”. Hah? nomer satu kan milik saya. Bagaimana bisa? Saya hanya menatap heran ke layar raksasa malam itu. Bagaimana saya bisa percaya menumbangkan peserta-peserta dengan ide dan teknik yang rata-rata maknyus. Setengah tak percaya. Namun memang yang tertampang disana itu karya ecek-ecek kedangdut lengkap dengan nama saya. Sahabat saya pun menyuruh bergegas ke atas stage sesuai permintaan MC. Sambil bersorak, “traktiran!”. Saya pun langsung menuju stage yang sebelumnya harus menahan sorotan lampu-lampu yang bergemerlapan sepanjang runway berwarna putih. Langkah saya cukup mantap ingin segera mengakhiri di depan. Seorang model menyerahkan award lengkap dengan karya saya yang telah dibingkai. Ah, apa-apaan ini.
Tak percaya saja bagaimana bisa tiga hari sebelumnya saya datang dengan penampilan super kusut dan alat-alat murah meriah bisa menggondol piala dan beberapa hadiah yang cukup asik. Uang tunai, kursus gratis di Lasalle, akademi fesyen dan desain yang pusatnya di Kanada –sayang kursusnya tak pernah saya ambil karena saat itu saya hanya ingin menyelesaikan kuliah yang akan memasuki jenjang menuju Tugas Akhir– , beberapa parfum dan merchandise. Akhirnya pukul sepuluh malam kami pun meninggalkan venue. Kepala saya masih cekat-cekot namun terhibur dengan piala didalam tas dan uang tunainya :D. Ah leganya karena saya berhasil melewati hari yang melelahkan. Keputusan hadir di malam penghargaannya ternyata tak salah, meskipun saya sedikit menyesal tak sempat mengabadikan momen di stage padahal kamera saku sudah saya siapkan sehari sebelumnya.
Tak apalah, biar saya ingat saja setiap detailnya.
Saya sempat merekam keceriaan ramadhan tahun ini meski hanya sepuluh hari. Ramadhan memang tak bisa dipisahkan dengan kawasan Ampel. Kawasan religi yang sudah dikenal hingga mancanegara ini selalu ramai dengan kekhasan kampung-kampung arab dan pernak-perniknya. Terlebih saat ramadhan tiba, suasana yang selalu saya rindukan saat tak memiliki cukup waktu menikmati ramadhan di tanah air.
Jalan masuk dari Ampel Suci.Peziarah di sepanjang Ampel.Toko sarung di Ampel banjir pembeli saat ramadhan.Kurma jauh lebih subur saat ramadhan, berbagai jenis bisa didapatkan di Ampel.Salah satu pilihan untuk oleh-oleh, klompen.Tasbih beraneka rupa.Ribuan aroma parfum tersedia di Ampel.Pembeli berburu CD islami.Aneka pacar yang populer sangat mudah ditemukan di Ampel.Pernak-pernik yang seringkali diburu peziarah putri jika ke Ampel.Pedagang menyediakan aneka jajanan pasar murah meriah.Suasana salah satu masjid di Ampel selepas Isya.Peziarah berbelanja salah satu buah tangan favorit, kurma.
Dulu, selepas subuh bapak selalu sibuk menyiapkan pakaian yang akan dipakai untuk ke masjid. Ibu sibuk menyeduh opor ayam, dan kakak memotong puding sama rata untuk kemudian dihantar ke tetangga. Rumah yang kecil selalu riuh. Suara takbir dari radio tua semakin menyemarakkan suasana pagi seperti tahun-tahun biasanya. Suasana itu kembali tidak saya rasakan dua kali. Tahun lalu saya melewati Idul Fitri di Abuja, ibukota Nigeria. Kota yang jauh lebih tenang dari Lagos.
***
Pagi ini saya bangun lebih awal. Selepas subuh mulai menyiapkan baju yang akan dikenakan untuk sholat Ied. Berusaha melakukan hal yang sama seperti apa yang Bapak saya lakukan. Keceriaan lebaran memang pantas dibangun pagi hari sesaat sebelum ke masjid. Sialnya tahun ini saya tidak menemukan baju koko. Sepertinya baju itu tertinggal di Indonesia. Entah saya ingin mengenakan baju baru pagi ini. Kemeja coklat susu lengan panjang dan celana panjang warna camel untuk bawahan. Saya tak memilih sarung seperti yang saya kenakan saat Idul Adha tahun lalu. Sekedar mengingat apa yang saya kenakan saat itu, baju koko putih tulang dipadu dengan sarung merah hati. Tak dinyana apa yang saya kenakan menjadi perhatian banyak orang. Saya baru tahu ternyata disini mereka tidak mengerti sarung, dan jika adapun sarung dipakai oleh wanita. Bukan pria. Pantaslah, saat itu hampir semua mata tertuju pada sarung saya. Tak hanya muslim Afrika, muslim dari negara Arab semacam Iran pun melihat pakaian yang saya kenakan.
Pukul delapan kami bertiga berangkat menuju lapangan tempat kami sholat Ied saat Idul Adha. Sebuah police camp yang memiliki beberapa lapangan yang amat luas. Kali ini kami tak ingin mengambil resiko terlewat momen sholat Ied. Tahun lalu saya kurang beruntung, terlambat datang ke masjid akbar Abuja. Tahun pertama saya tidak merayakan lebaran di Lagos, melainkan di ibukota Abuja. Saat itu saya dan mas Andhi tak menyangka sholat Ied dimulai lebih awal dari biasanya. Kita tersadar saat melihat lautan manusia semburat ke arah berlawanan. Ah! Sedih rasanya. Melewati lebaran pertama di negeri orang dan tidak bisa sholat Ied. Pagi itu hujan rintik-rintik menambah kesedihan saya merayakan lebaran tanpa keluarga.
Namun, alhamdulillah kesedihan tahun lalu terbayarkan tahun ini. Sholat Ied disini dimulai amat siang, tidak seperti di Indonesia yang biasanya dimulai pukul enam – setengah tujuh pagi, disini, sholat Ied dimulai pukul sepuluh pagi. Untung cuaca bersahabat. Tak terik seperti biasa. Mendung dan teduh. Takbiran dikumandangkan sebelum sholat dimulai meski nadanya berbeda. Nada takbir surau-surau di Indonesia jauh lebih indah. Tahun ini sholat Ied nya amat meriah. Jauh lebih ramai dari sholat Ied saat Idul Adha. Saya cukup tersentuh dengan apa yang saya lihat disini, berbagai macam rupa, warna kulit, strata, semuanya menyatu di satu tempat untuk merayakan hari yang kita sebut puncak kemenangan. Sebuah selebrasi tahunan yang menyentuh. Saya mengamati beberapa anak kecil semangat datang bersama orang tua mereka masing-masing. Sungguh berwarna.
Suasana sholat Ied di Police Camp.Anak afrika mengenakan peci saat sholat Ied.Orang Afrika menyukai pakaian vibrant! :)Mas Andhi dan mas Manito berfoto dengan Muhammad, security perusahaan, selepas sholat Ied.
Setelah sholat Ied selesai kami langsung menuju rumah. Pikiran kami hanya makan! Ya, makan. Opor ayam yang sudah kami masak sejak tadi malam siap disantap. Apalagi dua keik yang kita beli kemarin. Buah untuk dessert pun ada. Ah! Makan makan dan makan! Tradisi ini hampir sama seperti apa yang biasa saya lalui setiap lebaran dirumah. Mulai memakan opor setelah selesain sholat, bedanya tahun ini saya tak menyertakan puasa sunnah sebelum sholat Ied.
Opor ayam kali ini lebih terasa nikmat dibanding tadi malam, mungkin karena bumbunya sudah kawin dengan ayam dan santannya. Menikmatinya dengan sambal terasi dan serundeng benar-benar mengingatkan akan masakan Ibu yang super maknyus. Sungguh paduan yang sempurna meskipun basicly saya tak terlalu suka makan makanan bersantan. Setelah opor selesai saatnya menyerbu dua jenis cakes, cheese cake dan triple chocolate cakes. Dua keik itu benar-benar memanjakan lidah bagi penggemar dessert seperti saya. Cheese cake medium yang kami beli seharga N3300 atau sekitar 198 ribu rupiah (1 naira = 60 rupiah) rasanya tak terlalu eneg. Tak seperti cheese cake biasa yang kadang terlalu creamy. Untuk keik coklat lapis tiga sama, rasanya seimbang. Tak terlalu memuakkan seperti keik coklat biasa. Yang ini kami beli seharga N2200 atau sekitar 132 ribu rupiah untuk ukuran 30 x 20 cm. Mereka tidak cukup murah tapi worth untuk disantap di hari raya. Lagipula mereka berdua sesuai selera saya, keik yang tak terlalu manis untuk ukuran dessert. Perfect!.
Apakah kami berhenti sampai di keik? No! Kami melanjutkannya dengan mint ice cream limited edition dari Walls produksi Perancis. Es krim yang kami beli seharga N2000 cukup mahal untuk ukuran satu setengah liter. Namun kembali lagi, ini lebaran! ;) no worries for three of us. Coklat menjadi pelengkap lebaran sebagai camilan yang mantap. Sepanjang hari ini kami bertiga hanya ingin menikmati rumah dan terus makan! :) Benar-benar menikmati hari libur yang terbatas dengan makan.
Opor ayam untuk lebaran tahun ini! Yaiy! Yummy!Triple choco cake!Tiga lapis coklat yang yummy!Cheese cake :)Cheese cake, anyone :) ?Mint ice cream dari Walls.Limited edition! Heavenly!Dessert, jelly dan buah! Segar!Coklat! Camilan andalan :)Sup sayur, empal dan telur asin untuk makan malam :)
Karena kami tak memasak opor dalam porsi besar, sore ini saya memasak menu paling mudah untuk makan malam dari bahan makanan yang masih ada di lemari es. Dan saya memilih sup sayur disantap dengan empal sapi yang saya masak basah, tanpa digoreng, dan…..telur asin! Ya, telur asin yang saya bawa hanya sepuluh biji. Makan malam yang lengkap! :) Sungguh bersyukur bisa menikmati makanan yang kami olah dari kekayaan kuliner Indonesia untuk lebaran tahun ini! Alhamdulillah.
Tahun lalu tidak ada perayaan karena saya dan mas Andhi berada di Abuja untuk menyelesaikan pekerjaan interior rumah pribadi menteri penerbangan Nigeria. Tahun ini saya, mas Andhi dan mas Manito sepakat merayakan lebaran lebih meriah meskipun tak ada tradisi ‘unjung-unjung’ ke tetangga. Bagaimana ‘unjung-unjung’ jika tetangga satu flat kami tidak ada yang muslim. Tapi tak apalah, menikmati lebaran di rumah juga tidak kalah asik. Terlebih saat kami meminta maaf pada keluarga melalui telepon kami masing-masing. Itu momen sederhana yang cukup menyentuh. Meminta maaf pada orang tua meskipun tanpa tradisi sungkeman. Dan saya belajar banyak saat harus hidup jauh dari keluarga. Salah satunya bisa lebih terbuka mengungkapkan rasa sayang terhadap keluarga yang dulu acap kali hanya disimpan sendiri.
Saya bersyukur dan menganggap itu sebuah hikmah pendewasaan diri.
Lebaran oh lebaran. Momen indah yang dirayakan setiap tahun oleh umat muslim diseluruh dunia. Kita bersama merayakan dengan cara dan keunikan masing-masing. Mungkin ada beberapa orang yang tak seberapa antusias menyambut lebaran, apapun alasan yang melatar belakanginya, namun, lebaran tetaplah lebaran. Momen dimana kita sebagai manusia sudah seharusnya mensyukuri seluruh nikmat alam yang kita dapatkan sepanjang tahun. Tuhan benar-benar Maha Baik.
Happy Eid Mubarrak for all over moslems around the world! Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham! :)
Sepuluh hari di Indonesia dan sisanya terlewati di sini, Lagos. Tahun ini saya kembali mengakhiri bulan ramadhan di luar. Tak terasa bulan puasa indah ini berpamitan pelan-pelan.
Buka puasa untuk terakhir kalinya sudah dilewati setengah jam tadi. Delapan belas Agustus. Besok lebaran. Ya! Lebaran.
Pagi tadi selepas subuh saya masih bertugas merampungkan pekerjaan hingga pukul dua siang. Set desain untuk sebuah peragaan fesyen anak-anak. Di Lagos libur lebaran sangat terbatas. Dua tahun lalu saya sempat merasakan libur seminggu saat masih di Surabaya, sekarang? Saya hanya dapat sehari setelah hari raya.
Hari ini saya pulang lebih awal seperti hari Sabtu biasanya. Itu berarti memiliki kesempatan untuk berbelanja bahan makanan untuk menu lebaran. Bersama flatmates saya menuju Goodies, supermarket dekat kantor. Ayam, salad dressing, beberapa snack, beberapa minuman, dan sayuran. Sepulang dari venue tadi siang kami menyempatkan mampir membeli dua buah cakes di tempat favorit kami, The Chocolate Royale di Victoria Island. Satu buah Vanilla Cheese Cake dan Triple Chocolate Cake untuk memeriahkan perayaan lebaran yang hanya akan dihabiskan dirumah.
Setibanya di rumah kami langsung memasak untuk buka puasa terakhir. Kami menginginkan menu yang lumayan lengkap dari biasanya. Hitung-hitung pesta kecil sebelum esok. Kami pun membagi tugas malam ini. Flatmate-ku, mas Andhi, memulai dengan opor. Ya, kami sepakat membuat opor ayam untuk disantap esok pagi setelah sholat Ied. Temannya? Tentu kami tak akan melewatkan teman terbaik dari opor, sambal dan kali ini sambal terasi. Sebagai orang Indonesia yang jauh dari rumah, sambal merupakan salah satu obat mujarab melumpuhkan kerinduan akan masakan rumah. Dan membawa terasi sama pentingnya membawa paspor, menurut saya. Rasa sambal kali ini nendang, komposisi terasi, garam, gula, bawang merah, bawang putih, tomat dan cabe rawit Afrika yang terkenal membakar lidah amat pas.
Ayam rempela pedas.Salad.Dressing.
Saya ingat satu hal! Kerupuk udang yang saya bawa setahun lalu masih tersisa beberapa. Goreng! Ini tugas mas Manito. Dan ah indahnya, tahun ini saya memiliki serundeng kelapa buatan ibu tercinta. Semakin semangat menyambut lebaran. Satu setengah jam masakan untuk malam ini selesai. Kami menunggu buka puasa. Saya sibuk mengambil gambar untuk blog ini, passion saya selain mendesain.
Akhirnya adzan berkumandang dari salah satu aplikasi islam yang terinstal di iPad. Mendengarkan adzan dari perangkat pintar itu tentu berbeda dengan mendengar kumandang live seperti yang selalu saya dapatkan selama di Indonesia. Saya harus kreatif mencari cara agar tak kalah dengan keterbatasan. Kebetulan flat saya tak dekat dengan masjid, dan juga di Lagos saya lebih mudah menemukan gereja daripada masjid. Adzan telah berkumandang artinya puasa berakhir. Puasa terakhir telah berakhir malam ini. Kami bertiga menyantap lahap satu persatu menu yang tertata rapi di meja. Baguette, salad, ayam dan rempela hati pedas sisa kemarin, sambal terasi yang menggoda, kerupuk udang dan teh manis hangat. Oh Tuhan, apa ada nikmat berbuka puasa di luar negeri yang lebih indah daripada ini? Kami benar-benar harus bersyukur. Harus.
Kami memulai buka puasa dengan appetizer, Baguette yang terpotong rapi beserta cocolan yang creamy. Mas Andhi membuatnya dari campuran mentega, bawang putih, garam dan mayonaise. Akhir-akhir ini kami kegandrungan Baguette terlebih mas Andhi. Sejak kepulangannya dari Spanyol dan Belanda kemarin, dia keranjingan menu Eropa. Opor yang semula direncanakan akan dimakan esok ternyata tak bertahan lama. Kami tak kuasa mencicipinya. Apalagi rasanya kawin dengan pedasnya sambal terasi. Kerupuk dan serundengnya menjadi pelengkap yang sempurna. Kurma yang seharusnya menjadi takjil, malah saya makan sebagai pencuci mulut. Bagaimana nasib salad? Kami tak kuasa menyantapnya malam ini dan terpaksa harus disimpan di lemari es untuk besok.
Baguette.Garlic creamy dressing.Serundeng buatan Ibu tercinta.Mas Andhi beraksi dengan sambal terasi.Terasi, sama pentingnya seperti paspor :)Resep sambal terenak di dunia, Terasi! :)Kerupuk udang, pelengkap opor yang maksimal :)Teh manis hangat, pasangan makan ternikmat.Bukan sebagai takjil, malah menjadi pencuci mulut :)
Dan Alhamdulillah. Tuhan Maha Besar. Kami sadar ini malam istimewa. Malam takbiran.
Tak ada suara takbiran. Menyedihkan. Tapi saya tak akan membiarkan larut dengan keterbatasan. Mungkin ini kedengaran norak, tapi memainkan lagu Selamat Lebaran dari Ungu bukan pilihan buruk. Kami mendengar beduk di aransemen mereka, beserta intro yang kami rindukan ‘…Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Laila Haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillailham…..’. Saya merinding. Kesedihan dalam hati tak bisa saya acuhkan. Saat di Indonesia surau-surau berlomba mengumandangkan takbir. Gema takbir yang selalu magis menandakan kita harus ikhlas melepas ramadhan. Saya ingat Bapak saya selalu mengumandangkannya di musholla dekat rumah. Ah, saya benar-benar rindu suasana itu. Tapi tak apa, takbir dari iPad cukup menghibur.
Selamat Lebaran dari Ungu.Aplikasi andalan untuk mendengarkan adzan.
Setelah menyantap menu buka puasa kami pun mulai santai sambil mengobrol renyah. Tak jarang kadang membahas keunikan perayaan lebaran di Indonesia yang tiada duanya.
Esok saya akan merayakan lebaran di Lagos untuk kedua kalinya. Lebaran yang tentunya atmosfernya berbeda dari kampung halaman. Jauh dari hingar bingar tradisi. Tradisi dan budaya Indonesia yang melebur didalam momen semagis lebaran memang tak akan pernah bisa ditemukan ditempat manapun di belahan dunia ini. Tradisi dan budaya itu murni lahir dari sejarah. Dan takkan pernah bisa terbeli. Ada kesedihan karena tahun ini tidak bisa merasakan atmosfer malam takbiran, tetapi saya tetap harus tegar karena perjuangan dalam hidup selalu memiliki harga yang harus dibayar.
Saya masih ingat pada suatu malam berdoa untuk bisa pergi dari kota kelahiran. Sempat terpikir Jakarta. Hidup jauh dari rumah. Jadi anak kos. Pasalnya, sejak kecil hingga sempat setahun tujuh bulan kerja setelah lulus kuliah, saya tetap tinggal di Surabaya.
Saya ingin merasakan tantangan lebih. Tantangan hidup yang lebih mandiri. Jika tak salah, doa itu terucap setahun yang lalu. Dan Tuhan tak tanggung-tanggung mengabulkan apa yang saya harapkan kala itu, bukan ke Jakarta, tapi ke Lagos. Afrika. Alamak, jauh sekali. Ya, Tuhan mengabulkan dan memberi kesempatan hidup di benua sebelah.
Sejak memutuskan pindah ke Lagos mau tak mau saya harus serba mandiri. Hampir semua aspek hidup harus saya urus sendiri. Sangat berbeda dengan hidup sebelumnya yang masih bisa dianggap santai. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga, tak ayal harus bekerja lebih keras.Tinggal di flat pun ternyata tak mudah. Kadang berperan seperti seorang ayah, tak jarang pula sebagai ibu rumah tangga. Dulu sepulang kerja, selalu tersedia masakan rumahan ibu saya. Ibu jago masak, turunan dari almarhum nenek. Beliau semasa hidup terkenal jago masak di keluarga besar saya. Masakannya memang yahud.
Sejak hidup di Lagos memasak seperti sebuah ritual penghilang stress. Kegiatan yang ampuh mengusir kejenuhan. Dan memasak telah menjadi salah satu cara menghemat pengeluaran bulanan. Lagos memang lebih mahal dibanding Surabaya. Apalagi dari segi makanan. Sebagai gambaran, biaya hidup disini tiga kali lebih mahal dari Surabaya. Saya memang tak melulu makan masakan hasil sendiri, ada kalanya saya makan di luar untuk melatih indera pengecapan dan penglihatan. Namun tak sering. Jika saya tak cermat dan hemat, tentu saya akan kelabakan di akhir bulan.
Saya menggemari masak memasak sejak SMP, saya ingat suatu siang saat bel masuk datang dengan sekotak jajanan pasar yang saya masak sendiri saat it, Klepon. Kegemaran yang satu ini semakin menjadi kala saya duduk si bangku SMA. Teman-teman dekat saya sangat hapal menu apa saja yang ada di kotak makan siang. Mereka taster-taster setia. Dulu saya masih suka memasak cemilan manis dari jajanan pasar hingga roll cake. Sekarang? Lebih banyak memasak lauk.
Setahun tinggal di Lagos membuat saya lebih excited mengasah kemampuan ini. Sebagai perantau, memasak harus bisa menjadi salah satu keahlian dan bentuk kemandirian. Paling tidak itu yang saya rasakan.
*Saya akan mencoba membagi resep-resep mudah yang bisa dicoba di tulisan selanjutnya. Can’t wait to post it! ;)
Perjalanan sesungguhnya pun dimulai malam itu. Dua jam sebelum pergantian hari menuju 2 Agustus 2012.
Selepas berpisah dengan Maya dan Winda, saya kembali masuk untuk check in penerbangan menuju Dubai. Konter Emirates malam itu tak seperti tahun lalu. Jauh lebih sepi dan tak ada antrian.
Layar kecil menunjukkan angka 31. Saya lega mengetahui berat koper saya tak overload. Satu dua kilo melebihi 30 kg (berat maksimal aturan internasional untuk bagasi) tak mengapa. Lebih dari itu, $50 per kilo harus direlakan untuk membayar biaya kelebihan bagasi ke Afrika. Ke Eropa? Lebih mahal lagi, sekitar tujuh puluh dolar. Selesai check-in saya menuju ke imigrasi. Saya berjalan terpingkal-pingkal. Tas-tas yang saya bawa tak ringan. Kesalahan dasar yang terpaksa saya buat untuk menghindari kelebihan bagasi yang semula 34 kilo.
***
Pemeriksaan terakhir sebelum masuk pesawat menyisakan sedikit kerelaan yang harus saya lakukan. Salah satu benda bawaan tak lolos. Sekotak kecil berisi petis. Ya, petis. Mungkin kedengaran norak, tapi membawa bahan makanan asli negeri sendiri yang mustahil bisa ditemukan di negara lain hukumnya fardhu ain. Petis pemberian ibunda si Sohib. Perasaan kecewa memang tidak terlalu besar meski menyesal karena lalai tak menaruhnya di koper. Tapi ya sudahlah, angan-angan membuat rujak petis harus dikubur.
Lepas dari pemeriksaan terakhir langsung menuju gate D1. Kali ini sama seperti tahun lalu, sesak dengan bule-bule yang akan pergi ke negara tujuan masing-masing. Saya pun tak dapat tempat duduk. Karena tak kuasa menahan beban di pundak dengan tas-tas berat yang masih harus dibawa sampai ke Dubai, bahkan Lagos, akhirnya dengan cueknya saya duduk di lantai. Ponsel saya masih menunjukkan angka 23.25. Masih ada waktu untuk berpamitan teman-teman dekat. Tak semua bisa dihubungi. Mungkin terlalu malam. Tak apalah.
***
Akhirnya saya sampai di kursi yang akan saya duduki selama perjalanan dari Jakarta hingga Dubai. Perfect! disamping jendela. Disamping saya sepertinya seorang TKI. Ia berbincang dengan seseorang dalam bahasa Madura.
Pukul 00.40 tanggal 2, pesawat mulai meninggalkan Indonesia menuju Dubai. Penerbangan selama hampir sembilan jam dari Jakarta ke Dubai saya habiskan dengan tidur. Saya tak tertarik menonton film dari layar sentuh. Bahkan lagu pun tidak saya dengarkan dari headset. Saya memilih istirahat mengusir capai selama sebulan liburan. Menu Emirates kali cukup saya nikmati. Perjalanan dari Jakarta mendapat nasi lemak. Lauknya ikan berbumbu, dan oh ya ada telur rebus dan ikan terinya.
Menu yang disajikan memang disesuaikan dengan menu khas negara asal saat pesawat hijrah. Menu yang saya dapat saat penerbangan kembali dari Nigeria menuju Dubai adalah Jollof Rice, nasi khas Nigeria. Bisa dibayangkan jika saya terbang dari Italia, mungkin mereka akan menyajikan Lasagna.
***
Sesampainya di Dubai saya jauh lebih percaya diri dibanding kali pertama sampai di bandara yang lebih mirip mall. Saya tak lagi pusing mencari gate 213 menuju Lagos. Tas-tas saya masih menjadi pengganggu perjalanan. Saya mulai menggerutu tak akan pernah lagi mengulangi kesalahan dasar yang bodoh.
Kali ini saya tak sibuk melihat banyaknya barang-barang indah yang dijual di bandara. Itu tentu akan berbeda saat kepulangan saya tahun depan. Saya akan memanfaatkan waktu transit lebih maksimal dari kepulangan tahun pertama. Pagi itu saya lebih memilih menunggu di gate dan membuka Mac. Tujuannya? Untuk membagi daya baterai kepada ponsel. Ya, ponsel saya saat itu sedang sekarat. Saya terpaksa harus menjaga daya baterai karena sewaktu-waktu saya membutuhkan ponsel sesampainya di Lagos. Di bandara sebenarnya ada fasilitas charger baterai untuk ponsel. Cuma jarak yang terlalu jauh dari gate membuat saya berpikir dua kali untuk memanfaatkan fasilitas itu.
Setelah transit sekitar tiga jam, saya kembali memasuki pesawat yang akan menerbangkan saya hingga ke Lagos. Lagi-lagi saya duduk disamping jendela. Kali ini di sebelah sepertinya seorang Belanda. Sepanjang perjalanan hanya saya isi dengan tidur. Merenggangkan kaki dan leher. Hanya sekali saya sempat memainkan layar sentuh memutar film The Lucky One. Perjalanan sekitar sembilan jam menuju Lagos saya masih sempat berpuasa. Artinya saya menolak semua menu selama di pesawat. Croissant super enaknya Emirates kali ini tak saya hiraukan.
Sesampainya di bandara Lagos, saya langsung mengaktifkan nomer-nomer lokal. Kali ini tak seperti tahun pertama dimana dulu saya masih harus mencari penolong yang mau meminjamkan telepon selularnya. Kali ini lancar jaya menghubungi mas Andhi untuk konfirmasi penjemputan. Alhamdulillah tahun ini Sammie, salah seorang operation manager di kantor, menjemput saya di depan pintu kedatangan pesawat. Ini jauh lebih mudah. Tak lama setelah lolos dari imigrasi dan merampungkan urusan bagasi, saya kembali harus berhadapan dengan salah satu petugas imigrasi yang bertugas mengecek koper. Petugas sialan itu kembali menahan paspor saya sesaat setelah ia memeriksa isi dalam koper. Alasannya, ada kerajinan yang saya bawa yang semestinya harus dilengkapi dengan surat-surat. Alasannya sungguh tak masuk akal. Setelah Sammie membantu saya menjelaskan kerajinan yang saya bawa, akhirnya ia mau mengembalikan paspor tanpa bayaran sepersen pun.
***
Keluar dari bandara kembali saya bertemu dengan mas Andhi. Semuanya lancar hingga saya, mas Andhi, Sammie menuju kantor dengan mobil yang dikendarai oleh sopir kita, pak Magnus. Tak lama kita menyempatkan ke kantor hanya untuk menyapa orang-orang disana. Semuanya senang melihat saya kembali, dan……beberapa langsung menanyakan oleh-oleh (dimana-mana sama, hihihi). Dengan cueknya saya bilang tak sempat membawakannya. Kenyataannya saya hanya membawa beberapa untuk orang yang cukup dekat. Lainnya? Tak mungkin lah menyesakkan koper yang sudah overload.
Sampai di Lagos dengan selamat, artinya, welcome back to reality! Selamat berjuang (kembali) menghadapi banyak hal selama sebelas bulan kedepan di Nigeria. Negara dimana fisik dan mental harus siaga menghadapi tantangan hidup.
Perjalanan panjang akan kembali diulang. Perjalanan merantau (lagi), perjuangan, cerita, kerinduan, dan berbagai carut marut hidup akan dihadapi untuk kedua kalinya. Kembali ke Afrika setelah sebulan bersenang-senang (yang terasa seperti seminggu) di tanah kelahiran telah usai.
Agustus tanggal satu, menuju bandara Juanda tepat pukul dua siang dari rumah. Keinginan saya untuk pergi sendiri akhirnya pupus. Tahun ini kembali diantar keluarga, bapak, ibu, kedua kakak, keponakan, dan sahabat sedari kecil, Sohib. Perjalanan satu setengah jam yang membuat saya kembali sedikit mengeluh. Kemacetan pasalnya.
Bukan, bukan kemacetan, hanya ego besar yang menuntut kenyamanan terganggu dengan koper besar yang juga duduk tepat disamping. Sesak. Sesampainya di Juanda ingatan saya seperti kembali setahun lalu. Kala itu saya juga diantar sebelum mengarungi perjalanan panjang ke Afrika. Bedanya saat itu selepas subuh. Hiruk pikuk bandara lebih parah dibanding tahun kedua. Bedanya lagi saya tak menggunakan jasa penerbangan low price yang kadang menyebalkan, kali ini bisa terbang dengan Garuda. Bukan jumawa, tapi kenyamanan sangat dibutuhkan dari awal perantauan. Afrika jauh. Capek yang akan dihadapi bukan main-main. Apalagi, saya kembali berangkat sendiri dengan satu koper besar seberat 34 kilo, dua tas jinjing berisi oleh-oleh pribadi yang beratnya juga lumayan, dan satu ransel berisi gadget-gadget juga tak ringan. Garuda pun langsung mendarat ke terminal dua Soekarno Hatta, artinya saya tak perlu ganti terminal seperti kedatangan tahun pertama sebulan yang lalu. Ganti terminal hanya menyisakan kekesalan. Saya tak memiliki tradisi pamitan yang dramatis. Semuanya teramat santai. Hanya mencium tangan kedua orang tua, menyalami kakak-kakak kemudian berpamitan.
Pamitan dramatisir hanya membuat hati dan pikiran lemah, karena bagaimanapun, sejauh apapun kita pergi, kerinduan akan keluarga itu jelas tak akan bisa ditepis. Setelah berpamitan saya langsung menuju gate. Tak cukup lama setelah menyempatkan sholat ashar saya masuk kedalam pesawat. Perjalanan sejam menuju ibukota saya lalui sendirian. Perasaan saya seperti biasa, santai. Namun itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba perasaan menjadi aneh. Aneh dan cukup mengganggu.
Saya yang duduk disamping jendela kiri merasakan hati dan pikiran mendadak kacau. Tak tenang seperti biasanya. Pikiran saya terbang dan seakan ingin menukik kembali ke Surabaya. Tak seperti biasanya, kali ini saya nampak gelisah. Kedua orang tua ada di urutan pertama yang mengisi pikiran sore itu. Kemudian kakak. Setelah itu sahabat dan teman-teman.
Sebisa mungkin saya mencoba menghibur diri dengan cara-cara sederhana. Kadangkala mata menatap sekumpulan awan yang cantik sore itu. Mentari sedikit demi sedikit berpamitan dengan sopannya. Awan-awan sore itu nampak jauh lebih cantik saat mereka bermandikan cahaya mentari.
Kegelisahan saya sore itu berdampak pada konsentrasi hingga lupa buka puasa sebelum waktunya. Seperempat jam lebih awal dari waktu yang seharusnya, waktu Jakarta setengah jam lebih lama dari Surabaya.
Sesampainya di Soekarno Hatta, saya harus kembali konsentrasi. Tak boleh membiarkan perasaan gelisah menguras pikiran. Selesai dengan urusan bagasi saya kembali keluar bandara menyaksikan kesibukan manusia sore itu. Apa yang saya lihat saat itu kembali mengingatkan akan perjuangan hidup. Berbagai macam manusia sibuk dengan carut marut kehidupan mereka masing-masing.
***
Sembari menunggu kedatangan tiga teman saya, Mario, Maya dan Winda, saya putuskan menunggu sambil memperhatikan tingkah laku manusia di bandara. Hampir sejaman saya menunggu dan memutuskan memesan meja di Solaria. Tempat terdekat dari pintu kedatangan. Akhirnya Mario tiba juga disana. Kita memang punya janji bertemu sebelumnya. Mario punya beberapa titipan untuk mas Andhi –senior saya di Lagos– yang harus saya bawa. Tak lama setelah bertemu Mario, kedua teman yang tahun lalu ikut mengantarkan saya hingga terminal D, Winda dan Maya datang. Alhamdulillah paling tidak mereka tak membiarkan saya kesepian di bandara. Seperti biasa, Maya dan Winda kembali bergurau. Gurauan dan nada khas kita bertiga. Sayang tak ada Ruli, karena kita berempat sepertinya memiliki nada kebangsaan yang mempengaruhi cara kami berbicara. Hampir sejam setelah Mario merapikan barang-barang titipannya ia pun pamit pulang.
Akhirnya saya kembali bertiga seperti tahun lalu bersama Maya dan Winda. Setelah kami berbuka puasa di Solaria, kita langsung menuju ke atas. Menuju Terminal D. Tujuan kita ke Starbucks. Pesan kopi sembari mengobrol. Namu sayangnya malam itu Starbucks sudah tutup. Padahal masih pukul sembilan malam. Alternatif kita jatuh pada Coffee Bean. Bolehlah, saya juga belum pernah ngopi di Coffea Bean. Maya memesan sepotong Tiramisu dan segelas frozen black forest. Winda berbeda. Dia memilih cheese cake dan segelas caramel. Sedang saya cukup smoothie dari pisang dan mangga dan sebuah chocolate muffin.
Malam itu saya merasa bersyukur paling tidak ada teman yang sukarela menemani sebelum saya meninggalkan negaraku untuk kedua kalinya. Tak lama kita mengobrol ‘ngalor ngidul‘ hanya sekitar tiga puluh menitan. Karena Winda masih memiliki PR membuat slide presentasi untuk keesokan harinya. Tepat pukul sepuluh malam kami berpamitan. Maya dan Winda mengantarkan hingga didepan pintu masuk check in. Kami tak lupa mengambil gambar dari kamera dengan pose dan latar belakang yang sama. Seperti nostalgia.
Tak terasa malam itu kembali datang. Seperti pengulangan yang amat cepat. Tak terasa setahun yang lalu kami juga bertemu di tempat yang sama, di waktu yang sama. Soekarno Hatta, terminal D, pukul 10 malam. Sebelum berpisah, ritual mengambil gambar merupakan hal yang wajib. Tak ada yang bisa menggantikan gambar sebagai bagian terbaik dari momen perjalanan hidup.
Saya bersyukur bisa bertemu mereka lagi tahun ini. Kadangkala kekhawatiran saya masih sama, apakah bisa di waktu yang akan datang memiliki kesempatan bertemu dengan mereka dan teman-teman yang lain.
Hidup kadangkala sungguh tak bisa diduga.
Maya dan Winda di Coffee Bean. Mereka berhasil mengompas saya. Lagi. hihihi.Saya dan Winda berfoto dengan pose yang sama tahun ini.Saya dan Maya berpose dengan koper dan tas yang sama :)Saya dan Winda setahun yang lalu.Saya dan Maya setahun yang lalu.